IslamToday ID — RCTI dan iNews mengajukan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Dua perusahaan milik Harry Tanoesudibyo ini menilai ada perbedaan perlakuan antara media televisi dengan Netflix dan YouTube yang berbasis internet.
Permohonan uji materi diwakili Direktur Utama iNews David Fernando Audy dan Rafael Utomo. Sedangkan dari RCTI diwakili oleh dua direktur, yakni Jarod Suwahjo dan Dini Ariyanti Putri.
Kedua stasiun televisi swasta itu meminta uji materi terhadap Pasal 1 ayat 2 UU Penyiaran. Pasal tersebut berbunyi “Penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran.”
Mereka menilai, pasal tersebut tidak memiliki kekuatan hukum untuk mengikat penyelenggara penyiaran berbasis internet. Stasiun TV milik Ketua Umum Perindo itu merasa ada diskriminasi. Sebagai penyelenggara penyiaran mereka harus taat kepada UU Penyiaran, sebaliknya Netflix dan Youtube yang tidak memiliki kewajiban yang sama karena UU penyiaran belum mengatur penyiaran berbasis internet.
Menurut pemohon, setidaknya ada enam ketentuan dalam UU penyiaran yang wajib dipatuhi stasiun televisi konvensional. Pertama, asas, tujuan, fungsi dan arah penyiaran di Indonesia; kedua, persyaratan penyelenggaraan penyiaran; ketiga, perizinan; keempat, pedoman isi dan bahasa; kelima, pedoman perilaku siaran; keenam, pengawasan.
“Sementara penyelenggara siaran yang menggunakan internet tidak perlu memenuhi berbagai macam persyaratan dimaksud,” lanjut Pemohon seperti dilansir CNN Indonesia.
Salah satunya, penyelenggara siaran berbasis internet tidak dikenakan sanksi oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) jika melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar program Penyiaran (P3SPS).
Pemohon meminta Mahkamah Konstitusi merumuskan kembali Pasal 1 ayat 2 UU Penyiaran tersebut.Terlebih, jumlah pengguna internet terus berkembang.
Konvensional dan Digital
Tidak bisa ditepis, layar televisi konvensional masih dipenuhi dengan tayangan humor yang kasar, sinetron yang tidak logis, tayangan sarat kekerasan dan tidak beredukasi. Kualitas siaran ‘diabaikan’ karena adanya momok tentang rating. Televisi berlomba mengejar rating demi mendapatkan pemasukan yang tinggi dari iklan.
Direktur Remotivi, Muhamad Heychael mengatakan, rating diukur oleh Nielsen dengan mengambil sampel sebanyak 2.273 rumah tangga di 11 kota besar di Indonesia. Oleh karena itu, rating yang ada saat ini tak bisa jadi acuan karena tidak keabsahannya dan tak bisa mewakili masyarakat Indonesia secara keseluruhan
Heychael mengatakan, ada dua hal yang dapat dilakukan dalam menuntaskan persoalan televisi. Pertama, Indonesia harus memiliki Media Rating Council (MRC) yang difasilitasi negara, tugasnya mengevaluasi dan mengaudit pengukuran rating agar teruji validitasnya. Kedua, dibutuhkan ketegasan Komisi Penyiaran Publik (KPI) dan masyarakat yang sadar kualitas atau terliterasi.
“Peran serta negara itu penting untuk ikut menjamin adanya satu validitas data dan pengukuran yang representatif semacam MRC,” ujarnya.
Di sisi lain, Youtube yang muncul kali pertama Februari 2005, kini sangat populer. Google dan Kantar TNS. pada Januari 2018 telah melakukan suvei yang melibatkan melibatkan 1.500 pengguna internet di 18 kota di Indonesia. Hasilnya, Youtube ditonton 53 persen pengguna internet di Indonesia sementara warganet yang juga menonton televisi sebanyak 57 persen.
Durasi menonton Youtube warganet Indonesia berada pada kisaran 59 menit. Riset tersebut, juga menunjukan bahwa Youtube tidak hanya disaksikan oleh penonton di perkotaan tapi juga masyarakat pedesaan. Pengguna internet di pedesaan biasanya mejadi penikmat konten hiburan dan sepak bola. Sedangkan, penonton Youtube di wilayah perkotaan lebih bervariasi. Mereka mengonsumsi tayangan video seperti musik, komedi, travel, dan gaya hidup
Pengamat media sosial, Rully Nasrullah mengatakan, Youtube telah menjadi media baru yang memposisikan masyarakat ‘berkuasa kuasa memilih tontonannya bahkan memproduksi konten. Selain itu bergesernya pola tontonan dari televisi ke layar digital disebabkan oleh perubahan pola hidup masyarakat.
”Perbedaan media konvensional dan medsos adalah kita bisa memilih apa yang kita mau, tinggal cari, dapat konten-konten yang sesuai dengan keinginan khalayak,” ungkapnya. “Apalagi konten Youtube sangat beragam mulai dari musik, olahraga, komedi, tutorial, review mainan, review games, dan lain sebagainya,” ujar Rully seperti dilansir SuaraMerdekacom (16/2/2019)
Tapi tidak jarang pula Youtube menjadi pedang bermata dua. Ada para pengais adsense yang membuat konten tidak bermutu bahkan mengabaikan norma yang berlaku. Terakhir misalnya kasus yang menyeret youtuber Ferdian Paleka, yang membuat prank bantuan ‘makanan sampah’.
