Mereka itu bisa menentukan siapa presiden, gubernur hingga walikota. Demokrasi memang jalan, tapi pengendali antara lain kaum taipan batubara untuk memperkokoh terjadinya korporatokrasi di Indonesia,”
-Faisal Basri-
IslamToday ID —Derasnya kritik publik membuat pemerintah menghentikan dulu pembahasan RUU Omnibuslaw Klaster ketenagakerjaan. Namun RUU mineral dan batubara (Minerba) jalan terus.
Pemerintah berlasan RUU ini harus segera diselesaikan. Karena ada beberapa kontrak tambang batu bara generrasi I, yang akan segera habis masa ijinnya. Oleh karena itu, Panja RUU Minerba menargetkan pembahasan RUU ini selesai Agustus 2020.
“karena memang beberapa PKP2B ada yang sudah mau selesai bulan sebelas,” ujar Sugeng Suparwoto Anggota Komisi VII DPR- RI, Kamis (13/2/2020) lalu.
Perusahaan yang dimaksud yakni PT Arutmin Indonesia di Kalimantan Selatan luas eskplorasinya 57.107 hektar. Perusahaan ini habis kontrak pada 1 November 2020. PT Kaltim Prima Coal di Kalimantan Timur seluas 84.938 hektar. Akan habis kontrak pada 13 September 2022.
PT Multi Harapan Utama di Kalimantan Timur seluas 39.972 hektar. Akan habis kontrak pada 1 April 2022. PT Adaro Indonesia di Kalimantan Selatan seluas 31.380 hektar. Perusahaan ini habis kontrak pada 1 Oktober 2022.
PT Kideco Jaya Agug di Kalimantan Timur seluas 47.500 hektar. Akan habis kontrak pada 13 Maret 2023. PT Berau Coal di Kalimantan Timur seluas 108.009 hektar yang akan habis kontrak pada 26 April 2025..
Ekonom Faisal Basri menilai revisi UU No 4/2009 tentang Minerba, merupakan karpet merah bagi para pengusaha tambang batu bara. Ia juga mengungkapkan banyak pejabat tinggi negara memiliki konsesi dengan perusahaan batu bara dan juga kedekatan dengan pengusaha besar di sektor ini.
Bahkan, Faisal mengatakan sejumlah perusahaan itu memiliki andil besar dalam menentukan terpilihnya presiden, gubernur hingga walikota.
“Mereka itu bisa menentukan siapa presiden, gubernur hingga walikota. Demokrasi memang jalan, tapi pengendali antara lain kaum taipan batubara untuk memperkokoh terjadinya korporatokrasi di Indonesia,” ungkapnya (15/4/2020)
Cara Melayani
Faisal Basri menuturkan, sejumlah pasal yang ‘mengungtungkan’ para penguasa batu-bara dalam RUU Minerba. Pertama Pasal 169A dan 169B, di mana KK (Kontrak Kerja dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) mendapatkan jaminan perpanjangan menjadi IUPK Operasi Produksi. Permohonan UIPK Opersi Produksi dapat diajukan kepada Menteri paling cepat jangka 5 tahun dan paling lambat jangka waktu 1 tahun sebelum KK dan PKP2B berakhir.
“mereka antisipasi pergantian rezim, mereaka mau diperpanjang diperiode sekarang,” ujarnya
Kemudian dalam Pasal 8, pengembagan dan atau pemanfaatan Batubara diberikan jangka waktu selama 30 tahun dan dijamin memperoleh perpanjangan selama 10 tahun. Padahal mayoritas produksinya untuk di ekspor.
Sepanjang tahun 2019 lalu produksi batubara mencapai 616 juta ton. Nilai ekspornya juga meningkat tajam mencapai USD 19 miliar.
“Itu tertinggi sepanjang sejarah. Apalagi tahun pemilu, produksi dan ekspornya naik. Nah, sekarang digelar lagi dua lapis karpet merah dengan rencana mengesahkan RUU Cipta Kerja atau Omnibus Law dan RUU Minerba,” kata dia.
Direktur Riset INDEF, Berly Martawardaya menambahkan, Pasal 4,7, dan 8 dalam RUU Minerba telah menggeser kewenangan perizinan pertambangan kepada pemerintah pusat. Kemudian , pasal 45 yang menyatakan jika mineral lain yang tergali dalam masa eksplorasi tidak kena royalti. Ia khawatir perusahaan tambang akan memanfaatkan masa eksplorasi untuk menggali banyak mineral. Menurutnya pemerintah perlu membuat batasan tertentu.
Jangan justru diam-diam fase sudah masuk eksploitasi tapi tidak kena royalti sehingga ada potensi kehilangan pendapatan negara,” katanya.
“Masyarakat tetap harus mengawal pembahasan RUU Minerba karena sektor ini menyangkut kekayaan Sumber Daya Alam yang seharusnya dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan masyarakat,” ujarnya
Penulis: Arief Setiyanto