IslamToday -Perekonomian Indonesia saat ini dalam kondisi terpuruk, Jika corona disebut sebgai faktor penyebabnya, itu hanya ‘mengkambing hitamkan’ saja. Sebab krisis ekonomi yang bakal melanda Indonesia telah diprediksi sejak 2016 silam. Corona virus hanya salah satu faktor yang mempercepat.
Sebenarnya, ada dua faktor utama penyebab memburuknya perekonomian Indonesia, pertama kebijakan pemangkasan anggaran dan penarikan berbagai pajak dari rakyat kecil.
Akal-akalan Keuangan
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani pada Senin (6/4/2020) dalam rapat kerjanya dengan DPR mengungkapkan ada kenaikan pembayaran bunga utang sebesar Rp 40T. Akibatnya proyeksi bunga utang yang dibayar pemerintah pada tahun 2020 menjadi Rp 335,2T dari sebelumnya Rp 295,2T.
Ironisnya, saat bunga tagihan membengkak, devisit justru APBN semakin dalam, mencapai 5,07% dari PDB. Ini terjadi akibat pemerintah ‘mengobral’ stimulus untuk menyelamatkan perekonomian dari dampak corona virus.
Pemerintah sebenarnya tau, jika itu menyebabkan kerugian negara. Namun dengan dalih darurat corona itu dibuat legal dengan mengeluarkan Perppu No.1/2020 yang menjadi landasan untuk memperdalam defisit angran. Dengan aturan ini Sri Mulyani menyebut mereka yang ada dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSS) tidak bisa dituntut secara hukum.
“Perppu No. 1/2020 untuk memberikan landasan hukum bagi pemerintah dan otoritas keuangan melakukan kebijakan dan langkah-langkah luar biasa (extraordinary) untuk mengamankan masyarakat dan keuangan,” kata Sri Mulyani (1/4/2020).
Sebenarnya, satu pekan sebelum Presiden Jokowi (31/3/2020) mengumumkan keberadaan Perppu No.1/2020, Menkeu Sri Mulyani (24/3/2020) telah mengatakan jika APBN 2020 akan mengalami defisit di atas 3%.
Tampaknya memang pandemic corona dimanfaatkan untuk melegalisasi bertambah dalamnya desifit anggaran. Presiden Jokowi lalu menguimumkan rencananya untuk mengubah aturan dasar keuangan negara dalam pengaturan APBN. Menurutnya kebijakan tersebut dilakukan seiring bertambahnya anggaran belanja pemerintah dalam penanganan pandemi Covid-19.
“Oleh karena itu membutuhkan relaksasi kebijakan di defisit APBN di atas 3%. Namun relaksasi defisit ini hanya untuk tiga tahun yakni tahun 2020, 2021, dan 2022. Setelah itu kembali ke disiplin fiskal maksimal desisit 3 persen mulai tahun 2023” ungkap Jokowi (31/3/2020).
Presiden juga Peraturan Presiden (Perpres) No. 54/2020 tentang perubahan postur rincian APBN 2020 pada 3 April 2020. Dalam perpres tersebut banyak anggaran belanja lembaga pemerintah mengalami pemangkasan.
Ada 15 lembaga yang mengalami pemangkasan. Beberapa diantaranya mengalami pemangkasan besar besaran. Misalnya, Kementerian Riset dan Teknologi/ Badan Riset dan Invasi Nasional (Kemenristek) sebanyak 94%. Total anggaran Kemenristek yang dipotong sebesar Rp 39,69T dari anggaran sebelumnya Rp 42,16T, sehingga tersisa Rp 2,47T.
Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) turun Rp 24,53T menjadi Rp 95,68T. Diurutan ketiga ada Kementerian Pertahanan yang turun sebesar Rp 8,73T menjadi Rp 122,44T. Sementara anggaran untuk Kementerian Badan Ekonomi Kreatif senilai Rp 889,66T dihapus.
