JAKARTA, (IslamToday ID) – MUI sebagai otoritas tunggal dalam mengeluarkan fatwa produk halal mulai diusik. Adalah Omnibus Law RUU Cipta Kerja (Ciptaker) yang telah diserahkan ke DPR beberapa waktu lalu memuat tentang penghapusan otoritas MUI dalam penerbitan sertifikat halal.
Di draf RUU Ciptaker tersebut Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) bisa bekerja sama dengan ormas Islam untuk menerbitkan produk halal.
Di draf RUU Ciptaker juga dijelaskan bahwa sertifikat halal merupakan pengakuan kehalalan suatu produk yang dikeluarkan oleh BPJPH berdasarkan fatwa halal.
Kerja sama penerbitan sertifikasi halal diatur dalam Pasal 49 angka 3 RUU Ciptaker yang merevisi Pasal 7 UU No 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH). Pasal tersebut menjelaskan, BPJPH dapat bekerja sama dengan ormas Islam yang berbadan hukum dalam menjalankan wewenang penyelenggaraan jaminan produk halal, termasuk menerbitkan dan mencabut sertifikat halal.
Sebelumnya, kerja sama itu hanya berlaku BPJPH dengan kementerian/lembaga terkait, Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), dan MUI.
Menteri Agama Fachrul Razi berdalih peluang kerja sama antara BPJPH dan ormas Islam demi mempercepat penerbitan sertifikasi halal. “Muncul beberapa ide percepatan. Bagaimana kalau tidak semata-mata MUI (yang menerbitkan sertifikasi halal)? Ada yang lain ikut membantu,” katanya, Selasa (18/2/2020).
“Saya kira enggak baik juga kalau center (hanya MUI yang mengeluarkan sertifikasi halal),” tambahnya.
Dari data yang berhasil dihimpun, jumlah ormas Islam di Indonesia mencapai 33 ormas. Selain NU dan Muhammadiyah, ada juga Persis, FPI, Matlaul Anwar, Al Irsyad al Islamiyah, dan masih banyak lagi. Ketika monopoli MUI benar-benar dicabut nanti, maka 33 ormas itu berhak untuk ikut menjadi pemberi fatwa.
Karena targetnya untuk mempercepat pemberian fatwa, tentu saja nantinya yang diberi wewenang setelah melalui seleksi bisa lebih dari dua atau tiga, bahkan sampai 10 ormas. Alangkah gaduhnya nanti, fatwa produk ini oleh ormas ini, fatwa produk itu oleh ormas yang lain lagi.
Bahwa memberikan fatwa produk itu ada tarif atau uang jasanya, itu pasti. Tapi bisa saja ada yang menyalahgunakan. Produsen ditakut-takuti, produk Anda berpotensi haram, mau nggak jadi halal? Tentu saja ini ada jasanya, bisa sampai ratusan juga bahkan miliaran.
Ada kemungkinan nantinya, produk yang dikatakan halal oleh ormas A, diharamkan oleh ormas B. Sekadar contoh yang sudah terjadi selama ini, rokok misalnya. Muhammadiyah memfatwakan haram, sedangkan NU sekadar mubah.
Wakil Ketua Umum Persis, KH Jeje Zaenudin mengatakan, jika tujuan RUU Ciptaker membolehkan ormas Islam mengeluarkan fatwa halal itu untuk mempermudah proses sertifikasi atas suatu produk, maka hal itu merupakan langkah positif. Dan masyarakat perlu mendukungnya demi kemajuan, terutama usaha kecil menengah.
“Kami pikir pelibatan ormas-ormas yang sudah siap dan mempunyai lembaga fatwa, suatu hal yang positif untuk mendorong percepatan pertumbuhan para pengusaha kecil dan menengah,” kata KH Jeje, Rabu (19/2/2020).
Menurutnya, jika memang pemerintah dan DPR telah sepakat lembaga selain MUI dalam hal ini ormas Islam yang berbadan hukum dapat mengeluarkan fatwa halal, maka tinggal bagaimana menyamakan dan standardisasi proses dan pengujian kehalalan sebuah produk pada lembaga-lembaga fatwa yang ada di ormas-ormas tersebut.
“Tetapi jika dilepas kepada beberapa ormas tanpa ada penyamaan atau tidak ada standardisasi proses dan pengujiannya, yang kita khawatirkan ada perbedaan penyimpulan kehalalan atau tidaknya suatu produk, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum,” katanya.
Jeje mengatakan, jika yang dimaksud fatwa halal yang saat ini masih sebuah produk untuk melabilasasi produk, maka perlu penyamaan persepsi dan proses pengujian produk. Untuk itu, ia menyarankan, dibutuhkan juga laboratorium pangan dan obat-obatan sebagai alat pengujian bahan-bahan produk oleh setiap ormas yang diberikan kewenangan mengeluarkan fatwa halal.
Menjadi Rancu
Sedangkan Wakil Sekjen MUI Bidang Fatwa, KH Sholahuddin Al-Aiyub menyatakan pemberian wewenang fatwa halal kepada semua ormas akan membuat standar halal di Indonesia menjadi rancu. Berbeda dengan bidang lain atau fatwa biasa, fatwa halal termasuk dalam fiqih qath’i. Artinya, fatwa halal ini sifatnya final dan mengikat karena sesuai dengan ketetapan negara yang berlaku.
“Sifat fiqih terbagi menjadi dua, yakni fiqih biasa dan fiqih qath’i. Untuk opini fikih atau fatwa biasa, setiap ormas memiliki kewenangan yang sama untuk menetapkan hukumnya. Hal ini memungkinkan adanya perbedaan putusan dalam satu varian,” katanya, Jumat (21/2/2020).
Kasus sertifikasi halal ini berbeda dengan fatwa-fatwa umum yang dikeluarkan oleh ormas Islam yang disesuaikan dengan jamiyat ormas yang bersangkutan. Hal demikian dalam ilmu fiqih disebut fiqih biasa. Di dalamnya, setiap ormas memiliki kewenangan mengeluarkan fatwa hukum dan fatwa tersebut sifatnya tidak mengikat.
Berbeda dengan fiqih qath’i, di dalamnya tidak diperbolehkan ada perbedaan pendapat atau dalam kata lain wewenang fatwa tersebut tidak bisa dijalankan oleh beberapa atau banyak pihak. Sekalipun acuan penetapan fatwanya sama, namun penetapan fatwa antar satu ormas dengan ormas besar kemungkinannya berbeda.
“Misalnya, ada 10 pendapat, ketika negara atau yang ditunjuk oleh negara mengambil pendapat A, maka yang berlaku adalah pendapat tersebut. Itulah fiqih qath’i. Jadi tidak dibuka peluang pendapat setelah itu. Jika dibuka, maka akan terjadi kekacauan keputusan fatwa,” jelasnya.
MUI, menurut Sholahuddin, adalah wadah yang paling ideal melaksanakan sertifikasi halal. Di dalam MUI, khususnya komisi fatwa, terdiri dari ulama dari berbagai latar belakang ormas Islam. MUI menjadi rumah bersama ormas Islam, karena setiap ormas Islam memiliki perwakilan di MUI. (wip)
Sumber: CNNIndonesia.com, Poskota.id, Republika.co.id