“Katanya enggak sengaja, Tapi, kok, bisa sih kena muka?
‘Kan, kita tinggal di bumi, gravitasi pasti ke bawah, nyiram badan enggak mungkin meleset ke muka. Kecuali, Pak Novel Baswedan emang jalannya handstand.
Bisa lu protes, ‘Pak Hakim, saya niatnya nyiram badan, cuma gegara dia jalannya bertingkah, jadi kena muka.’ Bisa, masuk akal,”
“Sekarang tinggal kita cek, yang kagak normal cara jalannya Pak Novel Baswedan apa hukuman untuk kasusnya?”
IslamToday ID – Begitulah celoteh Komika Gusti Muhammad Abdurrahman Bintang Mahaputra, atau populer dengan nama dalam video yang diunggah ke media sosial pada Jumat (12/6). Kritik menghibur komika dengan nama panggung Bintang Emon itu viral dengan hastag #GakSengaja. Celotehan Emon rupanya mewakili rasa keadilan masyarakat atas kejanggalan kasus penyiraman air keras terhadap penyidik KPK, Novel Baswedan.
Namun, komika yang menjuarai Stand Up Comedy Academy 3 ini harus berhadapan dengan buzzer. Ada upaya untuk membunuh karakter Bintang. Akun-akun ‘siluman’ menyebar fitnah jika ia dalam pengaruh narkoba saat membuat kritik itu. Beredar pula meme yang menyampaikan pesan bahwa ia ketagihan narkoba.
Upaya ‘pembungkaman ini bukan yang pertama kali terjadi. Di era Orde Lama, pengalaman pahit itu salah satunya dirasakan oleh Buya Hamka. Kisah itu ia singgung dalam karyanya, Tasawuf Modern.
Pada hari Senin tanggal 12 Ramadhan 1385, bertepatan dengan 27 Januari 1964 kira-kira pukul 11 siang ia ‘dijemput’ dirumahnya. Hamka ditangkap dan ditahan, tanpa tau apa kesalahan yang ia perbuat. Siang malam ia diperiksa selama 15 hari. Ia dijebloskan kepenjara tanpa persidangan. Ia baru menghirup udara bebas di tahun 1966.
“Istirahat hanya ketika makan dan sembahyang saja. 1001 pertanyaan, yah 1001 yang ditanyakan. Yang tidak berhenti-henti ialah selama 15 hari 15 malam. Di sana sudah ditetapkan lebih dahulu bahwa saya mesti bersalah. Meskipun kesalahan itu tidak ada, mesti diadakan sendiri. Kalau belum mengaku berbuat salah, jangan diharap akan boleh tidur,” ujar penulis Tafsir Al Azhar itu
Begitru pula di Era Orde Baru. Presiden Soeharto mencap semua orang yang menentangnya berarti menentang Pancasila. Soeharto memanfaatkan Pancasila untuk menekan lawan-lawan politiknya. Mislanya untuk menekan kelompok Petisi 50, Seperti Jenderal Nasution, Ali Sadikin, Hoegeng, Mohammad Natsir, dan Syafruddin Prawinegara
Lengsernya Soeharto ternyata juga tidak mambawa ngin segar bagi terbukanya kritik dan keadilan hukum. Aktivis HAM Munir Said Thalib dibunuh pada 7 September 2004. Pembunuhan ini duduga lantaran munir hendak buka buka suara soal kasus pelanggaran HAM pada tahun 1998. Tak jauh beda dengan kasus Novel Baswedan, kasus munir hanya berhenti pada vonis yang menghukum eksekutor lapangan. Dokumen Tim Pencari Fakta raib entah kemana.
Begitu pula pada era pemerintahan Presiden Jokowi. Beragam pembatasan kebebasan sipil terjadi. Misalnya, pemlokiran internet di Papua 21 Agustus 2019 lalu. |Pengekangan kebebasan berpendapat juga terjadi dalam kasus teror diskusi online pemakzulan presiden bebrapa waktu lalu.
Serangan buzzer terhadap Bintang Emon memperpanjang pembungkaman kebebasan berpendapat di Indonesia. Padahal pembungkaman kebebasan berpendapat merupakan ciri negara yang menganut otoritarianisme.
Sebelumnya, Direktur Center for Media and Democracy LP3ES Wijayanto, telah menyentil npenyelenggaraan ‘pemerintahan hari ini. Ia menyebut Indonesia telah memenuhi empat kriteria negara penganut otoritarianisme lewat sejumlah kebijakan pemerintah., Yakni komitmenyang lemah terhadap aturan main demokrasi, penyangkalan legitimasi lawan politik, toleransi terhadap kekerasan, dan pembatasan kebebasan sipil.
“Dari berbagai sign, kemunduran demokrasi Indonesia dan putar balik otoritarianisme yang paling kuat sebenarnya adalah sisi kebebasan sipil, pers, dan akademik,” ujar Wijayanto.
Humor satire yang dilontarkan Bintang Emon terbilang efektif dalam mengkrtik penegakan hukum. Humor Bintang tampaknya juga mewakili perasaan masyarakat yang tidak dapat berbuat banyak atas bobbroknya penegakan hukum. Tidak heran, jika humor satire itu langsung viral dan berbalas serangan dari pihakj-pihak yang merasa terusik.
Arni Arta dalam karyanya Mengamini Sabda Satire mengatakan, humor dapat menjadi salah satu alternatif penyampaian kritik. Eksistensi humor satire menjadi gebrakan tersendiri terhadap realitas. Humor satire hadir untuk mendongkel kekuasaan mapan oleh mayoritas.
“Dalam ranah kritik, humor menjadi sebuah kekuatan digdaya yang lahir dari ketidakberdayaan,” tulis Arni
Penulis: Arief Setiyanto