Terbukti Memburuk
Sebenarnya, pada tahun 2019 silam, Ekonom Senior, Rizal Ramli pernah mengungkapkan bahwa perekonomian Indonesia akan terus memburuk jika pemerintah hanya menerapkan dua kebijakan. Yakni austerity (penghematan) berkutat pada pemangkasan anggaran dan kedua penarikan pajak pada sektor kecil.
Bula Maret kemarin, Rizal juga mengungkapkan bahwa lesunya ekonomi di Indonesia bukan karena corona. Karena defisit neraca perdagangan dan utang luar negeri yang semakin melebar. Bahkan dia berani memprediksi jika tanpa corona ekonomi Indonesia akan turun sebesar 4%.
“Kalau soal ekonomi, tanpa corona pun ekonomi Indonesia tahun 2020 bakal anjlok ke 4 persen,” tutur Rizal (17/3/2020).
Rizal sangat menyayangkan sikap para analis ekonomi yang hanya mampu mempresentasikan kondisi perekonomian hari ini saja. Dia berharap para ekonom mampu membuat forecasting, teknik analisa perekonomian dengan melakukan simulasi ekonomi. Simulasi ini berdasarkan jajak pendapat langsung kepada seluruh lapisan masyarakat sehingga dapat diketahui fakta di lapangan.
“Analis pasar modal dan ekonom konvensional ndak bisa ramalkan apa yang terjadi hari ini 6 hingga 12 bulan ke depan. Mereka hanya bisa melakukan extrapolasi trend, tidak bisa memperkirakan akan ada ‘struktural break’. Hal Itu terjadi pada 1996-1997, terulang kembali 2019-2020,” ujar Rizal (5/3/2020).
Penguasa Tunggal
Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan menilai pemerintah telah bersikap arogan dengan mengeluarkan Perppu No.1/2020 dan Perpres No.54/2020. Terlebih, kebijakan tersebut belum memberikan dampak yang signifikan bagi penanganan pandemic corona saat ini. Muncul dugaan, adanya pihak yang sengaja menjerumuskan Presiden Jokowi sebagai penguasa tunggal yang berwenang mengeluarkan kebijakan apa saja.
“Mungkin orang-orang di lingkaran presiden-lah yang ingin menjerumuskan presiden menjadi sosok penguasa tunggal. Presiden dalam hal ini mengikuti saja karena sedang sibuk memikirkan kondisi negara yang makin genting,” katanya, (10/4/2020).
Heri menilai pemerintah sudah menerabas aturan dalam perundang-undangan. Kebijakan mengeluarkan Perppu No.1/2020 yang disusul dengan Perpres No.54/2020 adalah kebijakan kontroverisal setelah Omnibus Law.
Yang menarik di dalam Perpres No.54/2020 pemerintah mencantumkan Pasal 4 ayat 1 UUD 1945. Jika hanya menyimak pasal tersebut maka yang muncul adalah presiden bisa melakukan apa saja karena ucapan presiden adalah hukum.
“Di dalam Perpres tersebut menurutnya dicantumkan dasar hukum pembuatannya adalah Pasal 4 ayat 1 UUD 1945 dan Perppu 1/2020. Dari sini dapat disimpulkan tampaknya pemerintah ingin mengebut sendiri dengan mengabaikan rambu-rambu hukum. Main terabas!” jelas Heri.
Jika pelaksanaan peraturan tersebut dipaksakan, maka pemerintah telah mengebiri hak konstitusional DPR khususnya dalam hal anggaran. Padahal DPR memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, serta fungsi pengawasan yang diatur dalam pasal 20 ayat 1 dan pasal 23 ayat 1 UUD 1945.
“Jika DPR menolak, maka Perppu akan batal dengan sendirinya. Jika Perppu batal maka Perpres juga batal. Maka segala yang sudah diputuskan dan dilaksanakan oleh pemerintah akan kehilangan pijakan hukum,” tegasnya.
Penulis: Kukuh Subekti
Editor:Arief Setiyanto