IslamToday ID — Usai ramainya peristiwa penangkapan buronan pembobol kas BNI senilai Rp 1,2 triliun Maria Pauline Lumowa, Wacana menghidupkan kembali Tim Pemburu Koruptor (TPK) menyeruak ke publik.
Keberhasilan melakukan ekstradisi terhadap buronan 17 tahun pembobol kas BNI Maria Pauline Lumowa, memberi harapan soal kemungkinan ditangkapnya koruptor tersohor lainnya seperti, Harun Masiku.
Lontaran wacana TPK ini muncul dengan dalih mampu membekuk para pelaku kejahatan dan koruptor yang masih buron.
Menimbang Urgensi TPK
Menanggapi hal tersebut, Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno menilai pengaktifan kembali TPK tidak akan efektif. Menurutnya, sudah terlalu banyak instrumen penegak hukum yang menangani kini kasus korupsi.
“Terlampau banyak instrumen penangkap koruptor justru tidak efektif. Cukup komisioner dan penyidik (KPK) yang sudah ada,” jelasnya, Jumat (10/7), dikutip dari Republika.
Adi Prayitno mengatakan keberadaan TPK sudah tidak diperlukan lagi sekarang ini karena Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selama ini sudah kuat untuk memberantas korupsi, termasuk menangkap koruptor.
Ia menuturkan bahwa sebelum dipimpin Komjen Pol Firli Bahuri, KPK seringkali berhasil membongkar kasus-kasus besar yang menyeret para elite, pejabat negara, dan politikus ke meja hijau.
“Mulai ketua partai hingga menteri kena OTT (operasi tangkap tangan). Makanya, sekarang ini justru pertaruhan kredibilitas KPK di bawah pimpinan Firli. Apakah daya gigitnya masih kuat seperti sebelumnya,” paparnya.
Ia mengatakan TPK dulu dibentuk zaman pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) karena memang instrumen tambahan itu perlu dibuat untuk memperkuat KPK saat itu.
“Saat awal-awal KPK dulu kan masih perlu adaptasi kerja, tetapi ketika instrumen penegak hukum sudah mapan seperti sekarang, urgensinya apa ada TPK lagi?” jelasnya.
Menurutnya, sumber daya yang ada di KPK sudah cukup banyak sehingga semestinya dimaksimalkan perannya untuk bisa mengungkap kasus-kasus besar korupsi seperti KPK periode-periode sebelumnya.
Adi Prayitno mengingatkan masyarakat sekarang ini juga cukup cerdas dan kritis dalam melihat kinerja pemerintah dan lembaga-lembaga di bawahnya, seperti KPK. Kalau hanya untuk menangkap buronan kasus korupsi, misalnya Djoko Tjandra dan Harun Masiku, imbuhunya, KPK semestinya cukup berkoordinasi dengan instrumen penegak hukum yang sudah ada, terutama kepolisian.
“Kepolisian itu untuk menangkap teroris dan jaringan-jaringannya paling butuh waktu 1-2 hari. Apalagi hanya untuk menangkap buronan selevel Djoko Tjandra,” tegasnya.
Sementara itu, Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai pembentukan TPK belum dibutuhkan. Menurut ICW tim tersebut sama sekali tidak bekerja efektif jika melihat sejarah saat pertama kali dibentuk pada 2002 lalu.
“Data ICW menunjukkan, pascadelapan tahun dibentuk, faktanya tim ini hanya berhasil menangkap empat buronan dari 16 target penangkapan. Selain itu, evaluasi terhadap tim ini juga tidak pernah dipublikasikan oleh pemerintah,” pungkas Peneliti ICW Wana Alamsyah, Jumat (10/7), mengutip laporan Republika.
Menurut Wana Alamsyah, pemerintah seharusnya fokus untuk memperkuat aparat penegak hukum (APH) dibandingkan mengaktifkan kembali TPK.
Peneliti ICW ini mengatakan, tim tersebut berpotensi tumpang tindih dari segi kewenangan karena melibatkan kementerian dan beberapa perangkat penegak hukum.
“Berdasarkan catatan ICW sejak 1996-2018, terdapat 40 buronan kasus korupsi yang belum dapat ditangkap oleh penegak hukum. Artinya, yang harus diperkuat dalam hal ini adalah aparat penegak hukumnya,” jelas Wana.
Ia pun menyoroti penangkapan buronan kasus pembobolan kas Bank BNI cabang Kebayoran Baru lewat Letter of Credit (L/C) fiktif, Maria Pauline Lumowa, melalui jalur ekstradisi. Wana berharap pemerintah atau penegak hukum fokus pada pendekatan non formal antar negara untuk mempercepat proses penangkapan puluhan buronan yang bersembunyi di negara lain.
