IslamToday ID — Bocornya 2,3 juta data pemilih memperburuk citra Komisi Pemilihan Umum (KPU), sebagai lembaga penyelanggara pemilu. Kasus tersebut juga menambah catatan kelam lembaga yang berperan sebagai ‘manager’ demokrasi ini.
KPU merupakan lembaga ad hoc yang dibentuk berdasarkan amanat UU. 4 Tahun 2000 tentang Pemilu. KPU digadang-gadang menjadi lembaga sebagai independen dan nonpartisan untuk mewujudkan pemilu yang jurdil (jujur dan adil).
Namun, sejak awal tugasnya lembaga penyelenggara pemilu ini diwarnai oleh berbagai skandal, mulai dari korupsi, suap, dan pelanggaran kode etik. Tahun 2005 Badan Keuangan (BPK) memberikan laporan kepada DPR tentang hasil auditnya terhadap anggaran pemilihan umum legislatif tahun 2004.
Penyimpangan Proyek 2004
BPK melaporkan telah terjadi 33 penyimpangan dalam proyek pengadaan barang dan jasa. Antara lain; seperti pengadaan kotak suara, bilik suara, surat suara, tinta dan perangkat teknologi informasi pemilu tahun 2004. Nilai anggarannya proyek pengadaan ini mencapai Rp 632,23 miliar. Waktu itu, mantan Anggota KPU Mulyana W. Kusuma menyuap auditor BPK Khairiansyah Salman sebesar Rp 150 juta untuk memanipulasi hasil audit tersebut.
KPK berhasil menangkap Mulyana W. Kusuma. Anggota KPU itu akhirnya dijatuhi vonis dua tahun tujuh bulan penjara dan denda Rp50 juta subsider tiga bulan kurungan.
Mantan Ketua KPU pertama, Nazaruddin Syamsuddin juga tidak lepas dari tuduhan korupsi. Ia dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana korupsi dalam pengadaan asuransi petugas pemilu 2004. Akibatnya, negara mengalami kerugian senilai Rp 14,1 miliar. Nazaruddin divonis tujuh tahun penjara dan denda Rp 300juta.
Selain dua nama di atas, catatan kelam KPU periode 2004 tersebut juga memunculkan dua nama lain seperti Daan Dimara dan Rusadi Kantaprawira. Kedua komisioner KPU tersebut masing-masing mendapatkan vonis hukuman 4 tahun penjara.
Teka-Teki Korupsi IT
Tahun 2009, mencuat dugaan korupsi pengadaan IT KPU. Ketua KPK periode 2007-20011,, Antasari Azhar dalam buku berjudul “Testimoni Antasari Azhar untuk Hukum dan Keadilan” mengungkapkan,adanya kejanggalan alam hal pengadaan alat hitung cepat, Identity Character Recognition (ICR) KPU pada bulan April 2009.
Dugaan tersebut diawali dengan kasus lambatnya perhitungan suara legislatif hasil Pileg 2009. Padahal KPU mengklaim jika alat yang dimiliki itu tergolong canggih. Alat IT yang diklaim canggih tersebut nilainya mencapai Rp 170 miliar.
KPU mengklaim kecanggihan IT tersebut mampu memproses perhitungan suara dengan cepat, akurat, otentik, aman dan membuat pemilu berjalan transparan. Namun akhirnya alat itu tidak berfungsi. Akhirnya perhitungan suara dilakukan secara manual.
Antasari kemudian melakukan penyelidikan setelah KPU memberikan keterangan pres pada 21 April 2009. Namun belum tuntas melakukannya, ia justru dijebloskan ke dalam tahanan. Antasari bahkan menyimpulkan,, penyelidikannya terhadap kasus korupsi IT itu menjadi, salah satu sebab ia ‘dilengserkan’ dari kursi Ketua KPK saat itu.
Padahal, upaya monitoring terhadap pengadaan IT KPU bukan bermaksud mengintervensi KPU. Penyelidikan tersebut dilakukan untuk mencegah kasus korupsi sebagaimana yang pernah terjadi di KPU periode 1999-2004.
