(IslamToday ID) — Populasi muslim dunia berdasarkan sensus tahun 2015 mencapai 1,8 miliar jiwa, yang tersebar di 120 negara dunia. Sebanyak 35 negara berpenduduk mayoritas muslim, dan 28 negara diantaranya memposisikan Islam sebagai agama resmi negara. Sebagaimana diketahui, Indonesia memiliki penduduk muslim terbesar di dunia yakni sebanyak 209,1 juta jiwa.
Akan tetapi, dengan jumlah Umat muslim mayoritas belum tentu mampu menjadikan Indonesia menjadi negara pengekspor utama produk halal, angka ekspor Indonesia diketahui masih berada di kisaran 3,8% dari total perdagangan halal dunia yang mencapai angka USD 2,1 triliun pada tahun 2017. Sayangnya, hal ini berbanding terbalik dengan fakta bahwa Indonesia termasuk konsumen peringkat terbesar di dunia dengan nilai USD 218,8 miliar.
Indikator Ekonomi Islam Global (GIEI) menempatkan Indonesia pada peringkat ke-5 dalam hal keuangan Islam. Negeri Jiran, Malaysia berada di peringkat pertama dengan skor 111 poin, sementara Indonesia berada di peringkat lima dengan skor 49. Indonesia dan Malaysia terpaut cukup jauh dengan jarak 62 poin.
Sementara itu dalam industri pangan halal Indonesia tidak masuk dalam 10 besar dunia, dan dikalahkan oleh Brazil (peringkat 3) dan Australia (peringkat 4). Kedua negara tersebut memang bukanlah negara dengan mayoritas penduduk muslim namun kedua negara itu mampu memanfaatkan dengan baik potensi pasar industri halal. Brazil tercatat sebagai pengekspor daging sapi halal terbesar di dunia.
Australia dan Malaysia, Sukses Rambah Industri Halal Dunia
Australia merupakan negara non-muslim pengekspor daging halal terbesar berikutnya setelah Brazil. Bahkan, menurut Ketua ESMA, lembaga halal Uni Emirat Arab (UEA), Dr. Rashid bin Fahad lebih dari 85% makanan halal di negaranya merupakan hasil impor dari negara-negara non-muslim seperti Australia dan Selandia Baru. Bagi Australia, UEA merupakan pasar ekspor terbesar ke lima untuk produk daging domba dan kambing.
UEA kini sebagai pusat global ekonomi Islam, dan sudah menetapkan standar global untuk kualitas industri makanan halalnya. UEA menjadikan sektor wisata sebagai sektor penting perekonomiannya selain industri minyak mentah. Kini, PDB (Produk Domestik Bruto) UEA mencapai angka USD 40.000 sedangkan Indonesia tertinggal jauh di angka USD 3.000
Jikalau hendak menengok ke negara tetangga, Negeri Jiran, Malaysia. Malaysia telah merintis industri halal sejak tahun 1974, maka wajarlah jika kepeloporannya menempatkannya sebagai pusat halal dunia dengan nilai ekspor 35,4 miliar Ringgit Malaysia pada tahun 2017. Bahkan, sejak tahun 2000 Malaysia memiliki sistem jaminan halal yang terdokumentasi dan sistematis.
Tahun 2005 Malaysia telah resmi memiliki divisi khusus yang fokus pada industri halal yakni Hub Halal JAKIM. JAKIM merupakan lembaga sertifikasi halal pertama di dunia yang bertanggungjawab memantau industri halal. Sejak tahun 2011 Malaysia melakukan amandemen Undang-undang Perdagangan Malaysia, dengan memberikan keleluasaan kepada JAKIM untuk mengatur industri halal. Hal ini pun membuat daya tawar JAKIM tinggi dan paling dicari di dunia, alhasil ada 50 badan internasional yang sudah terdaftar di JAKIM.
Atas kepeloporan dan prestasinya di bidang industri halal, Malaysia kini menjadi tuan rumah tahunan bagi event bergengsi industri halal, Malaysia Halal Showcase International (MIHAS) dan World Halal Forum (WHF). Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) mengakui Malaysia sebagai referensi global dalam industri halal dunia.
