IslamToday ID — Kasus perbudakan terhadap anak buah kapal (ABK), yang diungkap oleh MBC News Korea pada akhir April 2020 kemarin ternyata bukan yang pertama kali terjadi. Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) perbudakan terhadap ABK asal Indonesia sudah terjadi sejak tahun 2013.
“Kalau kami melihat persoalan ini tidak hanya kemudian terjadi pada saat ini saja, kalau kita mau kembali kepada data, sejarah, bahwa persoalan-persoalan perbudakan di atas kapal itu terjadi, kalau data kami itu mulai tahun 2013 terjadi,” kata Ketua SBMI, Hariyanto Suwarno, melalui siaran langsung dari kanal YouTube Greenpeace, Kamis (7/5/2020).
Dilansir dari Kompas ID, sejak januari 2015 hingga 31 oktober 2018, sebaran kasus pelaut ikan dan diaga ter jadi di Amerika Utara Dan Tengah, Eropa Barat, Tengah dan Timur, Asia Timur, Tengah, Selatan dan Tenggara. Selain itu juga terjadi di Amerika Selatan, Arika, Timur Tengah dan Oceania.
Jika dilihat dari kepangkatannya, kasus yang menyeret ABK penangkap ikan menduduki peringkat pertama, dengan total 2.515 orang. Begitu pula jika dilihat dari jenis kapal, kapal penangkap ikan menduki peringkat pertama, sebanyak 2.782 kasus.
Menurut Hari, perbudakan juga dipicu ego sektoral masing-masing kementerian dalam mengambil kebijakan terkait perlindungan ABK. Carut-marut tata kelola penempatan ABK yang saat ini juga masih dilanggengkan. Seharusnya, Kementerian Luar Negeri Kementerian Ketenagakerjaan dan BP2MI bersinergi dalam menangani kasus seperti ini.
Chief Executive Officer Indonesia Ocean Justice Initiative, Mas Achmad Santosa mengungkapkan, tahun 2016 Indonesia sudah meratifikasi ILO Convention on Maritime Labour Convention 2006 melalui UU Nomor 15 tahun 2016. Di dalamnya mengatur jaminan sosial, hak-hak pekerja, serta kesempatan kerja yang adil bagi pelaut. Namun regulasi tersebut secara eksplisit mengecualikan ABK di kapal ikan.
Oleh karena itu, Ocean Justice Initiative meminta Pemerintah RI segera meratifikasi Konvensi ILO nomor 188 tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan (Works in Fishing). Konvensi ILO C-188 merupakan instrumen internasional yang mengatur bentuk-bentuk perlindungan kepada ABK perikanan. Selain itu juga mengatur mekanisme untuk memastikan kapal-kapal ikan mempekerjakan ABK dengan kondisi yang layak.
Sementara itu, Peneliti pada Pusat Studi Asia Pasifik Universitas Gajah Mada, Ratih Pratiwi Anwar, juga mendesak pemerintah meratifikasi Konvensi ILO C-188. Sebab menurutnya, perlu pembenahan dan implementasi peraturan terkait perlindungan pekerja penangkapan ikan.
“Karena sifat pekerjaan di atas kapal beresiko tinggi terhadap kesehatan dan keselamatan pelaut,” ujarnya.
Dirjen Perikanan Tangkap KKP, Zulficar Mochtar juga menilai ratifikasi terhadap konvensi diperlukan untuk perbaikan kondisi kerja ABK di atas kapal penangkap ikan. Menurutnya, Zulficar perlunya pembenahan serius untuk menempatkan ABK di luar negeri.
“Pembenahannya perlu menyeluruh. Mulai dari one channel recruitment process. Sehingga semua pihak terkait terintegrasi. Lalu pendataan harus valid. Selanjutnya pembenahan standar kompetensi,” kata Mochtar.
Penulis: Arief Setiyanto
Editor: Tori Nuariza