“Dalam kasus ini, saya merasa bertanggung jawab sebagai Ketua KPK yang memiliki tugas untuk memonitor dan mencegah orang dan sistem menjadi korup,” kata Antasari di halaman 465 buku yang ditulis oleh Servas Pandur itu, seperti yang dikutip dari detik.com pada (26/5/2020).
Tahun 2012 dugaan korupsi ini dimentahkan Juru Bicara KPK, Johan Budi. Menurut Johan kasus itu belum pernah naik ke penyelidikan maupun penyidikan. KPK tidak menemukan data empiris telah terjadi tindak pidana korupsi di pengadaan IT KPU tersebut.
“Karena memang tidak ada kasus itu di KPK,” kata Johan Budi saat dihubungi, Rabu malam (23/10/2012).
“Itu baru sebatas informasi. Tidak ada data empirisnya,” imbuh Johan
Padahal Antasari menilai, berkas kasus IT KPU di KPK sebenarnya sudah lengkap. Lantaran itulah, dia mengaku heran pengusutan kasus itu tidak pernah diproses KPK.
Di tahun 2017, Anasari menyebut adanya keterlibatan putera bungsu Presiden SBY, Edhie Baskoro Yudhoyono alias Ibas. Antasari mendapat informasi bahwa Ibas yang mengadakan alat itu. Oleh karena itu ia terus melakukan penelusuran. Namun belum selesai menginvestigasi, justru ia yang dijebloskan ke dalam penjara.
Tahun 2010, persolan tersebut juga turut di singgung pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra. Menurut yusril pemerintahan SBY-Budiono menjalankan kekuasaan pemerintahan negara melalui pemilu yang buruk. Salah satunya terkait sistem IT KPU yang amburadul.
“Saya bersedia dimintai keterangan soal dugaan kasus korupsi IT KPU,” demikian kata Yusril seperti dilansir beritasatu.com (7/10/2010).
Di tahun yang sama Indonesia Corruption Watch (ICW), pernah meminta agar KPK menyelidiki kasus dugaan korupsi IT KPU. KPK diminta untuk tidak diam saja dengan kasus tersebut.
Keberadaan IT KPU yang bermasalah diduga menjadi penyebab terjadinya manipulasi hasil pemilu dan pilpres 2009. Menurut ICW pengadaan IT KPU berbiaya Rp 234 milar ini diawali dengan mekanisme tender yang terburu-buru dan tanpa proses studi kelayakan terhadap alat.
“Setidaknya itu pengakuan dari eks Ketua Tim Ahli Teknologi Informasi KPU, Bambang Edhi Leksono yang kemudian mundur dari jabatannya. Selain itu dari sisi aturan, proses pengadaan ICR, diduga melanggar Keppres No 80/ 2003. Faktanya ketika itu, pengadaan teknologi itu dilakukan melalui mekanisme penunjukan. Dicurigai ada unsur koruptif,” ungkap anggota ICW Abdullah Dahlan, seperti ditulis beritasatu.com pada (25/10/2010).
Buruknya Sistem Keuangan
Tahun 2008, Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), pernah mengungkapkan tentang buruknya sistem keuangan KPU pada tahun 2004. KPU dinilai KPU memiliki hak istimewa dalam hal pengadaan. KPU berkedudukan sebagai pengelola sekaligus pengawas dana pemilu. Namun akuntabilitas KPU diragukan.
“Satu contoh, berkaitan dengan ketidakjelasan rincian pos anggaran operasional KPU serta pembengkakan hingga Rp19,3 milyar anggaran operasional pendaftaran pemilih dan pendataan penduduk berkelanjutan,” Kata Arif Nur Alam, Koordinator Divisi Politik Anggaran Seknas FITRA dikutip dari hukumonline.com pada (26/5/2020).
Tidak berhenti disitu, BPK memberikan opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) atas laporan keuangan KPU untuk tahun anggaran 2018. Persolan ini juga disorot oleh presiden Jokowi. Ia meminta KPU memperbaiki sistem laporan keuangannya.
