(IslamToday ID) — Sejak awal masuknya Nadhiem Makariem dalam kabinet Jokowi-Ma’ruf menuai pro dan kontra, tampaknya latar belakang “mas menteri” yang merupakan pengusaha merupakan sebab munculnya keragu-raguan, karena baru kali ini dalam sejarah negeri seorang pengusaha menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud).
Sejumlah pihak pun menyoroti tentang latar belakang Nadhiem yang bukan dari kalangan akademisi. Kekhawatiran akan adanya disorientasi dalam pengelolaan pendidikan menjadi peringatan pertama yang perlu diwaspadai. Penunjukan Nadhiem ini agaknya cerminan isi pidato Jokowi pada saat pelantikan Presiden dan Wakil Presiden pada 20 Oktober 2019 lalu.
“Membangun SDM yang terampil, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Mengundang talenta-talenta global untuk bekerja sama dengan kita,” (Kompas.com 20/10/19). Kata kuncinya ialah menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, sosok Nadhiem pun menjadi ‘andalan’ Jokowi untuk menahkodai Kemendikbud selama lima tahun ke depan. Tetapi apakah seperti itu tujuan pendidikan nasional menurut konstitusi?.
Anggota Komisi X DPR RI, Reni Marlinawati turut mengkritisi kebijakan Nadiem dengan menggelar diskusi bertema ‘Evaluasi Pendidikan 2019 dan Outlook Pendidikan 2020’. Reni mengungkapkan kekhawatirannya dengan mengatakan bahwa kinerja Mendikbud perlu dikawal oleh semua kalangan. Menurutnya, akademisi, praktisi, ahli, pakar dan semua pihak yang peduli akan kualitas pendidikan di Indonesia harus mengawal kebijakan dan langkah Nadiem.
“Menterinya tidak punya latar belakang pendidikan secara sistem, kita jadi merasa aneh, mau diapakan?. Baru awal dilantik saja mau diubah kurikulum, kemudian tiba-tiba menyampaikan UN (Ujian Nasional) akan dihapus, tanpa kita diberikan penjelasan terlebih dahulu, tanpa disodori hasil evaluasi”, tukas Reni Marlinawati. (Jaringanmedia.co.id 31/12/19)
Hal lain yang perlu juga diperhatikan oleh pemerintah ialah bagaimana respon perguran tinggi swasta (PTS). Ketua Umum Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) Pusat, M. Budi Djatmiko, menanggapi sebagai berikut
“…Dengan statement Nadiem Makarim tanggal 24 Januari 2020, maka harapan PTS akan segera terpenuhi, namun yang sangat dihawatirkan ini hanya lip service saja, nanti di tataran teknisnya turun peraturan menteri yang tetap juga membelenggu, bahkan Perguruan Tinggi Swasta tidak bisa melaksanakannya. Maka sebelum ini ditetapkan perlu dibuat uji publik agar harapan dan kenyataan bisa sama,…”
Kampus Merdeka
Kampus Merdeka adalah kebijakan baru era Mendikbud Nadhiem Makarim yang terdiri atas empat poin utama. Pertama, pemberian otonomi kepada perguruan tinggi negeri (PTN) dan perguruan tinggi swasta (PTS) untuk mendirikan program studi baru.
Kedua, membuat kebijakan reakreditasi yang bersifat otomatis. Ketiga, adalah kebebasan bagi perguruan tinggi untuk menjadi PTN-BH. Dan keempat, ialah kebijakan magang tiga semester bagi mahasiswa.
Mendikbud menjelaskan bahwa kebijakan kemudahan membuka program studi baru berlaku bagi PTN dan PTS yang memiliki akreditasi A dan B. Syarat lainnya, PTN dan PTS tersebut memiliki kerja sama dengan organisasi nirlaba, mitra perusahaan dan universitas yang masuk dalam QS Top 100 World Universities.
