IslamToday ID –Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara telah menjatuhkan vonis terhadap dua terdakwa penyerangan air keras terhadap Penyidik KPK, Novel Baswedan. Terdakwa Rahmat Kadir Mahulette divonis 2 tahun penjara, sementara Ronny Bugis divonis 1,5 tahun penjara. Hukuman ini dinilai jauh dari rasa keadilan. Sejumlah pihak menilai vonis tersebut diwarnai tekanan hebat diluar persidangan.
“Mengadili, menyatakan bahwa terdakwa Rahmat Kadir Maulente terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana melakukan penganiayaan dan terencana lebih dahulu dengan mengakibatkan luka berat. Menjatuhkan pidana penjara terhadap terdakwa dengan hukuman pidana selama 2 tahun,” kata hakim ketua Djuyamto dikutip dari detik.com (16/7/2020).
Putusan Majelis Hakim memang lebih lama dibanding tuntutan jaksa. Sebelumnya, jaksa penuntut umum menuntut kedua tersangka dengan hukuman satu tahun penjara. Namun, wajarkah putusan majelis hakim jika disandingkan dengan sederet kasus serupa yang pernah terjadi di Indonesia ?
LBH Jakarta, pernah merangkum deretan kasus penyiraman air keras yang pernah terjadi di Indonesia. Rata-rata terdakwa dituntut dan divonis dengan hukuman 8 bahkan 20 tahun penjara.
Pertama, kasus penyiraman air keras terhadap istri dan mertua di Pekalongan yang terjadi 18 Juni 2018. Jaksa menuntut terdakwa 8 tahun penjara. Namun di tahun 2020 PN Pekalongan memvonis terdakwa 10 tahun penjara.
Kemudian kasus penyiraman air keras ke pemandu lagu di Mojokertopada 5 Maret 2017. Jaksa menuntut terdakwa dengan hukuman 15 tahun penjara. Kemudian PN Mojokerto menjatuhkan vonis 12 tahun penjara.
Di Bengkulu, kasus penyiraman air keras ke suami pada Oktober 2018 dituntut hukuman 10 tahun penjara. Kasus ini berakhir dengan jatuhnya vonis PN Bengkulu 12 tahun penjara.
PN Bengkulu juga pernah memvonis kasus penyiraman air keras terhadap suami hingga tewas oleh para premen. Terungkap kasus ini di dalangi oleh istri korban. Lalu jaksa menuntut dalang kejahatan ini dengan hukuman 20 tahun penjara dan PN Bengkulu mengabulkan tuntutan itu.
Ada Tekanan
Mantan Ketua KPK, Abraham Samad menilai, sejak awal kasus Novel sudah dikontruksi sedemikian rupa, sehingga menghilangkan dan mengubur beberapa bukti penting. Pelaku yang dihukum bukan aktor sebenarnya. Proses hukum hanya berfokus pada aktor lapangan dan tidak mengusut aktor intelektual dan motif dibalik penyerangan itu.
“Sejak awal kasus ini sudah dikonstruksi sedemikian rupa dengan mnghilangkan-mengaburkan beberapa fakta penting, pelaku yang bukan real actor. Tentang motif dan intelektual dader yang tidak dibongkar. Lebih baik hakim membebaskan keduanya jika hanya dijadikan tumbal,” tulis Abraham Samad melalui twitternya (17/7/2020).
Direktur Legal Culture Institute, M. Rizqi Azmi juga menilai, ada kejanggalan atas tidak adanya pemaknaan ultra petita dalam putusan hakim. Sebab, vonis 2 tahun yang ditetapkan oleh hakim masih di bawah hukuman yang dijatuhkan dalam KUHP pasal 353 ayat 2, yaitu maksimal 7 tahun penjara. Ia menyayangkan sikap hakim yang dinilainya tidak berani memberikan putusan dengan dakwaan primer.
Selain itu Pasal 355 ayat 1 dengan jelas menyebut bahwa penganiayaan berat yang dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu dikenai ancaman pidana penjara paling lama dua belas tahun.
“Inilah kelemahan dan basa basi seakan-akan meredam tuntutan publik dan kebutuhan terpidana,” ujar Rizqi dikutip dari tempo.co (17/7/2020).
Sebagai bahan eksaminasi hukum, Rizqi meyakini bahwa hakim sebenarnya paham bahwa kasus ini adalah kasus yang berat dan perlu pendalaman. Kasus ini tidak ubahnya seperti kasus Munir dan Marsinah.
Rizqi menduga hakim sangat terbebani untuk memutuskan secara adil dan menggunakan ultra petita. Ia menduga ada banyak tekanan di luar meja hijau yang menjadi pertimbangan para hakim di kasus penyerangan terhadap Novel Baswedan.
“Fiat Justitia Ruat Caelum (tegakan keadilan meski langit akan runtuh) seharusnya adagium inilah yang harus di pertahankan hakim sehingga kemandirian hakim bisa teruji lepas dari segala campur tangan dan kepentingan kekuasaan,” pungkasnya.
Penulis: Kukuh Subekti