Sementara itu, Netflx muncul sebagai penyedia layanan media streaming digital. Perusahaan yang berkantor pusat di Los Gatos, California ini menjadi streaming video terbesar dunia dengan 75 juta pelanggan. Munculnya Netflix di Indonesia ibarat dua sisi mata uang yang berbeda. Di satu sisi, ini adalah angin segar yang memberikan alternatif tontonan bagi masyarakat Indonesia. Namun, di sisi lain Netflix dianggap ancaman bagi penyedia jasa televisi yang sudah ada.
Ladang Keuntungan
Berdasarkan data Statista (2019), pengguna Netflix di Indonesia diperkirakan melonjak 88% di tahun 2020 sebesar 906.810 pengguna dari 481.450 pengguna pada 2019.Dengan jumlah tersebut, Jika pelanggan memasang paket paling murah, Netflix diasumsikan akan meraup keuntungan Rp52,48 miliar tiap bulan. Dalam setahun, Indonesia dinilai rugi hingga Rp 629,74 miliar.
Jika pelanggan memasang paket paling murah, Netflix diasumsikan mendulang keuntungan hingga Rp52,48 miliar tiap bulan. Dalam setahun, Indonesia dinilai rugi hingga Rp 629,74 miliar. Akhirnya, pemerintah memutuskan untuk menarik Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10% atas pembelian produk dan jasa digital dari pedagang atau penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE), seperti Netflix hingga game seperti Free Fire dan Mobile Legend.
Di sisi lain, seperti dilansir Republika (26/11/2019), Direktur Penyiaran Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika Kominfo, Geryantika Kurnia mengungkapkan, pendapatan lembaga penyiaran bisa mencapai Rp 20 triliun hingga Rp 30 triliun. Sementara itu, PNBP dari sektor penyiaran selama ini hanya sekitar Rp 92 miliar. Jumlah ini sangat jauh dibandingkan sektor telekomunikasi yang ‘menyumbang’ pamasukan negara hingga 17 triliun per tahun
“PNBP frekuensi sama izin penyiaran sekitar Rp92 miliar. Padahal, pendapatan mereka sekitar Rp 20 sampai Rp 30 triliun,” ujar Gery di Bogor, Senin (25/11/2019).
Konglomerasi Media
Seperti dilansir Tirto, Profesor Ross Tapsell dalam bukunya Media Power in Indonesia: Oligarchs, Citizens, and the Digital Revolution, menyatakan konglomerat media nasional yang punya kuasa dan pengaruh yang kuat.
Sedikitnya, ada delapan konglomerat media, yakni CT Corp milik Chairul Tanjung; Global Mediacom milik Hary Tanoesoedibjo; EMTEK milik Eddy Kusnadi Sariaatmadja; Visi Media Asia milik Bakrie Group; Media Group milik Surya Paloh; Berita satu Media Holding milik Keluarga Riady; Jawa Pos milik Dahlan Iskan; dan Kompas Gramedia milik Jakoeb Oetama.
Chairul Tanjung sebelumnya memiliki Trans TV. Kemudian CT Corp, berhasil membeli 55 persen saham TV 7 dari Kompas pada 2006. Mengganti namanya menjadi Trans7. Pada 2011, Tanjung membeli Detikcom. Kemudian pada tahun 2012 membeli tv kabel Telkomvision yang ia ganti namanya menjadi Transvision. CT Corp kemudian bekerja sama dengan CNN dam membangun CNN Indonesia pada sebagai portal berita online dan juga stasiun televisi. CNBC juga menjadi bagian dari konglomerasi CT Corp.
Konglomerat media lainnya, Hary Tanoesoedibjo, meluaskan bisnis media pada awal 2000-an (MNCTV, RCTI, iNews dan Global TV. Global Mediacom memiliki 34 radio lokal yang mulai diakuisisi sejak 2005. Sindo News dan Okezonecom juga masuk Global Mediacom, MNC bahkan mempunyai satu satelit sendiri yang dibeli pada 2010, dan punya kapasitas 160 kanal. Yakni, 19 kanal TV berbayar, 46 stasiun TV lokal, dan 2,6 juta pelanggan lewat IndoVision, TopTV, dan OKVision. Pada 2015, Hari Tanoe meluncurkan I-News, sebagai stasiun berita 24 jam.
Selain itu juga ada Emtek Group milik Eddy Sariaatmadja. Pada 2004, perusahaan jasa layanan computer yang berdiri tahun 1983 ini membeli SCTV pada 2004. Kemudian tahun 2011 membeli Indosiar dengan kesepakatan Rp 1,6 triliun
Selain itu, ada juga Visi Media Asia milik Keluarga Bakrie dan Media Group milik Surya Paloh. Ia mengakuisisi Lativi dan mengubah namanya menjadi TVone pada 2007. Kemudian mereka membentuk membentuk konglomerasi dengan ANTV.
Di tahun 2008, Bakrie Group mengembangkan sayap di Surabaya dengan membeli ArekTV dan Surabaya Post. Lalu, bersama Erick Thohir, Bakrie Grup mengonvergensi TVOne, ANTV, dan portal berita online Viva.
Surya Paloh sebenarnya telah membangun investasinya di sejumlah koran sejak 1988 hingga 1990. Namun konglomerasi medianya baru kokoh setelah mendirikan Metro TV pada 2001. Selain itu, Surya Paloh juga koran nasional Media Indonesia dan juga Metro TV News.
Penulis: Arief Setiyanto
Editor: Tori Nuariza