JAKARTA, (IslamToday ID) – Jumlah korban virus corona terus bertambah. Per Jumat (20/3/2020), jumlah kasus positif corona mencapai 369 orang, meninggal 32 orang, dan sembuh 17 orang.
Banyak kalangan memprediksi corona akan semakin mengganas sampai dengan puncaknya pada pertengahan April hingga Mei nanti. Prediksi pertama pernah diutarakan oleh Badan Intelijen Negara (BIN), yang menyatakan wabah corona di Indonesia akan berlangsung selama 60-80 hari. Dan puncaknya akan terjadi pada awal Mei atau bertepatan dengan bulan puasa.
Kini muncul lagi prediksi yang lebih mengerikan dari Institute Teknologi Bandung (ITB). Jumlah kasus corona di Indonesia diprediksi akan melampaui angka 8.000 hingga pertengahan April 2020. Sementara, fasilitas kesehatan dan jumlah tenaga medis diperkirakan tidak cukup, walaupun pemerintah mengaku sudah menyiapkan segala yang diperlukan.
Angka prediksi tersebut didapat jika Indonesia menerapkan sistem pencegahan yang baik seperti Korea Selatan, yang melakukan deteksi dini dan menerapkan pembatasan sosial.
“Bisa lebih buruk dari prediksi 8.000 kasus jika pencegahan tidak bisa ditekan. Ini belum sampai satu minggu dari hasil riset dikeluarkan (15 Maret 2020), angka kasus sudah dua kali lipat. Ini mempengaruhi kenaikan yang lain,” kata Kepala Pusat Pemodelan Matematika dan Simulasi ITB, Nuning Nuraini, Rabu (18/3/2020).
Dalam makalahnya bertajuk “Data dan Simulasi Covid-19 dipandang dari Pendekatan Model Matematika” memprediksi puncak kasus di Indonesia akan terjadi pada pertengahan April 2020. Prediksi ini didapat menggunakan permodelan Kurva Richard yang terbukti cukup baik menentukan awal, puncak, dan akhir endemik SARS di Hong Kong pada 2003.
Dalam makalah tersebut disebutkan, model ini mampu menggambarkan dinamika penderita corona pada setiap negara yang dianalisis. Dalam permodelan, para pakar menggunakan beragam indikator seperti laju awal pertumbuhan (orang/hari), asumsi batas atas penderita atau dikenal sebagai carrying capacity, dan akumulasi kasus yang terkonfirmasi bisa dengan atau tanpa gejala.
Korea Selatan menjadi rujukan permodelan karena batas kesalahan atau margin of error paling kecil dibandingkan negara lainnya.
Meski demikian, perlu dicatat Korea Selatan melakukan 10.000 tes setiap harinya dan menerapkan pembatasan sosial. Jika kondisi Indonesia menerapkan hal serupa, maka kasus dapat ditekan ke angka 8.000.
“Kalau pencegahan tidak bagus, kasusnya bisa lebih buruk, geseran puncak makin ke kanan (dari grafik), jadi pada April kasus belum habis tapi semakin lama,” kata Nuning.
Indonesia Paling Lemah
BBC Visual Journalism menganalisis enam indikator infrastruktur dan sumber daya manusia (SDM) pada sistem kesehatan di Indonesia, Korea Selatan, Malaysia, China, dan Singapura.
Keenam indikator meliputi jumlah kasur, jumlah kasur darurat (ICU), jumlah dokter, jumlah perawat, deteksi dini, dan pengeluaran kesehatan per kapita. Dari enam indikator itu, Indonesia menunjukkan ketidaksiapan dalam penanganan corona.
Dibandingkan dengan negara lainnya, Korea Selatan menjadi yang paling unggul dengan ketersediaan jumlah kasur di rumah sakit mencapai 11,5 per 1.000 penduduk. Sementara di Indonesia menjadi yang terburuk karena mampu menyediakan 1 kasur per 1.000 penduduk. Di Malaysia, setidaknya ada 2 kasur per 1.000 penduduk yang siap di seluruh negeri.
Ketersediaan dokter di Indonesia juga minim, per 1.000 penduduk hanya ada 0,4. Atau dengan kata lain, hanya empat dokter yang menangani 10.000 orang. Sementara, di Korea Selatan, paling tidak dua dokter yang menangani 1.000 orang.
Dibandingkan negara lainnya, Indonesia masih lemah di bidang ketersediaan perawat dan bidan, hanya ada 2 per 1.000 penduduk. Di Malaysia, ada 4 perawat dan bidan untuk jumlah orang yang sama.
Deteksi Lemah
Selain infrastruktur yang minim, deteksi dini virus corona di Indonesia juga lemah. Hingga 17 Maret 2020, jumlah yang dites di Indonesia 1.255 orang atau hanya 0,5 per 100.000 penduduk. Dibandingkan dengan Malaysia, mereka mampu menguji 31 orang per 100.000 penduduk.
Sementara di Korea Selatan, yang menyebabkan deteksi kasus dan lonjakan tinggi adalah deteksi dini yang mencapai 295.647 orang per 17 Maret 2020. Artinya, per 100.000 penduduk, mereka berhasil menguji 577 orang.
Pengujian di Korea Selatan justru semakin mudah. Orang dapat melakukannya dengan sistem lantatur (layanan tanpa turun). Warga Korea Selatan, Rachel Kim, melakukan uji corona di sebuah tempat pengambilan sampel di Seoul.
Kim hanya cukup mencondongkan wajahnya keluar dari mobil, untuk pengambilan sampel cairan dan dahak dari dalam mulut dan tenggorokannya. Hasil lab tersebut diterima Kim sehari setelahnya melalui pesan ke ponsel: Kim negatif corona.
Di Indonesia, pengujian dilakukan di rumah sakit rujukan dan belum ada mekanisme lantatur.
Merujuk protokol kesehatan, pengujian dilakukan terhadap suspect atau orang yang menunjukkan gejala demam mencapai 38 derajat, batuk, pilek, dan susah bernapas.
Suspect akan dirujuk ke rumah sakit yang siap menangani corona menggunakan ambulans didampingi oleh tenaga kesehatan yang menggunakan alat pelindung diri (APD). Kemudian, sampel pemeriksaan laboratorium akan diambil, sementara orang tersebut diisolasi.
Spesimen akan dikirim ke Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) di Jakarta dan hasil pemeriksaan pertama akan keluar dalam 24 jam setelah spesimen diterima. Untuk mereka yang tidak menunjukkan gejala, maka akan dirawat inap sebagai pasien biasa.
Dengan prediksi yang mencapai ribuan serta alat kesehatan yang minim dan pendeteksian dini yang lemah, Nuning menyampaikan, perlunya kesadaran diri dari setiap orang terhadap pencegahan.
“Untuk mencegah dan menekan angka, sebaiknya melakukan social distancing. Itu pesan utamanya, menjaga jarak dan mengurangi bepergian,” katanya. (wip)
Sumber: BBC.com, Detik.com, CNNIndonesia.com