IslamToday ID — Sejak turut dalam percaturan politik, Presiden Jokowi selalu menang. Tercatat ada lima kemenangan yang berhasil diraihnya, Mulai dari Pilkada Kota Solo tahun 2005 dan 2010, Pilgub DKI Jakarta tahun 2012 hingga kemenangan di Pilres tahun 2014 dan 2019. Namun, ternyata ada sederet kasus yang menyerat nama Presiden Jokowi, sehingga ia divonis bersalah karena melanggar hukum.
Kasus Karhutla
Pertama, Presiden Jokowi digugat atas kebakaran hutan dan lahan. Selama Jokowi menjabat terjadi kebakaran dasyat pada jutaan hutan dan lahan. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat, total lahan dan hutan yang terbakar di seluruh Indonesia pada periode 2015-2020 mencapai 5.402.037 hektare (ha).
Jumlah tersebut terdiri dari, 2.611.411 ha yang terbakar di tahun 2015, kemudian seluas 438.363 ha di tahun 2016. Lalu tahun 2017 kebakaran hutan dan lahan tercatat seluas 165.484 ha, tahun 2018 kebakaran hutan dan lahan tercatat 529.267 ha). Kebakaran hutan dan lahan terjadi kembali di tahun 2019, yakni seluas 1.649.258 ha. Pada 1 Januari-28 Februari 2020 kebakaran melahap 8.254 ha kawasan hutan dan lahan.
Dilansir detikcom, kerugian akibat kebakaran hutan di tahun 2015 mencapai Rp 221 triliun. Selain itu kebakaran hutan dan lahan telah menyebabkan menyebabkan 24 orang meninggal dunia, dan 600 ribu lainnya terkena infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Asap dari kebakaran hutan dan lahan ini juga berdampak hingga Malaysia. ‘Diekspor’ ke negara tetangga seperti Malaysia.
Tepat pada pada 16 Agustus 2016, Gerakan Anti Asap (GAAS) Kalimantan Tengah mengajukan gugatan class action ke Pengadilan Negeri Palangkaraya Mereka yang digugat adalah Presiden Republik Indonesia (RI), Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Menteri Pertanian, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Menteri Kesehatan, Gubernur Kalimantan Tengah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kalimantan Tengah.
Di meja hijau, rakyat yang diwakili Gerakan Anti Asap (GAAS) menang atas gugatan ini, bahkan hingga level kasasi di Mahkamah Agung pada 16 Juli 2019. Presiden Jokowi dan para tergugat lainnya divonis melanggar hukum. Pemerintah rupanya tidak terima dengan kesalahan itu dan mengajukan peninjauan kembali (PK) pada 14 Mei 2020.
Meskipun demikian, rakyat telah memberi ‘pukulan’ cukup keras sehingga putusan sidang memerintahkan presiden membuat aturan turunan UU 32/2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; membuat tim untuk mengatasi kebakaran hutan dan lahan serta membuat rumah sakit khusus paru-paru.
Kasus Internet Papua
Kasus hukum kedua, ialah gugatan pemutusan internet di Papua sepanjang Agustus-September 2019. pemutusan internet berlangsung berkali-kali. Pertama, berupa pelambatan akses bandwith di beberapa wilayah kota/kabupaten di Provinsi Papua Barat dan Papua pada 19 Agustus 2019.
Kemudian, pada 21 Agustus sampai 4 September 2019 terjadi pemutusan akses internet secara menyeluruh di 29 kota/kabupaten Provinsi Papua dan 13 kota di Papua Bara. Pemutusan akses internet diperpanjang sampai 9 September 2019, bahkan meluas ke wilayah empat kabupaten di wilayah Papua yaitu Kota Jayapura, Kabupaten Jayapura, Kabupaten Mimika, Kabupaten Jayawijaya. Selain itu juga terjadi di dua kabupaten di wilayah Papua Barat yakni Kota Manokwari dan Kota Sorong.
Pemerintah berdalih pemutusan akses internet dilakukan demi mencegah sebaran berita hoax tentang kondisi di Papua. Sebab situasi Papua memang sempat memanas karena adanya dampak tindakan rasisme terhadap mahasiswa Papua di asrama Surabaya.
