IslamToday ID — Kebijakan Presiden Jokowi untuk tetap menaikan iuran BPJS ditengah situasi serba sulit bagi masyarakat akibat terdampak Covid-19, pada (5/5) mengundang reaksi kecaman sejumlah pihak.
KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) turut menyuarakan hal yang sama, hal ini disampaikan oleh Pimpinan KPK Nurul Ghufron pada Jumat (15/5). Penolakan KPK ini didasarkan atas Kajian Tata Kelola Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan KPK tahun 2019.
Buruknya Sistem Tata Kelola
Berdasarkan kajian DJS Kesehatan KPK tahun 2019 tersebut diketahui bahwa sumber permasalahan yang menyebabkan BPJS mengalami defisit adalah sistem tatakelola yang inefisien dan tidak tepat.
Akibatnya, muncullah tindakan fraud atau penyimpangan yang akan terus terjadi jika tata kelola BPJS tidak segera diperbaiki. Artinya, kenaikan iuran BPJS tanpa ada perbaikan tata kelola BPJS tidak akan menyelesaikan masalah.
“Solusi menaikkan iuran BPJS sebelum ada perbaikan sebagaimana rekomendasi kami, tidak menjawab permasalahan mendasar dalam pengelolaan dana jaminan sosial kesehatan. Kenaikan iuran hanya akan menambah beban masyarakat, mengingat situasi sulit yang sedang dihadapi saat ini dan potensinya yang berdampak di masa depan,” kata Nurul Ghufron melalui keterangan tertulisnya yang dimuat di laman website KPK, Jumat (15/5/2020).
Selain membebani masyarakat, kenaikan iuran BPJS Kesehatan juga menyebabkan tujuan Jaminan sosial sebagaimana Undang Undang No. 40 tahun 2004 menjadi pupus, tidak dapat terwujud.
Tujuan akhir dari adanya jaminan sosial adalah perlindungan sosial yang menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak. Tentu keikutsertaan dan perlindungan bagi seluruh rakyat Indonesia adalah indikator utama suksesnya perlindungan sosial kesehatan.
“Dengan menaikkan iuran di kala kemampuan ekonomi rakyat menurun, dipastikan akan menurunkan tingkat kepersertaan seluruh rakyat dalam BPJS,” ujar Nurul Ghufron.
KPK pun memberikan sejumlah rekomendasi kepada pemerintah agar segera terciptanya perbaikan di tubuh BPJS tanpa perlu menaikan iuran BPJS. KPK menyarankan agar pemerintah melalui Kementerian Kesehatan (Kemenkes) melakukan beberapa kebijakan seperti menyelesaikan Pedoman Nasional Praktik Kedokteran (PNPK).
Kemudian, penertiban kelas Rumah Sakit, dan menerapkan kebijakan urun biaya (co-payment) untuk peserta mandiri sebagaimana diatur dalam Permenkes Nomor 51 tahun 2018 tentang Urun Biaya dan Selisih Biaya dalam Program Jaminan Kesehatan.
Hal lain yang juga perlu dilakukan oleh Kemenkes menurut KPK, ialah menerapkan pembatasan manfaat untuk klaim atas penyakit katastropik dan mengakselerasi implementasi kebijakn coordination of benefit (COB) dengan asuransi kesehatan swasta.
Adapun mengenai tunggakan iuran dari peserta mandiri, KPK merekomendasikan agar pemerintah mengaitkan kewajiban membayar iuran BPJS Kesehatan dengan pelayanan publik.
Faktor Defisit BPJS
Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron mengatakan penyebab defisitnya BPJS terdapat tiga faktor yakni permasalahan moral hazard dan adverse selection pada peserta mandiri (PBPU), dimana sejumlah peserta menggunakan layanan JKN kemudian menunggak iuran, seperti dilansir Gatra, (13/3/2020).
