IslamToday ID –Kebijakan pembelajaran jarak jauh (PJJ) menelan korban. Sejumlah pelajar dari keluarga miskin, terpaksa bekerja untuk membeli kuota internet, bahkan ada yang terjerumus dalam prostitusi online.
Moh. Rafli siswa kelas VIII di SMPN 7 Pamekasan terpaksa bekerja keras sebagai pencari rumput. Ia bekerja keras untuk membeli smartphone dan kuota internet agar bisa mengikuti pembelajaran jarak jauh. Rafi mengaku tidak bisa mengikuti pembelajaran dari sekolah yang dilaksanakan dengan sistem daring karena ia tidak memiliki gadget.
“Setiap hari saya mencari rumput, hasilnya saya berikan ke Ibu dan ditabung untuk membeli handphone agar saya bisa mengikuti sekolah online,” tutur Rafli (23/7/2020).
Begitu pula dengan Sovi Dwi Aprilia, siswi kelas VIII Madrasah Tsanawiyah (Mts) Darul Ulum, Sidoarjo. Setiap pagi harus mengasongkan nasi bungkus a di pinggir jalan dekat Perumahan Deltasari Indah Waru, Sidoarjo, seharga Rp 6000 per bungkus. Pekerjaan itu dilakoninya untuk membeli kuota internet agar bisa mengikuti pembelajaran daring.
“Paket kuota internet harus terbelikan untuk bisa ikuti sekolah daring. Sebulannya, nilai paketan internet sampai Rp 150 ribu,” ujar Sovi (29/7/2020).
Nasib yang sama terjata juga menimpa pelajar dari kota asal Presiden Jokowi. Darwin siswa kelas VII di SMP N 24 Solo terpaksa harus berjualan cilok mengelilingi kota. Alasannya sama, agar membeli paket kuota internet demi mengikuti kelas PJJ. Kisah ini terungkap setelah akun Ahmad Thoric mengunggah kisah Darwin di media sosial.
“Karena keterbatasan ekonomi keluarga, membuat si kecil Darwin harus berjuang di tengah kerasnya Kota Solo, keliling menjajakan Cilok,” tulis Ahmad Thoric dalam keterangan video di akun Instagram miliknya seperti dikutip dari kumparan.com (29/7/2020).
Jual Diri
Dikutip dari kompas.com, Seorang siswi SMP di Batam terpaksa menjual diri agar bisa membeli kuota internet dan memenuhi kebutuhan sehari-hari.
“Dalam pemeriksaan, DN yang diketahui dibawah umur mengaku masih berstatus Pelajar. Karena merebaknya Virus Corona (Covid-19), DN terpaksa belajar dari rumah dan minimnya pengawasan,” ungkap Kapolsek Batu Aji Kompol Jun Chaidir (29/7/2020).
Kapolsek Batu Aji Kompol Jun Chaidir mengatakan, terungkapnya aksi ini setelah polisi mendapat laporan dari masyarakat bahwa ada jaringan atau penyalur prostitusi online via MiChat yang menjual anak yang masih di bawah umur.
Chaidir menambahkan, siswi SMP tersebut ‘mempromosikan’ dirinya sendiri langsung lewat aplikasi MiChat dengan tarif Rp 500ribu. Korban juga mengaku menjual diri demi membeli kuota internet. Apalagi korban berasal dari keluarga yang sedang bermasalah dan jauh dari pengawasan orangtua. Kondisi korban ini langsung dimanfaatkan oleh penyalur prostitusi online tersebut.
“Awalnya korban mengetahuinya dari pelaku tersebut, namun belakangan korban sempat mempromosikan sendiri dan ada juga sesekali menggunakan pelaku,” terang Chaidir.
Disparitas Pendidikan Indonesia
Fenomena-fenomena diatas menunjukan berbahayanya disparitas pendidikan di Indonesia. Kekhawatiran itu sempat di singgung Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada awal Mei lalu.
“PJJ justru mengungkap disparitas pendidikan secara nyata antara anak dari keluarga kaya dan mikin. Disparitas ini sudah lama terpendam dan dibiarkan negara,” ungkap Komisioner KPAI Retno Listryarti (5/5/2020).
Sebenarnya pemerintah pun telah mengakui adanya disparitas dalam dunia pendidikan Indonesia. Kepala Badan Penelitian, Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Totok Suprayitno mengakui bahwa anak-anak dari keluarga ekonomi rendah adalah anak yang paling rentan terdampak dalam sistem PJJ.
“Nah, yang paling rentan adalah anak-anak yang secara sosio ekonomi tertinggal,” tutur Totok.
Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arif Budi Santosa, dalam laporannya berjudul “Potret Pendidikan di Tahun Pandemi: Dampak Covid-19 Terhadap Disparitas Pendidikan di Indonesia” mengungkapkan tentang fenomena ketertinggalan pendidikan semakin besar di kalangan anak-anak dari keluarga miskin.
“Kelompok rentan yang sudah tertinggal dalam kualitas pendidikan akan semakin terjatuh karena kondisi ekonomi yang semakin terpuruk dan pendidikan anak-anak terancam dikesampingkan demi membiayai kehidupan sehari-hari,” tutur Arif (5/6/2020).
Penulis: Kukuh Subekti