IslamToday ID –Kasus Corona Virus (covid-19) di DKI Jakarta semakin memprihatinkan. Namun, Menkes belum juga mengabulkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang diajukan Pemprov DKI Jakarta. Alasannya karena data yang belum lengkap.
Corona di Ibukota
Dari laman corona.jakarta.go.id kasus covid-19 yang terkonfirmasi di Jakarta sudah mencapai 1299 kasus, 78 orang dirawat. Sebanyak 68 orang sembuhsembuh dan 131 orang meninggal dunia. Sebanyak 317 orang juga masih menjalani karantina mandiri.
Selain itu, tercatat 2225 pasein dalam pengawasan (PDP) . Sebanyak 1020 orang masih dirawat dan 1205 orang pulang dan sehat.
Selasa 17 Maret bulan lalu, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengungkapkan bahwa kasus covid-19 di DKI jakarta sangat tinggi. Bahkan menjadi episentrum covid-19 di Indonesia. Pernyataan ini disampaikan saat casus positif corona di Indonesia masih 172. Dari jumlah tersebut 122 dari Jakarta.
Sebelumnya, Anies juga mengambil kebijakan untuk menerapkan social distancing. Ia kemudian pada 15 Maret 2020 mempertimbangkan untuk mengambil kebijakan lockdown.
“Kami memang memandang Jakarta sudah perlu menutup kegiatan-kegiatan. Baik kegiatan di dalam maupun kegiatan kedatangan orang ke Jakarta dan orang keluar luar dari Jakarta,” kata dia di Gedung Balai Kota DKI, Jakarta Pusat, Minggu 15 Maret 2020
Namun, akhirnya ‘disentil’ Presiden Jokowi. Alasannya, rencana itu menyalahi birokrasi. Selain itu, pemerintah pusat merasa belum perlu mengambil kebijakan itu.
“Kebijakan lockdown tidak boleh diambil pemerintah daerah. Itu kebijakan pemerintah pusat dan sampai sekarang tidak ada kebijakan itu,” kata Presiden JokowiJokowidi Istana Bogor 16 Maret 2020
Semakin meningkatnya kasus covid-19 di DKI Jakarta mendorong Anies Baswedan mengirim surat ke pada Presiden Jokowi melalui Menko Polhukam Mahfud MD. Surat itu berisi permintaan memberlakukan karantina wilayah di Jakarta.
Adanya surat itu diungkapkan oleh Menko Polhukam Mahfud Md. Mahfud mengatakan surat itu tertulis tanggal 28 Maret dan diterima 29 Maret 2020.Tapi, lagi-lagi permintaan itu ditolak. Pemerintah lebih memilih Pembatasan Social Berskala Besar (PSBB).
“Tidak diterima, itu otomatis ditolak,” kata juru bicara Presiden Jokowi, Fadjroel Rachman 31 Maret 2020
Sekarang kasus positif covid-19 yang terkonfirmasi di DKI jakarta sudah mencapai 1299 kasus. Pemprov mengajukan permohonan agar Jakarta diterapkan PSBB. Tapi permohonan itu belum bisa dikabulkan dengan alasan data yang kurang.
Menteri Kesehatan beralasannya ada beberapa data yang perlu dilengkapi sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19.
Empat data dan dokumen pendukung yang perlu dilengkapi DKI Jakarta, yaitu: data peningkatan jumlah kasus menurut waktu, penyebaran kasus menurut waktu, kejadian transmisi lokal, kesiapan daerah tentang aspek ketersediaan kebutuhan dasar rakyat, sarana dan prasarana kesehatan, anggaran dan operasional jaring pengaman sosial, dan aspek keamanan.
“Mohon Saudara dapat melengkapi data dan dokumen pendukung permohonan penetapan PSBB paling lambat dua hari sejak menerima pemberitahuan ini dan selanjutnya diajukan kembali kepada Menteri Kesehatan,” tulis Terawan dalam surat tersebut.
Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19 Achmad Yurianto mengatakan Pemprov DKI Jakarta mengajukan permohonan PSBB pada 1 April 2020, sebelum adanya Permenkes Nomor 9 Tahun 2020.
“Kan edarannya baru keluar. Yang mengajukan sebelum surat edaran lengkap itu DKI sama Fakfak. Kalau surat edaran belum lengkap terus diajukan, ya pasti banyak yang kuranglah,” ujar Yurianto
Birokratis terhadap Nyawa
“Penyebaran virus ini berlangsung cepat, tidak menunggu proses birokrasi dan hasil kajian seperti yang diurai dalam Permenkes tersebut,” begitulah yang dikhawatirkan Anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat Saleh Partaonan Daulay, Ahad, 5 April 2020
Menurut Saleh, peraturan yang ditandatangani Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto itu tak progresif dan terkesan sangat birokratis.
Misalnya, tata cara penetapan PSBB yang harus melalui tahapan yang panjang. Menteri harus membentuk tim yang melakukan kajian epidemiologis, politik, ekonomi, sosial budaya, agama, pertahanan, dan keamanan.
Tim kajian juga harus berkoordinasi dengan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19. Setelah itu, tim kajian juga ditugaskan memberi rekomendasi kepada Menteri Kesehatan.
Direktur Advokasi dan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Fajri Nursyamsi mengatakan, alih-alih mempercepat penanganan/penanggulangan penyebaran Covid-19 yang semakin meluas, Permenkes itu justru dinilai menambah proses birokrasi dan cenderung keluar dari mandat UU No.6 Tahun 2018 tentang Kekarantina Wilayah. Bahkan ia menilai aturan tersebut membuat penanganan Covid-19 oleh pemerintah semakin lambat.
“Birokrasi yang semakin panjang terlihat dalam tata cara penetapan status PSBB sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Permenkes No.9 Tahun 2020 itu,” ujarnya Senin 6 April 2020
Fajri melihat Pasal 4 Permenkes No.9 Tahun 2020 mewajibkan pemerintah daerah mengajukan permohonan berdasarkan sejumlah data yaitu peningkatan kasus menurut waktu; penyebaran kasus menurut waktu; dan laporan transmisi lokal.
Padahal, menurut Fajri pemerintah pusat sudah melakukan penghimpunan dan pengolahan data tersebut pada setiap wilayah berdasarkan laporan laboratorium tes Covid-19 yang sudah ditetapkan Kementerian Kesehatan.
Penulis Arief Setiyanto
Sumber. Kompas.com, tempo.co, CNNIndonesia.com hukimonline.com, tirto.id