JAKARTA, (IslamToday ID) – Seluruh masyarakat khususnya peserta BPJS Kesehatan patut untuk bergembira karena Mahkamah Agung (MA) membatalkan kenaikan iuran BPJS yang sudah diteken Presiden Jokowi per 1 Januari 2020 lalu.
Pembatalan kenaikan itu dinilai adalah sesuatu yang tepat karena kondisi ekonomi masyarakat yang sedang sulit. Ini ditambah dengan merebaknya virus corona yang bukannya mereda, tapi malah meluas dengan jumlah korban yang terus bertambah.
Seperti diketahui, kenaikan iuran BPJS tidak tanggung-tanggung yakni mencapai 100 persen. Untuk kelas III mandiri dipatok Rp 42.000 dari sebelumnya Rp 25.500. Kemudian, kelas II mandiri Rp 110.000 dari Rp 51.000, dan kelas I mandiri Rp 160.000 dari semula Rp 80.000.
“Saat ini pemerintah perlu meningkatkan daya beli masyarakat, termasuk pertumbuhan konsumsi. Kenaikan iuran BPJS Kesehatan hanya akan menggerus daya beli masyarakat,” kata Ekonom CORE Indonesia, Piter Abdullah, Senin (9/3/2020) malam.
Ia mengakui, risiko pembatalan kenaikan iuran akan membuat defisit BPJS semakin melebar. Tetapi, ia berpendapat kenaikan iuran tetap tak banyak membantu memperkecil angka defisit.
Sebagai gantinya, pemerintah bisa mencari solusi lain dengan mengevaluasi masalah teknis, termasuk moral hazard yang kerap terjadi, baik di sisi peserta maupun rumah sakit. Misalnya, mendorong kedisiplinan pembayaran iuran oleh peserta, meminimalisir diagnosis berlebihan yang bertujuan meningkatkan pendapatan rumah sakit.
Ekonom UI Fithra Faisal Hastiadi mengatakan kebutuhan stimulus perekonomian harus dikedepankan, meskipun harus berhadapan dengan ancaman defisit keuangan BPJS. Sebab BPJS bukanlah lembaga yang berorientasi pada profit. “Sejak awal, BPJS didesain untuk defisit. Yang penting bagaimana agar defisit itu diminimalkan,” ungkapnya.
Meminimalkan defisit BPJS, menurut Fithra, bisa dilakukan melalui perbaikan tata kelola BPJS. “Jadi, ada good governance, ethical governance, dan good clinical governance yang memang belum solid, belum dipenuhi,” tuturnya.
Ambil contoh, klaim berlebihan dari rumah sakit. Kemudian, kasus-kasus pasien dengan biaya pengobatan yang lebih mahal dari diagnosis penyakitnya. Tumpukan masalah ini akhirnya membuat tunggakan BPJS selangit.
Pun demikian, Fithra juga tak sepakat jika pembatalan iuran dilakukan rata di seluruh kelas. Ia menilai prinsip gotong-royong tetap diperlukan. Selama ini, pemerintah telah menyalurkan subsidi melalui peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI).
Menurutnya, peserta kelas I dan II tetap dapat membayar iuran lebih mahal. Apalagi, peserta di kelas ini masih memiliki willingness (kemauan) membayar lebih tinggi. “Kalau dibatalkan untuk semua kelas, justru akan bermasalah. Artinya, beban APBN berlebih,” imbuhnya.
Tegakkan Sanksi
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menuturkan selama ini angka peserta non aktif sangat tinggi, yaitu mencapai 45 persen. Lihatlah banyak kasus tunggakan yang tidak ditegakkan.
Padahal, PP No 86 Tahun 2013 mendukung penegakan sanksi bagi mereka yang tidak membayar iuran dengan membatasi layanan publik yang bisa dinikmati masyarakat. “Tetapi, sanksi itu tidak pernah dijalankan,” katanya.
Artinya, Timboel menambahkan, pemerintah tak perlu panik atas putusan pembatalan kenaikan iuran oleh MA. Justru, pemerintah bisa memikirkan langkah penegakan hukum untuk memaksimalkan pendapatan.
“Sehingga perusahaan yang belum bayar iuran, atau peserta mandiri yang belum bayar iuran dan belum mendaftar itu bisa segera mendaftar dan bisa membayar iuran tepat waktu. Kalau itu ditingkatkan, menurut saya potensi penerimaan akan lebih baik,” pungkasnya.
Sementara itu, pemerintah menghormati putusan (MA) yang membatalkan kenaikan iuran. Staf Khusus (Stafsus) Presiden Jokowi, Dini Purwono memastikan pemerintah akan mengupayakan agar pelayanan BPJS tetap baik.
“Menghormati keputusan MA. Akan mempelajari terlebih dahulu keputusan tersebut sebelum mempertimbangkan langkah-langkah selanjutnya,” kata Dini, Selasa (10/3/2020).
“Pemerintah akan berupaya agar pelayanan terhadap masyarakat pengguna BPJS tetap dapat diselenggarakan dengan baik,” imbuhnya.
Dini meminta publik tidak khawatir. Ia menekankan pelayanan BPJS Kesehatan yang baik tetap menjadi fokus utama pemerintah.
“Intinya, apapun langkah atau respons pemerintah nantinya, masyarakat tidak perlu khawatir karena pelayanan kepada masyarakat pengguna BPJS akan tetap menjadi perhatian utama pemerintah,” pungkasnya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan akan mengkaji implikasinya putusan MA tersebut terhadap BPJS. “Ini kan keputusan yang memang harus dilihat lagi implikasinya kepada BPJS,” katanya.
Sri Mulyani menjelaskan, pemerintah mengeluarkan kebijakan kenaikan iuran untuk memperbaiki defisit keuangan BPJS. Saat ini, keuangan BPJS masih merugi hingga Rp 15,5 triliun meski pemerintah telah menyuntikkan dana sebesar Rp 13,5 triliun akhir tahun lalu. Adapun dana tersebut merupakan pembayaran selisih kenaikan iuran peserta penerima bantuan iuran dan pegawai pemerintah.
“Kalau dia secara keuangan akan terpengaruh, ya nanti kami lihat bagaimana BPJS Kesehatan akan bisa sustained,” kata Sri Mulyani.
Putusan MA juga dapat berdampak pada pelayanan jasa kesehatan yang diberikan. Sebab kenaikan iuran BPJS sebelumnya dibarengi dengan peningkatan pelayanan.
Peningkatan pelayanan itu dilakukan di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) maupun Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL) atau rumah sakit. “Jadi kalau sekarang dengan hal ini adalah suatu realita yang harus kami lihat. Nanti kami review,” katanya. (wip)
Sumber: Katadata.co.id, Detik.com, CNNIndonesia.com