21 November 2019, persoalan ini digugat Aliansi Jurnalis Indonesia ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Akhirnya, Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Pihak Tergugat I adalah Presiden dan Tergugat II Menteri Komunikasi dan Informatika, bersalah dalam kasus pemblokiran internet di Papua dan Papua Barat. Hakim menghukum para Tergugat menghentikan dan tidak mengulangi seluruh perbuatan dan/atau tindakan pelambatan dan/atau pemutusan akses internet di seluruh wilayah Indonesia. Hakim juga menghukum para Tergugat untuk membayar biaya perkara secara tanggung renteng sebanyak Rp 457 ribu.
Kasus Iuran BPJS
Kasus hukum ketiga ialah gugatan atas kenaikan iuran BPJS. Pada tahun 2019 lalu presiden Jokowi secara sepihak menaikan iuran BPJS sebesar 100 persen melalui Peraturan Presiden (Perpres) 75 Tahun 2019. Perpres ini lantas digugat seorang pedagang kopi, Kusnan Hadi melalui Pengadilan Negeri Surabaya, pada 1 November 2020.
Kenaikan iuran BPJS ini memberatkan warga khususnya yang tinggal di daerah. Sebab, ada perbedaan penghasilan di ibukota dan di daerah. Padahal kenaikan iuran ini berlaku secara nasional. Selain itu, kenaikan iuran tidak diiringi dengan pelayanan maksimal dari rumah sakit. Pihak BPJS Kesehatan juga mengambil sikap menghadapi permasalahan tersebut.
Perpres Nomor 75 Tahun 2019 juga digugat secara hukum oleh Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI). Mereka mengajukan uji materiil ke Mahkamah Agung pada 5 Desember 2019. Kenaikan iuran sebesar 100 persen dinilai tidak logis.
Pemerintah berdalih, kenaikan iuran dilakukan lantaran BPJS Kesehatan mengalami defisit. Padahal, menurut kajian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), ada kesalahan-kesalahan tata kelola, sehingga belanja BPJS membengkak. KPK menemukan adanya 1 juta data ganda penerima subsidi iuran yang berpotensi merugikan negara hingga Rp 25 miliar.
Akhirnya, Ketua Majelis Hakim MA, Supandi mengabulkan uji materi pada 27 Februari 2020. Seharusnya, iuran BPJS Kesehatan kembali pada tarif awal. Putusan MA ini sempat membuat masyarakat bernafas lega. Namun, tidak lama setelah itu pada 5 Mei kemarin, Jokowi justru mengeluarkan Peraturan Presiden nomor 64 tahun 2020. Perpres ini berisi kenaikan tarif BPJS yang berlaku pada 1 Juli mendatang.
Kebijakan ini semakin memberatkan kondisi rakyat di pandemi corona melanda Indonesia. Banyak masyarakat yang kehilangan pekerjaan akibat terdampak COVID-19. KADIN sempat mengungkapkan ada sekitar 30-40 juta orang termasuk pelaku UMKM yang kehilangan pekerjaan.
Pada Jumat (1/5), Wakil Ketua Umum KADIN Bidang UMKM, Suryani Motik menyebut warga yang menjadi korban pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat pandemi corona (Covid-19) bisa mencapai 15 juta jiwa. “Jadi kalau tadi 2 juta, fakta bisa 15 juta. Itu 2 juta mungkin yang dilaporkan. Apakah UMKM melaporkan, kan tidak,” kata Suryani dalam diskusi online via aplikasi Zoom, Jumat (1/5).
Bahkan, Suryani memperkirakan jumlahnya jauh lebih besar, antara 30-40 juta warga korban PHK akibat pandemi ini. Sebab, kata dia, banyak warga juga terpaksa tak bisa mudik karena dilarang. “Belum lagi itu dikatakan yang tidak pulang. Di Jakarta mungkin 20 jutaan. Mungkin sudah hampir 30 jutaan tenaga kerja, 40 juta yang sudah menganggur,” tandasnya.
Penulis: Arief Setiyanto
Redaktur: Tori Nuariza