IslamToday ID – Iuran BPJS Kesehatan naik per 1 Juli 2020. Kebijakan yang diambil Presiden Jokowi ini membuat beban rakyat semakin berat.
Kenaikan iuran BPJS terbaru ditetapkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 Tahun 2020. Kenaikan iuran ini berlaku hari ini, 1 Juli 2020 dan diterapkan secara bertahap. Kenaikan iuran mula-mula berlaku bagi peserta BPJS kelas I dan II. Sementara itu, kenaikan iuran bagi peserta kelas III berlaku mulai 2021.
Iuran per bulan BPJS Kesehatan kelas 1 naik menjadi Rp150 ribu dari Rp80 ribu. Kelas 2 menjadi Rp100 ribu dari Rp51 ribu. Sedangkan untuk kelas III, pengguna BPJS masih membayar Rp25.500, sebab dalam Pasal 34, pemerintah menanggung iuran kelas III pada 2020 sebesar Rp16.500 per orang per bulan, dari yang seharusnya Rp25.500 per orang per bulan. Namun mulai 1 Januari 2021 naik menjadi Rp35 ribu.
Keputusan ini sejatinya melawan putusan Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Namun, pemerintah beralasan, kenaikan ini untuk menjaga kelangsungan BPJS kesehatan yang saat ini terus mengalami defisit keuangan.
“Tentunya ini adalah untuk menjaga keberlanjutan dari BPJS Kesehatan,” kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, mengungkap alasan kenaikan tersebut, seusai rapat terbatas bersama Presiden Jokowi kemarin seperti dilaporkan sindonews.com
Banyak pihak menyesalkan keputusan Presiden ini. Kenaikan iuran BPJS kesehatan dinilai menunjukkan bahwa presiden kurang peka trerhadap penderitaan rakyat yang perekonomiannya dihantam covid-19. Seharusnya krisis keuangan yang dialami BPJS dievaluasi secara menyeluruh, bukan membebankan kenaikan iuran kepada rakyat. Terlebih peserta mandiri BPJS kesehatan adalah kalangan pekerja informal yang ekonominya sangat terdampak covid-19.
“Pemerintah tidak memiliki kepekaan sosial terhadap rakyat peserta mandiri,” ujar Koordinator BPJS Watch Timboel Siregar.
Menurut Timboel, seharusnya Presiden Jokowi untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap seluruh jajaran yang terkait Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Selain itu yang paling utama ialah mengevaluasi i kinerja Direksi BPJS Kesehatan.
“Jangan lantas menaikkan iuran apalagi di tengah resesi ekonomi saat ini,” imbuhnya
Tanpa menaikan iuran BPJS masih bisa berjalan. Timboel menuturkan, dalam Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan (RKAT) BPJS Kesehatan Periode 2020, pos penerimaan ditargetkan Rp137 triliun. Namun, dengan terbitnya putusan MA yang membatalkan kenaikan iuran BPJS, maka pos penerimaan direvisi menjadi Rp132 triliun.
Meskipun demikian, pemerintah telah sudah menambahalokasi Rp3 triliun bagian dari Rp75 triliun yang dialokasikan APBN untuk Covid-19. Dengan demikian, penerimaan tetap Rp135 triliun. Selain itu, jika pemerintah daerah membayar pajak rokok ke BPJS Kesehatan sesuai Pasal 99 dan 100 Perpres No 82/2018 tentang Jaminan Kesehatan, n BPJS masih mendapat pendapatan dari pajak rokok sebesar Rp5 triliun.
Sejumlah peserta BPJS di Sukabumi memilih untuk turun kelas dari pada harus menanggung tingginya iuran. Menurut warga kenaikan iuran ini sangat berat, terlebih jika jumlah anggota keluarga yang masuk dalam keanggotaan BPJS banyak. Padahal saat ini perekonomian sangat sulit.
“Iya saya lebih pilih turun kelas (ke kelas 3). Habis gak mampu banget kalau harus bayar segitu (iuran kelas 1 dan kelas 2, red). Apalagi saya ada tiga anggota keluarga,” ungkap Khusnul seperti dilaporkan Radarsukabumi.com, Selasa (30/6/2020).
Sebelumnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) dua kali digugat oleh Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) karena manaikan iuran BPJS Kesehatan. KCPDI menggugat kenaikan BPJS lewat Perpres Nomor 75/2019. Mahkamah Agung (MA) memenangkan gugatan KCPDI dan mengembalikan tarif BPJS Kesehatan ke tarif semula. Sebenarnya Perpres Nomor 64/2020 yang menjadi landasan kenaikan BPJS per 1 Juli 2020 tengah digugat ke MA pada 25 Mei 2020 lalu. Namun, belum keluar putusan MA, kenaikan iuran BPJS Kesehatan sudah berlaku hari ini.