Pembukaan prodi baru nantinya dalam pengawasan kementerian. Bahkan, kementerian dalam pengawasananya memiliki hak untuk menentukan ditutupnya prodi yang dinilai merugikan. Nadhiem juga menjanjikan akan mempermudah bagi kenaikan akreditasi perguruan tinggi yang masih terakreditasi B dan C untuk mengajukan kenaikan akreditasi kapan pun dan bersifat suka rela. Pengajuannya dilakukan paling lambat duat tahun setelah mendapat akreditasi terakhir.
Kebijakan Kampus Merdeka, PTN BLU diberikan kemudahan untuk menjadi PTN BH tanpa terikat status akreditasi.
“Kami berikan mereka (PTN BLU) akselerasi untuk bisa mencapai status PTN BH. Bagi yang mau. Sekali lagi ini bukan paksaan. Bagi yang mau menjadi PTN BH, ini memang masih didanai oleh pemerintah, tapi bisa beroperasi seperti swasta. Gitu analoginya supaya lebih mudah,” tuturnya. (Kompas, 29/1/20)
Hak belajar 3 semester bagi mahasiswa di luar prodi itu setara dengan 40 SKS. Pelaksanaan kebijakan ini nantinya memperhatikan kesiapan kampus, dengan aturan yang sudah disiapkan oleh Kemendikbud. Program ini menjadi pilihan bagi mahasiswa, dan wajib difasilitasi oleh pihak kampus.
Mari dianalisa satu per satu poin kebijakan tersebut, yakni. Pertama pembukaan program studi baru menganjurkan adanya kerja sama antara kampus dengan pihak industri. Tujuan pragmatisnya ialah lulusan kampus bisa langsung bekerja, sebagaimana yang dia tulis dalam rilisnya “Untuk mengikuti arus perubahan dan kebutuhan akan link and match dengan industri, perguruan tinggi harus adaptif”.
Tentu, dampak kebijakan ini ciri kampus sebagai pencetak generasi intelektual akan luntur, sementara cenderung mencetak lahirnya generasi tenaga terampil guna memenuhi kepentingan korporasi. Kampus dalam hal ini menciderai tri dharma perguruan tinggi, dengan lunturnya misi pengabdian pada masyarakat, karena lebih condong pada dunia industri. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa ide awal gagasan ‘Kampus Merdeka’ berangkat dari asumsi rendahnya perekrutan lulusan universitas.
Kedua, kemudahan mendapatkan akreditasi bisa jadi mempermudah para pengampu kebijakan di kampus, karena mereka tidak lagi disibukkan dengan proses administrasi akreditasi. Namun, kemudahan mendapatkan akreditasi juga bisa menjadi persoalan baru, misalnya jaminan kualitas dari prodi. Setiap prodi baru akan langsung mendapatkan akreditasi C dari BAN PT tanpa menunggu dari kementerian. Hal ini diatur oleh kementerian dalam Permendikbud No.5 Tahun 2020.
Ketiga, kemudahan perubahan bentuk perguruan tinggi untuk berstatus badan hukum membuat pemerintah akan semakin lepas tangan terhadap penyelenggaraan pendidikan. Karena dengan perubahan status PTNBH memberikan keleluasaan kepada setiap kampus untuk mempertinggi SPP atau UKT. Hal inilah yang dinilai sebagai praktek komersialisasi kampus demi memenuhi kebutuhan pasar.
Keempat, mahasiswa dapat magang selama tiga semester ini pun mendapat kritik Rektor Perbanas Institute, Hermanto Siregar. Menurutnya, program magang tiga semester hanya cocok untuk program studi ilmu-ilmu sosial dan teknik saja. Ilmu-ilmu dasar seperti fisika, kimia, biologi, dan yang semacamnya punya sistem tersendiri hingga cukup baginya magang selama satu semester, penambahan waktu magang cocok bagi sarjana pekerja dan pengabdian, seperti guru.
