IslamToday ID – Ketua KPK, Firli Bahuri kembali dilaporkan atas dugaan pelanggaran kode etik. Kali ini ia dilaporkan lantaran menggunakan helicopter mewah milik perusahaan swasta.
Sebelumnya tahun 2018 lalu Firli pernah dilaporkan melakukan pelanggaran kode etik berat waktu dirinya menjabat Deputi Penindakan di KPK. Ia pun ditarik dari KPK dan dilantik menjadi Kapolda Sumatera Selatan.
Kini, Firli diketahui menggunakan helicopter mewah dengan nomor registrasi PK-JTO. Helicopter tersebut digunakan untuk penerbangan dari Palembang ke Baturaja.
Menurut Koordinator Masyarakat Anti-korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman, helicopter tersebut bukan dalam rangka perjalanan dinas, melainkan untuk ziarah ke makam orang tua Firli. Kejadian ini kemudian dilaporkan MAKI pada Dewan Pengawas KPK pada 24 Juni 2020 kemarin.
Berdasarkan dokumen Civil Aircraft Register Direktorat Kelaikan Udara dan Pengoperasian Pesawat Udara Kementerian Perhubungan tahun 2019 menyebutkan, bahwa helikopter ini milik PT Air Pacific Utama. Perusahaan ini merupakan anak perusahaan Lippo Group. Helikopter mewah yang digunakan Firli biasanya di sewa dengan tarif Rp 19 juta per jam.
“menggunakan helikopter adalah bergaya hidup mewah dikarenakan mestinya perjalanan Palembang ke Baturaja hanya butuh empat jam perjalanan darat dengan mobil,” kata Bonyamin, Rabu (24/6/2020)
Larangan bergaya hidup mewah diatur dalam Peraturan Dewan Pengawas Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku KPK. Dalam aturan tersebut terdapat pada poin ke 27 tentang aspek integritas.
“Kode Etik dari Nilai Dasar Integritas tercermin dalam Pedoman Perilaku bagi Insan Komisi sebagai berikut; tidak menunjukkan gaya hidup hedonisme sebagai bentuk empati kepada masyarakat terutama kepada sesama Insan Komisi,”
Berdasarkan aturan tersebut, seharusnya Dewan Pengawas KPK tidak ragu untuk melakukan pemanggilan pada Firli. Menurut peneliti ICW, Kurnia Ramadhan perilaku Firli tersebut jelas menunjukan gaya hidup hedonis.
“Dewan Pengawas KPK harusnya tidak lagi ragu untuk dapat memanggil yang bersangkutan kemudian mendalami terkait dengan dugaan pelanggaran ini,” kata Kurnia
Namun Kurnia ragu Dewan Pengawas KPK akan mengusut pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Firli. Hal ini didasarkan pada fakta, ketidak seriusan kinerja Dewan Pengawas KPK. Misalnya soal pengembalian penyidik KPK, Kompol Rossa Purbo Bekti dan 18 poin evaluasi penyidik KPK, ternyata tidak ditindak lanjuti secara serius.
“Saya tidak yakin Dewan Pengawas akan berani untuk menindak problematika pelanggaran kode etik di internal pimpinan KPK ” jelas Kurnia.
Kurnia melihat, penggunaan fasilitas helicopter mewah itu dapat diduga sebagai gratifikasi dari pihak tertentu atas tindak pidana korupsi. Pasalnya, helikopter bukanlah fasilitas yang dimiliki oleh KPK karena tidak masuk dalam barang inventaris yang dimiliki oleh KPK.
Oleh karena itu, kasus ini harus diusut tuntas, sebab bukan hanya pelanggaran kode etik semata. KPK seharusnya segera menelusuri sosok dan motif pemberian fasilitas helicopter mewah tunggangn Firli.
Desakan ICW bukan tanpa alasan. Jejak relasi KPK dan Lippo Group terakhir ialah dalam kasus suap Meikarta. Kasus suap tersebut melibatkan Bartholomeus Toto, mantan Presiden Direktur Lippo Cikarang dan Bupati Bekasi, Neneng Hasanah Yasin. Pada Desember 2019 lalu KPK pernah memanggil CEO Lippo Group, James Riady. Namun James mangkir dari panggilan tersebut.
“Jika penyelidikan KPK itu membuahkan hasil, Firli terancam dijerat Pasal 12 B UU Tipikor dengan ancaman maksimal pidana penjara seumur hidup atau paling lama 20 tahun penjara,” jelas Kurnia.
Penulis: Kukuh Subekti