IslamToday ID –APBN Indonesia makin mengkhawtirkan. Kebijakan Presiden melalui Perpres No.72/2020, membuat angka defisit APBN semakin membengkak menjadi Rp 1.039,2 triliun. Pemerintah beralasan, kebijakan memberpesar defisit tersebut dalam rangka penyelamatan ekonomi nasional akibat covid-19.
“Biasanya kita defisit sekitar Rp 300 triliun, dengan Perpres 72 defisitnya menjadi Rp 1.039,2 triliun, lalu itu akan mencakup pembiayaan utang Rp 1.220 triliun, ini tidak terhindari,” kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu (30/6/2020).
Parahnya, kebijakan memperbesar defisit pada APBN tidak berhenti ditahun 2020. Febrio juga menyebut bahwa kebijakan defisit APBN masih akan berlanjut hingga tahun 2021 mendatang. Pemerintah mengusulkan defisit pada RAPBN 2021 antara 3,21% sampoai 4,17% dari PDB. Alasannya, tahun depan Indonesia masih dalam kondisi recovery akibat krisis yang dihadapi ditahun 2020 ini.
“Pemerintah mengusulkan range-nya antara 3,21% sampai 4,17% dari PDB. Kami sadari ini adalah bentuk displin fiskal. Mengingat kondisi di tahun 2021 kita masih berusaha untuk recovery dari krisis yang cukup dalam dari yang dihadapi 2020,” jelasnya.
Perpres No.72/2020 yang menjadi ‘petaka’ bagi APBN resmi diundangkan oleh pemerintah pada 25 Juni 2020. Perpres tersebut merupakan revisi kedua Perpres No.54/2020 mengenai belanja dan pendapatan negara
Dengan terbitnya perpres No.72/2020, pemerintah meningkatkan anggaran belanja negara dengan jumlah fantastis, sebanyak Rp 2.739,16 triliun. Belanja pemerintah pusat mendominasi anggran tersebut. Jumlahnya mencapai Rp 1.975,24 triliun. Sedangkan sisanya sebanyak Rp 763,92 triliun dilalokasikan untuk transfe ke daerah dan dana desa (TKDD). Selain memperlebar defisit anggaran belanja pemerintah juga menyeimbangkan anggaran pendapatan menjadi Rp 1.699,94 triliun dan anggaran pembiayaan Rp 1.039,21 triliun.
Dalam Perpres 72/2020 pasal 3 disebutkan belanja negara naik karena pemerintah memberikan stimulus fiskal dalam rangka penanganan pandemi Covid-19 seperti subsidi bunga untuk UMKM dan belanja Imbal Jasa Penjaminan (IJP). Kemudian, pemerintah juga memperpanjang bantuan sosial tunai dan diskon listrik, tambahan Dana Insentif Daerah (DID), serta belanja lainnya untuk penanganan Covid-19.
Keberadaan Perpres No.72/2020 menyebabkan angka defisit APBN Indonesia yang sudah membengkak oleh Perpres No.54/2020 sekitar dari 5,07%, menjadi semakin membengkak menjadi 6,34% dari PDB.
Ironisnya, pemerintah mengklaim perpres tersebut sebagai sarana akselerasi belanja negara demi kesuksesan penanganan Covid-19 serta pemulihan ekonomi nasional. Di sisi lain, stimulus yang dikucurkan pemerintah ternyata tidak kunjung mendongkrak pendapatan. Kondisi pendapatan negara tahun ini diperkirakan lebih rendah dari tahun sebelumnya.
Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan Rahayu Puspasari, menambahkan, pendapatan negara diproyeksikan lebih rendah Rp 60,9 triliun akibat dampak perlambatan ekonomi. Sementara itu pemberian insentif perpajakan dan belanja negara lebih tinggi Rp 125,3 triliun, untuk menampung tambahan kebutuhan anggaran pemulihan ekonomi.
Defisit APBN yang terus membengkak dan merosotnya pendapatan negara menjadi alarm bahaya, akan krisis ekonomi yang bakal menghantam Indonesia. Febrio mengatkan tanda-tanda menuju krisis itu sudah terasa.
“Krisis secara official belum terjadi. Tapi, data-datanya, tanda-tandanya sudah menunjukkan dan kita sendiri sudah merasakan gimana beratnya 2020 masyarakat sudah merasakan tekanan sangat dalam. Dan ini langsung tercermin dalam kebijakan fiskal pemerintah di tahun 2020 saja,” ujarnya.
Kondisi Keuangan Negara
Dilansir dari tempo.co (17/6) sejak Mei lalu anggaran pendapatan negara bergerak ke arah level negatif. Menurut Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Hidayat Amir ada tiga faktor yang menjadi yang mempengaruhi penerimaan negara. Yakni, pendapatan negara berkurang akibat dari pelambatan aktivitas ekonomi. Kedua, penurunan harga komoditas, dan ketiga karena insentif yang diberikan kepada pelaku usaha.
Berdasarkan data Kemenkeu pendapatan negara terus mengalami kontraksi karena menurunnya aktivitas perekonomian akibat pandemi Covid-19. Realisasi pendapatan negara per Mei 2020 mencapai Rp 664,3 triliun atau minus 9 persen. Jumlah ini merosot tajam dibandingkan dibandingkan tahun lalu yang tumbuh hingga 6,4 persen.
Kontraksi pendapatan negara juga dipicu merosotnya penerimaan perpajakan senilai Rp526,2 triliun atau minus 7,9 persen. Tren penurunan pendapatan negara ini berimplikasi pada kinerja APBN sampai Mei 2020. Data Kemenkeu menunjukkan bahwa realisasi defisit telah mencapai Rp 179,6 triliun atau 1,01 dari PDB
Penerbitan Surat Utang Negara (SUN) menjadi pilihan jalan pintas yang kerap diambil pemerintah untuk keperluan pendanaan di tahun 2020 ini. Tubagus Farash Akbar Farich, Head of Investment Avrist AM pada (2/6) lalu, memperkirakan serapan SUN akan mendekati target maksimal pemerintah yakni Rp 40 triliun. Selain itu kebutuhan pendanaan juga akan didapat dari penerbitan global bond dan Obligasi Negara Ritel (ORI) atau sukuk ritel, hingga saving bond ritel (SBR).
Penulis: Kukuh Subekti