Kasus Berulang, Peretasan Data KPU
Kasus kebocoran data kembali terungkap, kali ini giliran lembaga milik pemerintah, Komisi Pemilihan Umum menjadi sasaran hacker, setidaknya ada 2,3 juta data pemilih yang bocor. Hal ini terungkap saat akun twitter Under the Breach mengunggah tiga hasil capture, tangkapan layar tentang bukti peretasan data KPU (21/5).
Bagi KPU kasus seperti ini bukan hanya baru kali ini saja terjadi, tahun 2019 tepatnya satu bulan menjelang Pilpres 2019, kasus yang sama pun muncul. Kala itu KPU mengumumkan, telah terjadi peretasan data milik KPU yang dilakukan oleh hacker (13/3/2019).
Meskipun KPU tidak menjelaskan dari mana asal hacker secara pasti, apakah dari dalam negeri atau luar negeri. Namun menurut KPU para peretas tersebut menggunakan IP (Internet Protocol) Address dari Cina dan Rusia. Untuk mengatasi hal tersebut KPU menjelaskan akan berkoordinasi dengan pihak Badan Intelijen Negara, Polri, dan Badan Sandi dan Siber Negara.
“Hacker (peretas) itu menggunakan IP Address dari mana aja. Ada IP Address dari banyak negara lah. Jadi bukan hanya China dan Rusia, enggak, dari banyak negara,” kata Ketua KPU Arief Budiman seperti dikutip dari Kompascom (14/3/2019).
Rupanya aksi peretasan data dan gangguan terhadap penyelenggaraan Pilkada yang diadakan KPU pada tahun 2020 ini juga pernah terjadi pada gelaran Pilkada 2018.
Meskipun penyelenggaraan Pilkada 2020 hingga kini masih menunggu kepastian masa pandemi Covid-19 ini berakhir. Namun hal ini bisa menjadi bukti bahwa KPU kerap diusik oleh aksi peretasan data yang terjadi secara berulang-ulang, bahkan jika ditelusuri ke belakang hal ini juga terjadi pada pemilu 2004 dan 2009. Begitu pula pada musim Pilpres 2014.
Fenomena peretasan yang selalu muncul ketika KPU tengah mengadakan hajat besar, pesta demokrasi ini menunjukan bahwa cyber security milik KPU begitu lemah. Kasus-kasus tersebut tentu akan berdampak pada turunnya integritas KPU sebagai penyelenggara pemilu yang terpercaya. Belum lagi kasus-kasus lain yang turut mencoreng nama KPU, tentu jika ini didiamkan terus-menerus, masyarakat akan mempertanyakan keakuratan hasil pemilu baik pilkada, pilpres maupun pemilihan legislatif.
Skandal Suap Komisioner
Sejak awal tahun 2020 lalu, misalnya, tertangkapnya Komisioner KPU, Wahyu Setiawan dalam OTT KPK pada (8/1) tengah menjadi sorotan masyarakat. Komisioner KPU tersebut terlibat dalam skandal yang dilakukan oleh Kader PDIP, Harun Masiku. Keduanya terlibat dalam kasus dugaan suap terkait pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR periode 2019-2024.
Hingga kini kasus membuat Harun Masiku berstatus buron, bahkan sudah lima bulan lamanya terhitung sejak Januari hingga Mei. Kasus ini diawali dengan penetapan Harun sebagai PAW untuk menggantikan Nazaruddin Kiemas yang meninggal sebelum hari pemungutan suara (27/3/2019), dan surat suara sudah tercetak. PDIP mengusulkan agar Harun Masiku ditetapkan sebagai PAW menggantikan Nazaruddin Kiemas. Sementara di saat yang bersamaan di dapil tersebut, Dapil Sumatera Selatan (Sumsel) I terdapat caleg PDIP lain yang suaranya lebih tinggi yakni Riezky Aprilia.
Untuk menetapkan Harun sebagai PAW, PDIP melakukan beragam cara mulai dari melakukan gugatan uji materi terhadap Pasal 54 Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2019 tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara hingga melobi Riezky Aprilia agar bersedia mundur dari keanggotaannya di DPR.
Melalui ketetapan MA tersebut, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan yang disampaikan oleh pengurus DPP PDI-P melalui advokatnya Donny Tri Istiqomah, di mana partai menjadi pihak yang menentukan nama yang akan menyandang status PAW.