“Jangan sampai di dalam kondisi pandemi saat ini, upaya untuk membuat task force baru malah menjadi kontra produktif,” paparnya.
Berbeda dengan ICW dan Parameter Politik Indonesia, Anggota Komisi III DPR Arsul Sani menilai keberadaan tim pemburu koruptor memang diperlukan di lintas instansi dan lintas institusi.
“Efektif atau tidak itu kan kita lihat mereka bekerja dengan sungguh-sungguh atau tidak,” jelas Arsul Sani di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (10/7).
Ia menilai kerja tim pemburu koruptor tidak akan efektif jika dalam praktiknya masih dihadapkan dengan sistem hukum di negara lain di mana koruptor tersebut berada. Meskipun, DPR akan melihat pembentukan tim tersebut bukan dari hasilnya, melainkan usahanya.
“Kalau sudah dikerjakan, diburu misalnya katakanlah Hendra Rahardja sampai ke Australia kemudian terhalang oleh sistem hukum di negara itu untuk bisa dibawa pulang ya itu lain soal,” tuturnya.
Tekad Mahfud Aktifkan TPK
Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyebutkan akan mengaktifkan lagi TPK. Mahfud MD, Rabu (8/7), menjelaskan Indonesia sebelumnya sudah mempunyai TPK, dan tim yang akan diaktifkan kembali tersebut beranggotakan pimpinan Polri, Kejaksaan Agung, dan Kemenkumham.
“Nanti dikoordinir kantor Kemenko Polhukam, tim pemburu koruptor ini sudah ada beberapa waktu dulu, berhasil. Nanti mungkin dalam waktu yang tidak lama tim pemburu koruptor ini akan membawa orang juga pada saat memburu Djoko Tjandra,” jelas Mahfud.
Untuk payung hukum TPK tersebut, menurut Mahfud MD, Indonesia dulu sudah pernah memilikinya dalam bentuk instruksi presiden.
“Pernah ada Inpresnya dulu tapi kemudian Inpres ini waktu itu berlaku satu tahun, belum diperpanjang lagi. Kita akan coba perpanjang, dan Kemenko Polhukam sudah punya instrumennya dan kalau itu diperpanjang langsung nyantol ke Inpres itu,” jelasnya.
Tekad Mahfud MD ini ia kemukakan setelah munculnya buronan cessie Bank Bali Djoko Tjandra. Menurutnya, negara akan malu jika dipermainkan oleh buronan kelas kakap tersebut.
“Karena bagaimana pun malu negara ini kalau dipermainkan oleh Djoko Tjandra. Kepolisian kita yang hebat masak ndak bisa nangkap, kejagung yang hebat seperti itu masak ndak bisa nangkap,” ujar Mahfud MD.
Mahfud MD menuturkan, setelah berbicara dengan para ahli ia menilai semestinya pengejaran terhadap Djoko Tjandra merupakan persoalan sepele bagi Polri dan Kejagung. Menurutnya, seharusnya aparat penegak hukum dapat dengan mudah mengendus keberadaannya.
Oleh karena itu, Menkopolhukam ini berpendat akan keterlaluan jika Polri maupun Kejagung tak bisa melakukannya.
Mahfud kemudian mengundang empat institusi terkait untuk membahas perihal pemburuan terhadap Joko Tjandra. Keempat institusi itu, yakni Kejagung, Polri, Kemenkumham, Kemendagri, dan KSP.
“Kita optimis nanti cepat atau lambat akan kita tangkap, optimis. Dan tadi semua institusi, Kejagung, Polri, bertekad untuk mencari dan menangkapnya. Baik secara bersama-sama maupun menurut kewenangannya masing-masing siapa yang menangkap duluan begitu,” paparnya.
Tekad Menkopolhukam Mahfud MD mensinergikan sejumlah institusi seperti Kejagung, Polri, Kemkumham, Kemendagri, dan KSP patut diapresiasi. Akan tetapi, pertaruhan kredibilitas kelembagaan serta potensi tumpang tindih dalam hal kewenangan sejumlah perangkat penegak hukum nampaknya harus diselesaikan terlebih dahulu.
Menurut catatan ICW dalam 22 tahun belakang selama 1996-2018, Selain Harun Masiku dan Djoko Tjandra, masih terdapat 40 buronan kasus korupsi masih mampu menghirup udara bebas dan lari dari jeratan hukum.
Masyarakat kini cukup cerdas dan kritis, semoga harapan publik dijawab dengan kinerja nyata bukan sekedar drama dan polemik wacana.[IZ]