IslamToday ID —Pemerintah mengklaim berhasil meminimalisir kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Faktanya di tengah pandemi Covid-19 titik panas (hotspot) maupun titik api (firespot) penyebab kebakaran hutan di Indonesia tidak juga berkurang.
Klaim pemerintah itu disampaikan Menko Polhukam Mahfud MD. Klaim tersebut didasarkan pada turunnya kejadian protes aktivis lingkungan dalam empat hingga lima tahun terakhir.
“Beberapa tahun terakhir alhamdulillah kita berhasil meminimalisasi kebakaran hutan sehingga bencana yang agak besar dan bikin geger itu tidak lagi terjadi. Protes-protes dari aktivis lingkungan hidup maupun dari negara-negara lain dalam 4-5 tahun terakhir ini juga sudah tidak begitu gencar,” kata Mahfud MD (23/6/2020).
Tapi klaim Mahfud bertolak belakang dengan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Pada Oktober 2019 Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Bencana BNPB, Agus Wibowo menyampaikan bahwa luas lahan kasus karhutla di tahun 2019 lebih besar dari tiga tahun sebelumnya.
“Data KLHK mencatat luas karhutla dari Januari hingga September 2019 sebesar 857.756 ha. Total luasan lahan hingga September 2019 ini lebih besar dibandingkan luasan karhutla dalam tiga tahun terakhir. Luas karhutla pada 2018 sebesar 510 ribu ha, sedangkan pada 2016 sebesar 438 ribu ha,” ujarnya (22/10/2020).
Kepala Balai Besar Teknologi Modifikasi Cuaca, Tri Handoko Seto mengatakan seharusnya pandemi Corona mampu mengurangi kasus karhutla karena aktivitas manusia minim. Tapi faktanya hotspot dan firespot tetap muncul terutama menjelang musim kering atau kemarau.
“Yang terjadi ternyata tetap muncul hotspot dan firespot. Sehingga teman teman di lapangan tetap bekerja, patroli helikopter tetap berjalan. Jadi masa pandemi ya tetap ada firespot dan hotspot,” kata Tri dikutip dari CNNIndonesia.com (13/5/2020).
Kasus Karhutla Masih Tinggi
Berdasarkan hasil pemetaan Yayasan Madani Berkelanjutan pada 13 Mei 2020 lalu, tercatat ada lima provinsi yang rawan karhutla. Kelima provinsi itu adalah Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Papua, dan Sumatera Selatan.
“Pendekatan ini melalui sejarah terbakar di 2015-2019, kami coba mengkompilasi dari data tersebut. Ini menjadi masukan kami ke pihak terkait bahwa provinsi-provinsi tersebut harus menjadi perhatian di 2020 untuk menekan luasan karhutla,” ungkap GIS Specalist Yayasan Madani Berkelanjutan, Fadli Ahmad Naufal (13/5/2020).
Dikutip dari Gatra.com (5/6) berdasarkan data Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), dari Januari-Juli ditemukan ada 247 hotspot.
Berdasarkan pantauan dari Terra Aqua Lappan terkonfirmasi 80% ialah dua titik api. Sedangkan berdasarkan pemantuan satelit SNPP terdapat 426 titik api dengan dua titik api terkonfirmasi 80%. Temuan tersebut salah satunya terjadi di Desa Modong, kecamatan Sungai Rotan Muara Enim, Sumatera Selatan.
Pada 12 Juni 2020 BNPB juga menyampaikan terdapat 1.721 hotspot yang akan mengintai Sumatera Selatan dengan jumlah kasus tertinggi di Kabupaten OKI dan Muara Enim. Gubernur Sumatera Selatan bahkan telah menetapkan SK siaga darurat karhutla di wilayah Sumatera Selatan yang berlaku sejak 20 Mei hingga 31 Oktober mendatang.
Pada 25 Mei 2020 pemerintah menyampaikan telah melakukan beberapa Langkah untuk mengurangi kasus karhutla. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bersama BMKG, BPPT dan BRG (Badan Restorasi Gambut) melakukan rekayasa hujan melalui Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC). Setidaknya pada Mei lalu pemerintah telah melakukan rekayasa hujan di Provinsi Riau, tercatat ada 10 penerbangan terhitung sejak 14 Mei hingga 24 Mei 2020.
“Sejak dimulainya operasi rekayasa hujan melalui TMC tanggal 14 Mei, hingga tanggal 24 Mei tercatat total volume air hujan secara kumulatif diperkirakan mencapai 33,1 juta meter kubik,” tutur Direktur Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan KLHK, Basar Manullang, (25/5/2020)
Dampak Asap
Kasus Karhutla di tengah pandemic ini terungkap dalam agenda rapat terbatas “Antisipasi Karhutla” pada Selasa (23/6) kemarin. Kepala BNPB Doni Monardo menyampaikan dampak asap pekat kebakaran hutan akan membahayakan masyrakat, terlebih ditengah pandemic covid-19.
“Karena hampir pasti lahan gambut yang terbakar akan timbulkan asap yang sangat pekat. Asap yang pekat inilah bisa timbulkan ancaman kesehatan bagi masyarakat, terutama mereka yang miliki asma atau ISPA. Dampaknya berbahaya bagi mereka yang menderita penyakit asma ini apabila terpapar Covid-19,” jelas Doni (23/6/2020).
Dosen Pasca Sarjana Fakultas Kedokteran Unsri, Prof Dr Tan Malaka, MOH, DRPH, SpOK, HIU, meminta pemerintah segera menjawab persoalan penurunan kualitas udara. Sampai saat ini pun belum ada solusi yang diberikan oleh pemerintah.
“Pemerintah tidak hanya droping uang (anggaran) saja, tapi perlu solusi. Seperti, aspek lingkungan dilaksankaan dengan ahli lingkungan, aspek kesehatan dilakukan dengan memperbaiki fasilitas dan layanan, pemantuan kualitas udara yang lebih kontiyu” jelas Tan (5/6/2020).
Penulis: Kukuh Subekti
Editor: Arief Setiyanto