IslamToday ID –Pemerintah berulang kali mengklaim kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) efektif menekan angka penularan dan penyebaran corona virus (covid-19). Tapi, klaim keberhasilan itu diragukan sejumlah pakar, sebab Indonesia belum memiliki standar kurva epidemic.
Mewakili pemerintah, Kepala Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Doni Monardo mengumumkan keberhasilan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) (11/5/2020). Selama sejak satu bulan diberlakukan PSBB, kasus positif Covid-19 di Jakarta turun menjadi 39%. Namun di luar DKI Jakarta tingkat keberhasilan PSBB dirasa belum maksimal.
Pengumuman tersebut bukan muncul tiba-tiba. Ada ‘perintah’ Presiden Jokowi dalam rapat paripurna (6/5/2020) lalu. Presiden jokowi meminta para menteri dan pejabat terkait untuk menurunkan angka kasus covid-19.
“Target kita di bulan Mei ini harus betul-betul tercapai, sesuai dengan target yang kita berikan yaitu kurvanya sudah harus turun. Dan masuk posisi sedang di Juni, di Juli harus masuk posisi ringan. Dengan cara apapun,” kata Presiden Jokowi (6/5/2020).
Ironisnya, selang sehari setelah rapat justru ditemukan 11 penumpang pesawat yang positif terjangkit Covid-19. Mereka adalah para eks ABK kapal Italia, yang mendarat di Bandara Sukarno-Hatta.
Mereka bisa masuk ke Indonesia karena kebijakan pelonggaran transportasi yang di keluarkan oleh Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi. Setelah itu, pada Sabtu (9/5/2020) jumlah penambahan kasus justru berada dilevel tertinggi, sebanyak 533 kasus positif covid-19.
Fakta PSBB
Jika kita ingat, pelaksanaan PSBB di Indonesia tidak berlangsung sekali. Misalnya, Kabupaten Bandung Barat (KBB). Bupati Bandung Barat, AA Umbara Sutisna memperpanjang masa pelaksanaan PSBB yang semula hanya dari tanggal 15-29 April 2020, kemudian dilanjutkan tanggal 6-19 Mei 2020.
DKI Jakarta juga melakukan hal sama, memperpanjang PSBB hingga 22 Mei 2020. Begitu pula dengan Kota Surabaya yang memperpanjang masa PSBB hingga 25 Mei 2020 mendatang. Perpanjangan ini bukan tanpa alasan. Pemerintah daerah melihat ada tren kenaikan kasus meskipun PSBB telah dilakukan.
“Kami perpanjang PSBB ini karena tren positifnya naik,” kata Bupati KBB, AA Umbara (5/5/2020).
Sementara itu, Pengamat Kebijakan Publik UI, Bambang Istianto menilai, kebijakan PSBB telah menyimpang dari tujuannya untuk menekan penularan dan penyebaran covid-19. Hal ini disebabkan keluarnya Permenhub 25/2020 serta Surat Edaran (SE) 4/2020 yang dikeluarkan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19. Pelonggaran transportasi ini jelas mendistorsi tujuan PSBB.
“Beroperasinya transpostasi umum mendistorsi keberhasilan pembatasan sosial berskala besar yang telah diterapkan oleh sejumlah wilayah di Indonesia,” terangnya (11/5/2020).
Analisis Diragukan
Iqbal Elyazar, Penelliti dari Eijkman-Oxford Clinical Research Unit (EOCRU), meyatakan bahwa kurva kasus covid-19 yang disuguhkan pemerintah patut diragukan. Alasannya, Indonesia hingga awal Mei kemarin belum memiliki standar kurva epidemi O. Yakni, sebuah kurva khusus yang sesuai dengan standar ilmu epidemiologi.
“Masalah utamanya, sudah 68 hari setelah kasus pertama COVID-19 diumumkan, Indonesia belum menampilkan kurva epidemi COVID-19 yang sesuai dengan standar ilmu epidemiologi. Karena itu, adanya klaim terjadinya penurunan kasus baru COVID-19 cukup meragukan,” ungkap Iqbal (8/5/2020).
Pemerintah memang tidak hanya sekali saja mengumumkan terjadinya penurunan kasus. Tanggal 2 Mei 2020. Pemerintah menyebutkan bahwa 14 provinsi di Indonesia tidak mengumumkan adanya kasus baru.
Padahal, menurut Pakar FKM UI, Pandu Riono, penurunan kasus bergantung pada layanan kesehatan dan jumlah pasien dalam pengawasan. Senada dengan itu, peneliti Biostatistik di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI), Iwan Ariawan, mengingatkan, tanpa informasi lebih lanjut tentang jumlah tes yang dilakukan dan jarak waktu antara pengumpulan sampel swab serta pengumuman hasil tes, kasus COVID-19 yang dilaporkan memiliki risiko bias yang tinggi.
“Misalnya, dengan berkurangnya jumlah tes yang dilakukan, jumlah kasus COVID-19 yang dikonfirmasi akan secara otomatis juga menurun. Dan itu tidak akan terjadi karena penurunan kasus di antara populasi, tetapi karena penurunan jumlah orang yang diuji,” jelasnya.