JAKARTA, (IslamToday ID) – Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siraj turut menyoroti persoalan kasus gagal bayar polis yang dialami asuransi plat merah, PT Asuransi Jiwasraya (Persero). Ia menyebut kasus Jiwasraya hingga Bumiputera menjadi cerminan bobroknya pengelolaan asuransi di tanah air.
“Kasus gagal bayar beberapa perusahaan asuransi seperti Jiwasraya, Bumiputera, dan ASABRI membuka pengetahuan kita bahwa betapa buruknya pengelolaan industri asuransi di Indonesia,” kata Said dalam peringatan harlah ke-94 Nahdlatul Ulama (NU) yang digelar di kantor PBNU, Kramat Raya, Jakarta Pusat, Jumat (31/1/2020).
Terlebih, kasus-kasus tersebut diduga terjadi karena lemahnya prinsip kehati-hatian hingga pembelian saham gorengan. “Kesalahan penempatan investasi hingga rekayasa saham overprice merupakan satu di antara sekian kezaliman ekonomi yang tidak boleh terjadi,” jelasnya.
“Nahdlatul Ulama berharap kondisi ini
tidak sampai mengarah pada distrust
masyarakat pada industri asuransi,” lanjut Said.
Hal lain yang disinggung saat harlah NU adalah soal kenaikan
iuran BPJS Kesehatan yang dinilai memberatkan masyarakat, hingga wacana
pembatasan subsidi LPG 3 kg di tengah himpitan ekonomi.
“Kenaikan iuran BPJS kelas III, wacana pembatasan subsidi gas elpiji 3 kg, dan rencana impor garam besar-besaran. Terus terang hal ini menjadi keresahan masyarakat. Pemerintah perlu lebih signifikan hadir di tengah kegelisahan masyarakat di bidang perekonomian itu,” ungkapnya.
Said juga menyinggung adanya dominasi konglomerat hingga keberadaan pihak asing dalam tatanan ekonomi tanah air. Menurutnya, pemerintah harus mulai memfokuskan pengelolaan sumber alam dan merancang anggaran negara untuk masyarakat kelas menengah ke bawah.
“Harus berpihak kepada kalangan mustadh’afin (kalangan tidak mampu). Pemerintah tidak punya pilihan lain mengingat saat ini masih banyak sektor-sektor ekonomi strategis yang pengelolaannya dikuasai segelintir konglomerat saja, baik pribumi maupun asing,” jelas Said.
Dominasi asing ia contohkan dalam dunia perbankan. Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), jelasnya, 33,5 persen aset perbankan di Indonesia masih dikuasai asing. Ruang yang besar kepada bank asing itu, lanjutnya, berimplikasi pada kecilnya kontribusi perbankan pada perekonomian domestik.
“Kenyataan yang sering dijumpai, akses
perbankan pelaku usaha mikro kecil dan menengah tidak mudah. Berbeda dengan pelaku usaha besar atau konglomerat. Selain persoalan bankable atau tidaknya, hal lain adalah
mengenai pemihakan,” lanjut Guru Besar UIN Sunan Ampel Surabaya ini.
Namun demikian, bukan berarti NU anti dengan konglemerat.
Baginya, konglomerat akan lebih baik jika turut serta menggandeng pelaku ekonomi
kecil agar lebih maju. “Jadilah konglomerat yang
menanting ekonomi mikro kecil dan menengah. Jika kelas menengah terangkat,
kelas kecil dan mikro pun harus demikian,” tutupnya. (wip)
Sumber: Rmol.id, Republika.co.id