“Terjadinya over-payment karena kelas rumah sakit yang tidak sesuai hasil piloting pada 2018 mendapatkan 4 dari 6 rumah sakit mengklaim tidak sesuai dengan kelasnya. Akibatnya, terdapat over-payment sebesar Rp33 miliar per tahun,” kata Ghufron di Gedung Merah Putih KPK Jakarta, Jumat (13/3).
Selain itu lanjut Ghufron ditemukan fraud seperti up-coding dalam analisa, re-admisi phantom billing, unbundling dan lain sebagainya. KPK pun memberikan sejumlah rekomendasi kepada Kementerian Kesehatan dan BPJS Kesehatan untuk menutupi defisit.
Defisit disebabkan adanya keterlambatan pembayaran klaim ke fasilitas kesehatan (faskes). Belum lagi kolektabilitas iuran hanya ±50 persen pada segmen peserta mandiri atau peserta bukan penerima upah (PBPU). Dengan nilai tunggakan peserta mandiri mencapai Rp 5,6 triliun atau sekitar 45 persen.
Hal ini disampaikan oleh Deputi Pencegahan KPK, Pahala Nainggolan yang saat itu juga mengungkapkan bahwa masih terjadi overpayment sebesar Rp 33 miliar/tahun. Hal ini disebabkan empat dari enam rumah sakit bermain “nakal” karena mengklaim tidak sesuai dengan kelasnya.
Deputi Pencegahan KPK, Pahala Nainggolan mengatakan rekomendasi KPK adalah Kemenkes mempercepat penyusunan PNPK (Pedoman Nasional Praktik Kedokteran) esensial dari target 80 jenis PNPK.
Nainggolan menyebut hingga Juli 2019 baru ada 32 PNPK, dimana target yang diminta oleh KPK pada 2015 sebanyak 80 PNPK harus selesai di tahun 2019. KPK menilai ketiadaan PNPK itulah yang mengakibatkan unnecessary treatment atau pengobatan yang tidak perlu.
“Ketiadaaan PNPK akan mengakibatkan unnecessary treatment. Opsi pembatasan manfaat untuk penyakit katastropik. Total klaim penyakit katastropik adalah sebesar 30% dari total klaim pada 2018. Dengan diatur PNPK penyakit katastropik, maka potensi unnecessary treatment dapat dikurangi,” jelas Pahala Nainggolan.
Potensi Hemat 12,2 T
Defisit keuangan yang terjadi pada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dapat ditekan dengan perbaikan kebijakan.
KPK menyampaikan hasil kajian Tata Kelola Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan bahwa apabila serangkaian perbaikan kebijakan dan sistem tata kelola dijalankan menurut perhitungan KPK, total bisa menghemat 12,2 triliun, dengan cara penurunan pengeluaran BPJS Kesehatan, hal ini disampaikan pada 13 Maret 2020 lalu.
KPK mengungkapka bahwa penolakan kebijakan kenaikan iuran BPJS melalui putusan MA (Mahkamah Agung) itu sejalan dengan hasil temuan KPK tahun 2018.
“Selama ini BPJS Kesehatan selalu defisit, dan proyeksi ke depan semakin besar jadi kami lakukan kajian apa solusinya selain kenaikan iuran, jadi ini opsi-opsi yang bisa dilakukan pemerintah secara struktural, sebagian besar ada di tingkat kebijakan,” ujar Deputi Pencegahan KPK, Pahala Nainggolan, di Kantor KPK Jakarta, Jumat (13/3/2020).
Menurut Pahala, kebijakan itu dimulai dari penerapan pedoman pelayanan kesehatan. Ia pun mencontohkan pasien sakit A, maka protokol akan menjelaskan apa saja alat yang digunakan, berapa petugas yang menangani hingga cara menanganinya.
KPK mencatat dari 80 penyakit, baru 32 diantaranya ditindaklanjuti oleh BPJS Kesehatan. Artinya ada 48 lagi yang belum ditetapkan.