Upaya Pemerintah Kejar Industri Halal
Indonesia menurut Indonesian Halal Watch (IHW) memiliki 120 juta UMKM dan UMK, yang 96%nya belum bersertifikat halal. Hingga kini pun Undang Undang No 33 Tahun 2014 masih menjadi polemik yang belum terselesaikan. Sedangkan, undang-undang tersebut mulai dijalankan sejak 17 Oktober 2019. UU tersebut mengatur lembaga yang berwenang mengeluarkan sertifikasi halal ialah Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) yang hingga kini pun belum memiliki auditor halal yang resmi.
Indonesia masih berkutat pada persoalan regulasi yang menyebabkan kontroversi tersendiri bagi pelaku usaha. Pasca terbitnya UU No. 33 Tahun 2014 tentang sertifikasi halal bersifat wajib atau mandatory, sebelum undang-undang itu berlaku, sertifikasi halal bersifat sukarela. Mahalnya ongkos dan lamanya proses terbitnya sertifikasi halal membuat kalangan pelaku usaha pun enggan memprosesnya.
Aturan baru tersebut terus menuai kecaman belum lagi kini Undang-undang Jaminan Produk Halal (JPH) tersebut masuk dalam Omnibus Law. Pemerintah bahkan mengembalikan mandat sertifikasi halal kepada MUI pasca gagal jalannya UU No. 33 Tahun 2014 pada 17 Oktober 2019 kemarin. Negara lain sudah fokus pada realisasi program, Indonesia masih berkutat pada rencana.
Presiden Jokowi meluncurkan Masterplan Ekonomi Syariah Indonesia (MEKSI) periode 2019-2024. Salah satu poinnya ialah sektor keuangan syariah. Setelah peluncuran MEKSI kondisi industri keuangan syariah cenderung stagnan. Menurut data OJK (Otoritas Jasa Keuangan) pangsa pasar keuangan syariah baru mencapai 8,69% dari total keuangan nasional.
Namun ada hal yang patut diapresiasi setidaknya pada tahun 2019 pemerintah Indonesia memulai proyek pembangunan kawasan industri halal yang akan selesai dalam waktu lima tahun ke depan. Kawasan Industri Modern Cikande dibangun di lahan seluas 500 hektar. Selain di Cikande, pemerintah Provinsi Banten juga membangun kawasan industri halal di tiga kawasan. Kementerian Perindustrian pun membangun kawasan lain di Batamindo Industrial Park, Bintan Industrial Estate, dan Jakarta Industrial Estate.
Bank Indonesia (BI) mengusulkan tentang lima strategi untuk mewujudkan Agenda Ekonomi Syariah di Indonesia yang perlu dijalankan oleh pemerintah. Gubernur BI, Perry Warjiyo dalam Konferensi INHALIFE di Jakarta (14/11/19) menyebutkan lima strategi itu terdiri dari daya saing, sertifikasi, koordinasi, publikasi dan kerja sama. Hal lain yang perlu BI lakukan adalah memperbaharui basis datanya tentang informasi halal domestik, sehingga program pemerintah bisa berjalan tepat sasaran.
Tampaknya, perlu kerja ‘ektra’ keras dan komitmen pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan agar Industri Halal Indonesia mampu bersaing dan memiliki posisi daya tawar yang cukup tinggi. Hal ini dikarenakan masih cukup banyak permasalahan dan polemik yang ada dalam peraturan undang-undang hingga pelaksanaannya. Mulai dari dugaan kuat mal-administrasi UU Jaminan Produk Halal, ketidaksiapan BPJH, permasalahan tenaga Auditor Halal dan LPH, agaknya perlu ada dorongan dan tekanan kuat dari pihak non-pemerintah seperti Organisasi Masyarakat, komunitas muslim, hingga para aktifis penggiat halal untuk memantau dan mengawasi upaya tersebut, agar situasi Indonesia yang kini hanya menjadi “objek permainan” pasar halal dunia ini berubah. Sungguh ironi negeri ini, penduduk muslim terbesar, namun tak mampu jadi ‘pemain’ besar.
Penulis: Kukuh Subekti
Redaktur: Tori Nuariza