IslamToday ID — Pidato luapan kemarahan Presiden Jokowi ditanggapi secara kritis oleh sejumlah pihak. Padahal, sidang kabinet paripurna pada 18 Juni lalu itu bersifat tertutup. Materi pembahasannya bukan untuk konsumsi publik.
Akan tetapi Ahad (28/6) akhir pekan lalu, public disuguhkan momen saat Presiden Joko Widodo bersikap jengkel dan kesal atas kinerja sejumlah menteri dalam menangani pandemi COVID-19 dalam tayangan di Youtube yang diunggah kantor Sekretariat Presiden.
Bahkan, Jokowi mengancam akan merombak kabinet atau reshuffle. “Saya harus ngomong apa adanya, tidak ada progress signifikan (dalam penanganan krisis akibat Covid-19),” kata Jokowi ketika membuka rapat di Istana Negara tersebut.
Kode Keras Jokowi
Ekspresi gusar dan jengkel, tampaknya kondisi yang coba diungkapkan ke publik oleh Presiden. Setidaknya ekspresi terbaca dari intonasi nada suara dan mimik muka Presiden saat membuka Rapat Sidang Kabinet, di Istana Kepresidenan (18/6).
Ekspresi jarang Jokowi ini kemudian memberikan kode keras pada anggota kabinetnya, agar bekerja lebih serius dan cekatan.
Dalam video pidato berdurasi sekitar 10.20 menit tersebut, Jokowi mengungkit soal “sense of crisis”, dengan pilihan diksi yang menarik. Selain perkara soal momentum video itu diunggah dan kesan terskenario, substansi kemarahan Presiden Jokowi bahkan diiringi dengan ancaman reshuffle kabinet, Langkah politik yang bisa dimaknai beragam.
Mardani Ali Sera, anggota DPR RI Fraksi PKS, berharap ketegasan presiden tidak berhenti sebatas pernyataan saja. Menurutnya, paling lambat dalam sepekan, ada tindak lanjut aksi dan keputusan tegas serta jelas dari pernyataan itu.
”Jika tidak ada aksi, Pak Jokowi justru yang disebut tidak punya sense of crisis,” tukasnya.
Tuai Kritikan Tajam
Menurut Pengamat kebijakan publik, tindakan presiden yang meluapkan kemarahanya itu tidaklah tepat. Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Gita Putri Damayana menjelaskan, menteri hanya merumuskan, menetapkan, dan melaksanakan kebijakan terbatas di bidang masing-masing.
Tanggung jawab pengambilan keputusan umum dan memastikan orkestrasi kebijakan berjalan harmonis ada di presiden. Apabila menteri dirasa kurang maksimal dalam tugasnya, seharusnya presiden sudah mengambil tindakan sejak awal.
”Seharusnya Presiden Jokowi dapat bertindak lebih awal untuk memberhentikan para menteri yang tidak bekerja dengan baik dalam menangani situasi darurat,” pungkasnya.
Oleh karena itu, PSHK memberikan masukan agar presiden segera memberhentikan menteri atau pejabat eksekutif yang capaiannya minim dan buruk. Juga masukan agar dalam jangka waktu ke depan memperbaiki kelemahan manajemen regulasi secara menyeluruh. ”Terutama dalam hal perencanaan serta monitoring dan evaluasi setiap peraturan perundang-undangan dalam lingkup eksekutif,” lanjutnya.
Sementara itu, Pengamat sosial politik Universitas Negeri Jakarta, Ubedilah Badrun, menilai kemarahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi dalam rapat kabinet menunjukkan kegagalan kepala pemerintahan mengendalikan para menterinya.
“Jadi pidato Jokowi marah itu sebenarnya ekspresi emosional dari kegagalannya sekaligus kekacauan mengendalikan para menteri,” kata Ubedilah dalam keterangan tertulisnya, Selasa, 30 Juni 2020.
Pidato presiden yang marah itu, menurut Ubedilah Badrun, menunjukkan adanya kekisruhan di manajemen kabinet.