Penggugat menilai kenaikan iuran BPJS Kesehatan Jilid II ini tidak mempunyai empati di tengah kesulitan warga saat pandemi Corona. Kenaikan tersebut juga tidak sesuai dengan apa yang dimaknai dalam Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan Undang-Undang BPJS.
Fakta BPJS
sejak berdiri tahun 2014 BPJS mengalami defisit. Tahun 2014 angka defisit BPJS mencapai Rp 3,3 triliun. Tahun 2015 merangkak naik 5,7 triliun. Defisit kembali naik di tahun 2016 sebesar Rp 9,7 trilun. Tahun 2016 defisit kembali dialami, besarnya mencapai Rp 13,5 triliun (2017). Tahun 2017 defisit mencapai Rp 19 triliun (2018). Parahnya, defisit di tahun 2019 menunjukan angka yang fantastis, Rp 32 triliun.
Berdasarkan kajian DJS Kesehatan KPK tahun 2019 tersebut diketahui bahwa sumber permasalahan yang menyebabkan BPJS mengalami defisit adalah sistem tatakelola yang inefisien dan tidak tepat.
Akibatnya, muncullah tindakan fraud atau penyimpangan yang akan terus terjadi jika tata kelola BPJS tidak segera diperbaiki. Artinya, kenaikan iuran BPJS tanpa ada perbaikan tata kelola BPJS tidak akan menyelesaikan masalah.
“Solusi menaikkan iuran BPJS sebelum ada perbaikan sebagaimana rekomendasi kami, tidak menjawab permasalahan mendasar dalam pengelolaan dana jaminan sosial kesehatan. Kenaikan iuran hanya akan menambah beban masyarakat, mengingat situasi sulit yang sedang dihadapi saat ini dan potensinya yang berdampak di masa depan,” kata Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron melalui keterangan tertulisnya yang dimuat di laman website KPK, Jumat (15/5/2020).
Ghufron mengatakan penyebab defisitnya BPJS terdapat tiga faktor yakni permasalahan moral hazard dan adverse selection pada peserta mandiri (PBPU), dimana sejumlah peserta menggunakan layanan JKN kemudian menunggak iuran, seperti dilansir Gatra, (13/3/2020).
“Terjadinya over-payment karena kelas rumah sakit yang tidak sesuai hasil piloting pada 2018 mendapatkan 4 dari 6 rumah sakit mengklaim tidak sesuai dengan kelasnya. Akibatnya, terdapat over-payment sebesar Rp33 miliar per tahun,” kata Ghufron di Gedung Merah Putih KPK Jakarta, Jumat (13/3).
Selain itu lanjut Ghufron ditemukan adanya fraud seperti up-coding dalam analisa, re-admisi phantom billing, unbundling dan lain sebagainya. KPK pun memberikan sejumlah rekomendasi kepada Kementerian Kesehatan dan BPJS Kesehatan untuk menutupi defisit.
Defisit disebabkan adanya keterlambatan pembayaran klaim ke fasilitas kesehatan (faskes). Belum lagi kolektabilitas iuran hanya ±50 persen pada segmen peserta mandiri atau peserta bukan penerima upah (PBPU). Dengan nilai tunggakan peserta mandiri mencapai Rp 5,6 triliun atau sekitar 45 persen. Defisit keuangan yang terjadi pada BPJS Kesehatan sebenarnya dapat ditekan dengan perbaikan kebijakan.
Dari hasil kajian Tata Kelola Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan, menemukan fakta bila serangkaian perbaikan kebijakan dan sistem tata kelola dijalankan, maka menurut perhitungan KPK, BPJS bisa menghemat 12,2 triliun dengan cara penurunan pengeluaran BPJS Kesehatan.
Deputi Pencegahan KPK, Pahala Nainggolan, mengatakan berdasarkan review Kemenkes tahun 2018 dari 7 ribu rumah sakit ditemukan 898 rumah sakit yang tidak sesuai kelas. Jika dilakukan perbaikan penetapan kelas, terdapat estimasi penghematan beban jaminan BPJS Kesehatan sebesar Rp 6,6 T. Sehingga, total minimum penghematan pengeluaran klaim sebesar Rp12,2 triliun. Jumlah ini cukup signifikan karena BPJS Kesehatan mencatatkan defisit sekitar Rp 30 triliun.
“Kalau seluruh masalah ini rekomendasinya dijalankan pemerintah, dari perhitungan kami total Rp 12,2 triliun bukan berupa uang tambahan tetapi penurunan pengeluaran BPJS Kesehatan,” ujarnya di Kantor KPK Jakarta, Jumat (13/3/2020).
Penulis: Arief Setiyanto