IslamToday ID — Pemerintah mengulirkan bantuan sosial (bansos) untuk membantu masyarakat yang terdampak COVID-19. Ironisnya, mekanisme pencairan bansos berbelit-belit. Selain itu juga tidak tepat sasaran, lantaran data penerima tidak akurat.
Sebelumnya, dalam penanganan dampak covid-19 pemerintah mengalokasikan anggaran jaring pengaman sosial sebesar Rp 110 triliun. Rencananya jumlah tersebut akan ditambah, namun dari anggaran bansos pemerintah daerah.
Staf Khusus Menteri Keuangan, Maysita Crystallin mengaku, selama ini penyaluran bansos oleh pemerintah pusat terganjal oleh permasalahan data. Ia menyebut hanya 20 persen masyarakat golongan pendapatan terbawah yang dapat memperoleh bansos.
Jumlah 20 persen tersebut yakni selama ini selalu mendapatkan bantuan pangan non-tunai dalam bentuk kartu sembako. Sedangkan, mereka yang kehilangan pekerjaan karena terdampak COVID-19 belum terdata dengan baik.
Kondisi ini menjadi alasan rencana penambahan jumlah dan kuota bansos dari anggaran bansos pemerintah daerah. Sebab, pemerintah daerah yang paling dekat dan mengetahui kondisi masyarakat yang terdampak.
”Jika tambahan bansos disalurkan pemerintah pusat, maka hanya kelompok tersebut yang mendapatkannya,” ujar Masyita, Jum’at (24/4/2020).
Ia menambahkan, dalam penyaluran bansos kerap terjadi dua permasalahan basis data, yakni inklusion dan eksklusion error. Inklusion error adalah kesalahan akibat yang terdata bukan warga miskin. Sedangkan, Eklusion error merupakan kesalahan data berupa belum terdaftarnya warga miskin. Menurutnya, eklusion error di tengah krisis pandemi yang lebih berbahaya.
Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) mengkritik lemahnya pengelolaan data penerima bantuan sosial (bansos). Lemahnya sisis pengelolaan data berakibat fatal pada tidak meratanya pembagian bansos dari pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah.
“Ini persoalan klasik dari dulu, selalu terjadi perbedaan data antara pusat dan daerah. Tak heran banyak protes dari masyarakat soal ketidaktepatan orang/penerima bansos,” ujar Peneliti KPPOD, Arman Suparman Rabu (6/5/2020).
Data yang dipegang oleh pemerintah saat ini masih tumpang tindih. Data tiap kementerian berbeda. Akibatnya, muncul kebijaakan berbeda sehingga penyaluran bansos sering salah sasaran.
Padahal, sudah ada Perpres No.39/2019 tentang Satu Data Indonesia. Seharusnya, dengan regulasi ini dapat menghasilkan data yang akurat, mutakhir, terpadu, dan dapat dipertanggungjawabkan.
Namun, implementasi regulasi ini masih jauh dari apa yang diharapkan. Padahal Satu Data Indonesia itu dapat menjadi solusi dalam pemberian bansos yang selama ini tidak tepat sasaran.
Akibat Buruknya Pengelolaan Data
Dilansir dari Alinea ID, Kemensos menggelontorkan bansos dengan anggaran berbeda-beda di beberapa wilayah. Kemensos menyiapkan anggaran sebesar Rp 2,2 triliun dalam bentuk sembako senilai Rp 600.000 per bulan selama tiga bulan untuk 1,2 juta kepala keluarga di DKI Jakarta.
Sedangkan untuk Wilayah Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Bodetabek) Kemensos menyiapkan Rp 1 triliun dalam bentuk sembako senilai Rp 600.000 per bulan selama tiga bulan untuk 576.000 kepala keluarga.
Bagi daerah di Luar Jabodetabek, disiapkan anggaran Rp 16,2 triliun dalam bentuk bantuan langsung tunai (BLT) sebesar Rp 600.000 per bulan selama tiga bulan. Sasarannya sebanyak 9 juta kepala keluarga.
Selain itu, untuk masyarakat desa anggaran diambil dari dana desa sebesar Rp 21 triliun. Jumlah tersebut diwujudkan dalam bentuk untuk bantuan tunai Rp 600.000 per bulan selama tiga bulan. Sasarannya 10 juta kepala keluarga.
Buruknya pengelolaan data mekanisme penyaluran bansos membuat kepala desa hingga kepala daerah melampiaskan kekecewaan. Misalnya, kekecewaan Kepala Desa Jalancagak, Kabupaten Subang, Jawa Barat Indra Zainal Alim yang viral dimedia sosial.
Ia mengungkapkan, data faktual yang sudah diperoleh dari RT/RW justru tidak dipakai. Penyaluran bansos malah mengacu Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) untuk dirujuk ke Pemprov Jawa Barat.
“Kami sebagai kepala desa seolah-olah diadu domba oleh kebijakan bapak dengan warga kami sendiri,” kata Indra dalam video tersebut.
Oleh karena itu, ia kecewa terhadap Presiden Joko Widodo, Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Abdul Halim Iskandar, dan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil.
Sebelumnya, beredar pula video kekecewaan Bupati Bolaang Mongondow Timur, Sehan Salim Landjar terhadap bantuan langsung tunai (BLT). Ia kecewa lantaran mekanisme BLT rumit dan menyulitkan warga. Padahal Pemda Boltim sudah siap menyalurkan bantuan, namun terganjal regulasi pemerintah pusat.
Penulis: Arief Setiyanto
Editor: Tori Nuariza