“Itu menunjukkan betapa kacaunya manajemen Presiden dalam mendorong para menterinya untuk bekerja ekstra di tengah krisis,” jelasnya.
Ubedilah mengatakan, sikap Jokowi juga memperlihatkan koordinasi yang kurang efektif antara Presiden dan menteri koordinator serta menko dan para menteri.
Sejak awal, imbuh Ubedilah, para menteri terlalu berlebihan ditanamkan sikap optimistis dan percaya diri ala Jokowi yang cuek terhadap kritik, dan tidak memiliki sense of crisis yang kuat.
“Termasuk arogan dan menganggap remeh pandemi Covid-19 dengan meresponsnya dengan kelakar tidak perlunya.”
Menurut Ubedilah, Jokowi juga awalnya dianggap cuek dan meremehkan pandemi Covid-19, serta terlalu optimistis dengan angka pertumbuhan ekonomi. Ketika angka pertumbuhan ekonomi terkonstraksi hingga minus, Jokowi baru syok, kaget, dan marah-marah.
Refleksi Pudarnya Kekuatan Politik
Sementara itu, Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) pun turut menyayangkan munculnya ekspresi kemarahan Jokowi yang ditampakkan secara gamblang ke publik.
Direktur Pusat Media dan Demokrasi LP3ES Wijayanto mengatakan, sikap pemimpin yang tidak terkendali bisa mencerminkan kelemahan dirinya. ’’Ini justru merefleksikan kekuatan Jokowi cenderung memudar,’’ katanya.
Menurutnya, selama ini fatsun politik Presiden Jokowi tidak terlepas dari budaya Jawa. Dalam perspektif budaya politik Jawa, kekuatan seseorang terefleksi dalam kehalusan penampakan lahirnya. Semakin berkuasa seseorang, semakin halus penampakan lahirnya.
Ia mengatakan video kemarahan Presiden Jokowi itu adalah refleksi bahwa posisinya semakin lemah secara politik. Itulah salah satu alasan dia harus menampakkan kekecewaan dan kemarahan di hadapan para menterinya.
Wijayanto menambahkan, kelemahan yang dimaksud bukan karena Jokowi kehilangan dukungan dari parpol pendukung. Melainkan, kelemahan itu dimaknai sebagai ketidakberdayaan presiden dalam mengendalikan para menteri di bawahnya. ’
’Sehingga presiden harus marah-marah dulu agar bisa sejalan dengan garis komando,’’ tuturnya.
Wijayanto mengungkapkan, ketidakpatuhan para menteri Jokowi sebenarnya tampak selama pandemi Covid-19 merebak sejak awal Maret lalu. Dari temuan LP3ES, sebut Wijayanto, banyak pernyataan presiden yang justru dianulir bawahannya sendiri. Misalnya, saat Presiden Jokowi meminta mudik dilarang, menterinya mengatakan mudik diperbolehkan.
Ketika Jokowi menyampaikan istilah mudik dan pulang kampung adalah dua hal yang berbeda, menterinya mengatakan sama saja. Saat Jokowi mengatakan kredit kendaraan bisa ditunda saat Covid-19, jubirnya menyebutkan hanya berlaku untuk para penderita virus corona saja.
’’Ini beberapa anomali yang mengindikasikan menteri berjalan sendiri-sendiri,’’ paparnya.
Terlepas dari isu reshuffle kabinet yang digulirkan, menurut Wijayanto, Presiden Jokowi seharusnya tak perlu menampakkan kemarahannya ke publik. Dalam perspektif budaya Jawa, ekspresi kemarahan itu merefleksikan bahwa dia kehilangan kendali atas para pembantunya.
Seorang presiden yang cukup kuat, lanjut Wijayanto, bisa tersenyum dan menyampaikan kepada menterinya bahwa dia dicopot karena kinerja tidak memenuhi ekspektasi.
’’Itulah yang semestinya dilakukan presiden yang yakin dengan kekuasaannya,’’ ujarnya.
Penulis: Tori Nuariza