JAKARTA (IslamToday ID) – Seusai fatwa MUI Nomor 14 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Ibadah Dalam Situasi Terjadi Covid-19, tak sedikit masyarakat yang bertanya., apakah hari Jum’at besok khatib akan baca khutbah atau masjid masih menyelenggarakan shalat Jum’at?
Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH, M. Cholil Nafis, menjelaskan, dalam fatwa tersebut menegaskan tentang dua hal: pertama, orang yang terpapar Covid-19 harus mengisolasi diri dan haram untuk melaksanak shalat Jum’at karena dapat menularkan dan membahayakan orang lain.
“Tentu prinsipnya, memelihara kemaslahatan umum didahulukan daripada kemaslahatan individu dan juga prinsip menolak keburukan didahulukan daripada memperoleh kebaikan,” kata Kiai Cholil via Whats Upp.
Kedua, orang yang sehat dan belum diketahui terkena Covid-19, maka ada dua hal dan kondisi. Jika ia berada di daerah yang rawan tinggi dan menurut otoritas medis dan pemerintah yang dipercaya rawan dan bahaya dengan penularan penyakit, maka ia boleh tidak melaksanakan shalat Jum’at. “Kata boleh itu artinya juga boleh melaksanakan Jum’atan. Meskipun itu juga bisa jadi udzur untuk tidak melaksanakan shalat Jum’at.”
Selanjutnya, jika dalam kondisi sehat di tempat yang rendah, bahkan tak ada tanda-tanda penularan Covid-19, maka tetap wajib shalat Jum’at dengan penuh kehati-hatian dan ikhtiar denga sebaik-baiknya, seperti jaga kebersihan dan selalu memelihara wudhu.
“Kata Tidak melaksanakan ibadah Jum’at itu berbeda dengan meniadakan Jum’atan. Tidak melaksanakan shalat Jum’at berarti bisa saja hanya dia sendiri yang tak melaksanakan shalat Jum’at. Namun meniadakan shalat Jum’at berarti melarang semuanya untuk menyelenggarakan ibadah shalat Jum’at. Tentu meniadakan shalat Jum’at pasti bertentangan dengan semangat beragama dan melanggar kewajiban agama,” jelas Kiai Cholil.
Padahal shalat Jum’at itu, kata Kiai Cholil, selalu dilakukan dengan ramai hingga melibatkan puluhan, kadangkala ratusan orang, sehingga dikhawatirkan wabahnya cepat menular kepada orang banyak. Dalam kondisi mewabahnya Covid-19 ini kita dapat memilih pendapat Imam mazhab yang lebih memungkinkan tentang syarat sahnya shalat Jum’at harus berjama’ah. “Mari kita simak pendapat ulama tentang jumlah jama’ah shalat Jum’at.
Pendapat Imam Mazhab
Madzhab Hanafi misalnya, berpendapat, syarat sahnya shalat Jum’at harus berjamaah yang sedikitnya berjumlah tiga orang selain Imamnya (4 orang). Dan ketiganya tidak harus hadir saat khutbah, yang penting diantara jamaah meskipun hanya seseorang ada yg mendengarkan khutbah. Shalat Jum’atnya pun tak harus di masjid.
Sedangkan madzhab Maliki berpendapat, Shalat Jum’at harus dilaksanakan secara berjama’ah ya,g sedikitnya dua belas orang selain imam (13 orang) dengan syarat semua jamaahnya adalah orang yang wajib shalat Jum’at, penduduk setempat dan semuanya hadir dari awal khutbah sampai selesai pelaksanaan shalat Jum’at.
Adapun madzhab Syafi’i berpendapat, shalat Jum’at dilaksanakan oleh jama’ah yang sedikitnya empat puluh orang meskipun sekalian dengan imamnya. Semua harus penduduk setempat, orang-orang yang wajib shalat jum’at yang hadir dari awal khutbah sampai selesai pelaksanaan shalat. Demikian madzhab Hambali hampir sama dalam hal ini dengan madzhab Syafi’i.
“Semua pendapat imam mazhab ini memungkinkan untuk diikuti, asalkan tidak karena talfiq (memcampur pendapat ulama mazhab dengan tujuan cari kemudahan menggampangkan hukum Islam/tatabbu’urukhash),” kata Kiai Cholil.
Diantara sebab perbefaan pendapat ulama ini adalah interpretasi surat al-Jum’ah ayat 9 itu hingga dapat ditafsirkan jumlah yang diseru untuk shalat Jum’at 3 orang lebih. Maka lebih dari 3 orang dalam satu daerah hukumnya wajib melaksanakan ibadah shalat Jum’at. Tapi karena kehati-hatian Imam Syafi’i menyaratkan minimal shalat jum’at dilakukan oleh 40 orang.
Dikatakan Kiai Cholil, kondisi sekarang ini seperti di Jakarta dapat memilah tempat mana yang rawan covid-19 sehingga boleh meninggalkan shalat Jum’at demi keselamatan diri dan masyarakat. Lalu seperti daerah lain yang masih steril dari Covid-19, maka wajib melaksanakan shalat Jum’at sebagai ikhtiar dan berhati-hati. (des)