Skandal Pelanggaran Kode Etik
Belum selesai kasus yang melibatkan eks Komisioner KPU, Wahyu Setiawan dan kader PDIP, Harun Masiku tersebut hingga kini masih berjalan. Masyarakat dihebohkan dengan skandal pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu yang dilakukan oleh eks Komisioner KPU, Evi Novida Ginting Manik.
Akibatnya, dua dari tujuh anggota komisioner KPU itu kini terbukti terlibat dalam skandal pemilu di Indonesia. Dan keduanya pun akhirnya dipecat, dari jabatannya sebagai Komisioner KPU. Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) juga memberikan peringatan keras kepada Ketua KPU dan empat komisioner KPU yang masih ada.
“Menjatuhkan sanksi Peringatan Keras Terakhir kepada Teradu I Arief Budiman selaku Ketua merangkap Anggota Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia,” kata Pelaksana Tugas(Plt) Ketua DKPP Muhammad (18/3).
Dengan dipecatnya dua komisioner KPU, selain melemahkan integritas KPU juga menjadi sinyal adanya praktik kecurangan yang terjadi dalam tubuh KPU selama Pilpres 2019 lalu. Bahkan menurut, pengamat politik, Muslim Arbi rakyat pun semakin mengetahui bahwa KPU diisi oleh orang-orang yang tidak jujur.
“Bobrok KPU mulai terbongkar mulai dari Wahyu Setiawan, sekarang Evi Novida Ginting. Keduanya dipecat. Ini menjadi indikasi kuat kecurangan Pilpres 2019. Kerja KPU kolektif kolegial tentunya keputusan seorang komisioner tidak bisa dilepaskan keputusan bersama komisioner lainnya,” kata Muslim Arbi (19/3/2020).
Bocornya Data Pemilih
Bocornya 2,3 juta data terbuka milik KPU yang berisi data warga negara Indonesia menurut pakar keamanan siber, Pratama Persadha akan menimbulkan kekacauan baru jika tidak segera diatasi. Belum lagi jika data-data tersebut dijadikan satu dengan data milik Tokopedia dan Bukalapak yang sudah lebih dulu diretas.
Hal ini akan sangat berbahaya jika disebarkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab, mengingat di dalamnya terdapat Nomor KTP dan KK.
“Nomor KTP dan KK bersamaan misalnya bisa digunakan untuk mendaftarkan nomor seluler dan juga melakukan pinjaman online bila pelaku mahir melengkapi data,” ujar Chairman lembaga riset siber Indonesia CISSReC (Communication & Informatian System Security Research Center), Pratama (22/5/2020).
Pemerintah seharusnya tetap melindungi data tersebut, minimal dengan cara dienkripsi. Sehingga tidak sembarang orang bisa memanfaatkan data, karena didalamnya terdapat No KTP dan KK. Apalagi untuk verivikasi data DPT hanya perlu menggunakan NIK. Ia pun meminta agar pemerintah tidak menyimpan data-data tersebut menjadi satu.
Dengan sejumlah skandal yang disebutkan diatas mulai dari penyimpangan dana proyek barang dan jasa, skandal korupsi IT, buruknya sistem keuangan, berulang kali skandal peretasan KPU, skandal suap komisioner, pelanggaran kode etik, hingga bocornya data pemilih, tampak jelas bahwa institusi yang bertindak sebagai ‘manajer’ demokrasi di Indonesia ini perlu melakukan evaluasi dan berbenah total, agar wajah dan integritasnya dihadapan rakyat terjaga.
Integritas penyelenggara terutama sang ‘manajer’ demokrasi tentu akan mendongkrak kredibilitas hasil pemilu di mata rakyat banyak, terutama sekali sorotan tajam para pengamat, pakar, media, LSM, hingga kalangan pihak asing yang secara serius dan kontinyu memantau proses pemilihan umum negeri. Sungguh wajah ‘so-called’ upacara sakral demokrasi langsung melalui pemilu, salah satunya ditentukan sang manajer, Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Penulis: Kukuh Subekti
Editor: Arief Setiyanto, Tori Nuariza