IslamToday ID — Kebijakan pelonggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di tengah-tengah jumlah kasus corona yang masih terus bertambah, membuat pemerintah dituding lebih mementingkan kepentingan ekonomi daripada kesehatan. Hal ini pun dibantah oleh Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani, menurutnya pemerintah mementingkan kedua-duanya. Oleh karenanya pemerintah berusaha menjaga keseimbangan di antara keduanya.
Menkeu Sri berujar bahwa pemerintah telah lebih dulu memprioritaskan kesehatan dengan cara merealokasikan anggaran untuk kepentingan penyediaan sarana dan fasilitas kesehatan. Baik itu untuk para tenaga kesehatan maupun masyarakat, bahkan sejak bulan Maret. Salah satu cara yang dilakukan oleh pemerintah adalah menambah jumlah laboratorium untuk pelaksanaan Rapid Test dan Polymerase Chain Reaction (PCR).
“Pandangan yang seolah-olah mendahulukan ekonomi, sehingga buru-buru dilakukan pelonggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) adalah tidak benar. Mulai dari hanya satu laboratorium di bulan Maret, hingga kini telah berjumlah lebih dari 100 laboratorium untuk rapid test dan Polymerase Chain Reaction (PCR),” kata Menkeu Sri Mulyani, Ahad (31/5/2020).
Selain itu, untuk menentukan daerah yang dilonggarkan, ia berpendapat sudah sesuai dengan anjuran dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Yakni dengan memperhatikan tingkat penularan dengan berdasarkan besaran angka reproduksi efektif (Rt) virus corona di suatu daerah. Jika angka Rt di bawah 1 selama 14 hari, maka daerah tersebut bisa menerapkan pelonggaran PSBB.
“Berdasarkan zonasi, terdapat sekitar 220 daerah yang masuk zona hijau, sehingga tidak mestinya diatur sebagaimana zona merah,” jelasnya.
Sebelumnya pada Sabtu (30/5) kemarin, pemerintah melalui Tim Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 telah menetapkan sebanyak 102 kabupaten dan kota di Indonesia diizinkan melakukan pelonggaran PSBB. Karena daerah-daerah tersebut telah masuk dalam zona hijau yang ditetapkan oleh pemerintah. Pelonggaran tersebut berdasarkan intruksi dari Presiden Jokowi.
Di hari yang sama, BNPB melaporkan ada 2000 kasus masuk dalam zona merah. Dan ada dua provinsi yang masuk dalam zona merah yakni DKI Jakarta dan Jawa Timur, dengan jumlah kasus masing-masing untuk DKI Jakarta 4.708 kasus dan 3.652 kasus di Provinsi Jawa Timur.
Jumlah kasus pada 2 Juni, tepat setelah tiga bulan kasus Corona ini diumumkan pemerintah pada 2 Maret lalu telah mencapai 27.549 kasus. Dengan kasus meninggal 1.663 kasus sementara mereka yang sembuh 7.935 kasus. Sementara jumlah orang dalam pemantauan (ODP) mencapai 48.023 orang. Sementara pasien yang berstatus pasien dalam pengawasan (PDP) mencapai 13.213 orang. Dan sebanyak 417 kabupaten/ kota di 34 provinsi telah terpapar corona.
Tanpa Kajian Epidemiologi
Penetapan pelonggaran PSBB di 102 kabupaten, kota di Indonesia, pun menimbulkan pertanyaan sejumlah pihak, salah satunya oleh peneliti di Rujak Center for Urban Studies. Peneliti Rujak Center for Urban Studies menduga penetapan PSBB dilakukan tanpa melakukan kajian epdemiologi terlebih dahulu. Khususnya untuk tiga daerah seperti Tegal, Makasar, dan Palangkaraya.
Menurut pemaparan Direktur Eksekutif Rujak Center for Urban Studies Elisa Sutanudjaja ketiga kota di atas telah melakukan pelonggaran sejak lama, bahkan sejak sebelum diberi wewenang oleh pemerintah pusat. Makassar misalnya telah melonggarkan PSBB sejak 21 Mei lalu. Padahal empat hari sebelum pengumuman, Epidemiolog asal Universitas Hasanuddin Ridwan Amiruddin telah mengumumkan bahwa angka Rt di Makasar masih 2,56. Artinya, setiap satu pasien masih bisa menularkan penyakit ke dua atau tiga orang lainnya.
“Jadi (angka reproduksi kasus) masih tinggi dan Makassar memutuskan PSBB tidak diperpanjang,” jelas Elisa (31/5/2020).
Setelah PSBB Makasar dihentikan, terjadi tren peningkatan jumlah PDP selama satu pekan (22-29) ada penambahan hingga 103 PDP, sehingga total PDP saat itu mencapai 326 PDP. Dan pada pekan yang sama ada 84 pasien positif corona yang baru.
Hal serupa juga terjadi di Kota Tegal, pemberhentian PSBB Kota Tegal mulai pada 23 Mei, dalam waktu satu pekan ada satu pasien PDP yang meninggal sehingga jumlah PDP yang meninggal di Tegal menjadi 11 orang. Selain itu pasien positif Corona yang meninggal di Tegal bertambah tiga orang menjadi 16 orang meninggal.
Hal ini sangat berbahaya, karena tingginya jumlah lanjut usia di Kota Tegal. Elisa merujuk data BPS yang menunjukan bahwa rasio orang lanjut usia di Kota Tegal sebesar 10% pada tahun 2018. Sementara angka rasio lansia nasional hanya 8,5%.
Beda kasus dengan kota Palangkaraya, penerapan PSBB yang tidak efektif membuat pemerintah setempat menerapkan Pembatasan Sosial Kelurahan Harmonis (PSKH). Bahkan, warga diizinkan mengadakan kegiatan yang mengumpulkan massa dalam jumlah besar, seperti khitanan dan pernikahan. Kegiatan tersebut selama PSBB dilarang diadakan, alhasil dalam waktu empat hari jumlah pasien baru pun bertambah 14 pasien.
Selain tiga kota di atas Kota Malang, Cirebon dan Pekanbaru juga telah mengakhiri PSBB setelah lebaran. Ia khawatir penghentian PSBB di tiga kota tersebut juga dilakukan tanpa kajian epidemiologi. Hal ini tentu berpotensi menyebabkan penyebaran virus corona semakin meningkat. Padahal, selama PSBB berlangsung ketiga kota ini banyak ditemukan kasus baru, terutama di pasar.
“Pemerintah kota seharusnya waspada melihat itu,” pungkasnya.
Penulis: Kukuh Subekti
Redaktur: Tori Nuariza