Sementara itu, pengamat pendidikan, Darmaningtyas menilai bahwa Nadhiem tidak memahami karakter pendidikan perguruan tinggi. Kurikulum setiap pendidikan tinggi itu berbeda-beda, misalnya antara universitas sebagai PT non vokasi dan politeknik sebagai PT vokasi.
“Kalau konsep itu dilaksanakan, justru nanti hanya akan melahirkan manusia-manusia pekerja, tapi enggak ada yang bisa berpikir. Akibatnya kita dikadalin bangsa lain yang punya pemikir-pemikir ulung.” (Kompas 26 Januari 2020)
UUD 1945 secara jelas menuliskan bahwa tujuan pendidikan di Indonesia yang pertama ialah meningkatkan keimanan, dan ketaqwaan yang termaktub dalam pasal 31 ayat 3. “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.”
Dan dilanjutkan dalam ayat 5 “Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menunjang tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.” Jangan sampai “Kampus Merdeka” itu bertentangan dengan apa yang menjadi cita-cita negara.
Problematika Perguruan Tinggi
Perguruan Tinggi pun memiliki sejumlah permasalahan yang sangat genting, misalnya pada tahun 2019 jumlah guru besar di Indonesia 5.389 sedangkan jumlah kampus di Indonesia mencapai 4.500. Dengan komposisi 45% guru besar atau 2.395 guru besar ada di 11 Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH). Belum idealnya jumlah profesor dan belum meratanya professor di Indonesia bahkan menjadi salah satu topik bahasan Sidang Tahunan PTN-BH pada 14-15 Oktober 2019 di Kampus UI.
Adapun 11 PTN-BH yang tercatat itu yakni, Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Diponegoro (Undip), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Airlangga (Unair), Universitas Hasanudin (Unhas), Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Universitas Padjadjaran (Unpad), Universitas Sumatera Utara (USU), dan Institut Pertanian Bogor (IPB).
Peringkat Universitas Indonesia secara internasional juga masih terhitung rendah. Berdasarkan hasil QS World University Ranking periode 2018-2019, menempatkan Universitas Indonesia pada peringkat 292 dari 1233 perguruan tinggi di 151 negara di dunia. Peringkat tersebut tersebut menurun dari tahun sebelumnya yang menempati peringkat 277. Indikator QS World University meliputi: reputasi akademik, reputasi lulusan, rasio fakultas dan mahasiswa, kutipan jurnal ilmiah, fakultas internasional, dan mahasiswa internasional.
Beberapa masalah klasik dalam dunia perguruan tinggi yang hingga kini masih menjadi momok adalah, biaya pendidikan yang terus naik. Meskipun setiap tahun anggaran pendidikan selalu naik seperti tahun 2020 ini pemerintah melalui Kementerian Keuangan menganggarkan Rp 508,1 T. Data terakhir yang bisa ditemukan pada tahun 2017 terjadi putus kuliah sebanyak 2,8% dari jumlah total mahasiswa Indonesia di kampus negeri dan swasta.
Masih rendahnya kemampuan riset perguruan tinggi di Indonesia, termasuk jika dibandingkan dengan negeri tetangga Singapura dan Malaysia. Tahun 2016, misalnya jumlah peneliti di Indonesia 1.071 per satu juta penduduk, sementara di Singapura 7.000 per satu juta penduduk, dan Malaysia 2.590 per satu juta penduduk. Anggaran penelitian di Indonesia paling rendah se-ASEAN yakni hanya 0,25% dari PDB. Tahun 2020, pemerintah hanya mampu mendanai 6.000 proposal dari 24.000 proposal yang masuk ke Kemenristekdikti pada tahun 2019. Anggaran Rp 1,4 T untuk membiayai 297.000 dosen dari 3.250 perguruan tinggi se Indonesia.
Pertanyaan yang lantas muncul dalam benak kita adalah, untuk siapa “Kampus Merdeka”, merdeka dari apa, dan untuk kepentingan siapa, benarkah pendidikan tinggi telah mampu memerdekakan?.