Kemudian masalah lainnya, yang perlu dilakukan penyelesaian terkait CoB atau coordination of benefit. Dibutuhkan koordinasi layanan BPJS Kesehatan dengan asuransi swasta. Saling dukung ini membuat BPJS Kesehatan terhindar dari beban ganda.
KPK ingin Kemenkes mengakselerasi Coordination of Benefit dengan Asuransi Kesehatan Swasta.
“Kemenkes mengimplementasikan co-payment 10% sesuai Permenkes No 51 tahun 2018 Dengan co-payment 10%, dari total tagihan peserta mandiri sebesar Rp22 triliun di tahun 2018, akan terjadi penghematan sebesar Rp2,2 triliun,” paparnya.
KPK juga mengusulkan adanya sistem copayment atau pembayaran sebagian oleh peserta khususnya kelas 1 dan 2 yang tergolong mampu. Aturannya sudah ada di Permenkes 51/2018 tentang urun biaya tapi tidak berjalan. Padahal apabila ini berjalan, pengeluaran BPJS dapat ditekan hingga Rp 2,2 triliun.
Selain itu evaluasi penetapan kelas rumah sakit. Hasil piloting pada 2018 mendapatkan 4 dari 6 rumah sakit tidak sesuai kelas dan mengakibatkan pemborosan pembayaran klaim sebesar Rp33 miliar per tahun.
“Hasil review Kemenkes tahun 2018 dari 7 ribu RS ditemukan 898 RS yang tidak sesuai kelas. Jika dilakukan perbaikan penetapan kelas, terdapat estimasi penghematan beban jaminan BPJS Kesehatan sebesar Rp 6,6 T. Sehingga, total minimum penghematan pengeluaran klaim sebesar Rp12,2 triliun,” katanya.
“Kalau seluruh masalah ini rekomendasinya dijalankan pemerintah, dari perhitungan kami total Rp 12,2 triliun bukan berupa uang tambahan tetapi penurunan pengeluaran BPJS Kesehatan,” ujarnya.
Jumlah ini cukup signifikan karena BPJS Kesehatan mencatatkan defisit sekitar Rp 30 triliun.
Dalih Pemerintah
Direktur Utama BPJS Kesehatan, Fachmi Idris mengklaim bahwa kenaikan iuran BPJS yang diatur dalam Perpres No.64/2002 masih sesuai dengan koridor keputusan Mahkamah Agung (MA) soal pembatalan kenaikan iuran. Menurutnya, berdasarkan koridor yang ditetapkan dalam putusan MA Nomor 7/P/HUM/2020 tersebut pemerintah diberi tiga opsi, yaitu mencabut, mengubah, atau melaksanakannya.
“Kalau kita lihat, artinya Pak Jokowi masih dalam koridor yaitu dalam konteks mengubah. Sebetulnya tidak betul kalau pemerintah tidak memperingati. Pemerintah justru hadir lebih banyak pertama perpres ini konstruksi dasarnya membangun sosial, solidaritas yang tidak mampu dibiayai pemerintah. Pak Jokowi komitmen,” kata Fachmi Idris (14/5/2020).
Fachmi menambahkan bahwa keberadaan perpres yang dikeluarkan oleh Presiden Jokowi ialah untuk mendukung keberlanjutan BPJS, defisit BPJS pun bisa dikurangi.
Ia juga menyampaikan bawa hingga akhir tahun 2019 lalu BPJS masih mengalami gagal bayar sebesar Rp 15,5 triliun. Dan hutang tersebut terus ditagihkan ke BPJS setiap bulaannya, hingga (14/5) lalu hutang BPJS yang jatuh tempo ialah Rp 4,8 triliun.
“Proyeksinya, kalau nanti Pepres 64/2020 berjalan, kita hampir tidak defisit. Kurang lebih seimbang antara pendapatan dan pengeluaran,” tutur Fachmi Idris.
Pihak Istana melalui Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP), Donny Gahral Adian, mengungkapkan bahwa kenaikan iuran BPJS adalah opsi terbaik yang bisa dilakukan oleh pemerintah. Ia mengatakan tidak semua masukan yang diberikan kepada pemerintah langsung diterima mentah-mentah, pemerintah harus mempertimbangkan ulang masukan tersebut. Pemerintah pun telah memperhitungkan, mengkalkulasikan semua opsi yang ada.
“Karena pemerintah juga punya perhitungan, punya kalkulasi maka semua opsi sudah dicoba, sudah disimulasikan dan opsi terbaik adalah tentu struktur tarif yang diputuskan oleh pemerintah. Karena itu opsi terbaiknya yakni menaikkan iuran BPJS Kesehatan,” jelas Donny Gahral (15/4/2020).
Defisit Bisa Disiasati
Seruan agar iuran BPJS tidak perlu dinaikan juga berasal dari Ekonom Senior, Rizal Ramli. Rizal berpendapat masih ada pilihan lain untuk bisa menolong terjadinya defisit pada BPJS. Salah satunya dengan memanfaatkan anggaran program Kartu Prakerja.
“Pak @jokowi sebetulnya punya pilihan mudah: Batalkan program Kartu Prakerja Rp 20 Triliun. Termasuk setoran abal-abal dan KKN provider online (Rp5,6 Trilliun). Gunakan untuk menyelesaikan masalah BPJS Kesehatan, sehingga tarif tidak perlu naik. Gitu aja ribet, yang penting ada hati untuk rakyat!” tulis Rizal melalui akun twitternya, pada (15/5/2020).
Selain Rizal Ramli, Ekonom Senior INDEF, Faisal Basri juga mengungkapkan bahwa ada solusi lain yang bisa diambil oleh pemerintah ketimbang menaikan iuran BPJS. Salah satunya adalah dengan memangkas anggaran belanja sejumlah kementerian. Ia berargumen bahwa pemangkasan yang selama ini terjadi di kementerian masih terlalu kecil.
Faisal pun menyebutkan anggaran sejumlah kementrian yang masih bisa dipangkas seperti anggaran di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) yang hanya turun Rp 24,53 triliun atau 20,4% dari anggaran semula Rp 120,2 triliun menjadi Rp 95,6 triliun. Berikutnya anggaran Kementerian Agama turun Rp 2,65 triliun atau 4% dari Rp 65,1 menjadi Rp 62,4 triliun.
“Memangnya virus COVID-19 dapat selesai dengan dakwah? Ini potong anggarannya cuma ecek-ecek. Seperti dalam keadaan normal lalu diminta hemat anggaran. Sudah biasa pemotongan seperti ini saat shortfall,” kata Faisal Basri (13/5/2020).
Dugaan bahwa kenaikan iuran BPJS akibat negara sedang dalam kondisi terjepit oleh banyaknya hutang justru diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR), Ujang Komarudin.
Ia menduga kondisi keuangan negara yang minus menyebabkan Presiden Jokowi terpaksa mengambil kebijakan yang mengecewakan rakyatnya. Banyaknya hutang negara tersebut membuat negara tidak lagi sanggup membiayai dan membayar jaminan kesehatan warganya melalui BPJS. Sehingga pemerintah menekan rakyatnya untuk membayar biaya kesehatan sendiri-sendiri.
“Artinya negara tak punya uang. Uang negara minus. Suka tidak suka, senang tidak senang Jokowi mengambil kebijakan yang menyebalkan rakyat, yaitu menaikan iuran BPJS.Tidak dinaikkan saja masyarakat sudah berat. Apalagi dinaikkan iurannya di masa Corona ” ungkap Ujang Komaruddin, Ahad (17/5/2020).
Penulis: Kukuh Subekti
Redaktur: Tori Nuariza