IslamToday ID — Prof. Dr. Sri Edi Swasono, seorang Guru Besar UI, yang juga merupakan menantu tokoh proklamator Indonesia, Mohammad Hatta baru-baru ini berbicara menyinggung tentang Undang-undang (UU) Dwi Kewarganegaraan.
Menurut Sri Edi Swasono pada era Presiden Jokowi, UU ini sangat sering dibahas. Hal inilah yang mengundang pertanyaan besar, ada apa dibalik pembahasan UU Dwi Kewarganegaraan tersebut?
“Kita sesungguhnya tidak pernah mengakui dwi Kewarganegaraan. Tapi di dalam pak Jokowi kemudian ada ide dwi kewarganegaraan, ada apa ini?” kata Edi Swasono dalam wawancara melalui channel Youtube @BravosRadioIndonesia pada Jumat (31/7/2020).
Prof. Edi pun menjelaskan tentang sebuah diktum, semboyan kebangsaan yang selama ini diakui bangsa Indonesia. Diktum, perkataan yang dimaksud ialah Bhineka Tunggal Ika Tan Hanna Dharma Mangrwa yang kurang lebih bermakna, berbeda-beda itu satu, tidak ada kewajiban yang mendua. Dimana perkataan Tan Hanna Dharma Mangrwa adalah diktum dari Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) yang terdapat dibawah simbol Lemhannas.
“Artinya tidak ada kewajiban yang ganda, mendua jadi kita hanya mengakui satu waganegaraan yaitu cinta pada sang ibu pertiwi. Nah sekarang tiba-tiba ada dwi kewarganegaraan, ini mencemaskan karena saya waspada. Apa akibatnya dwi kewarganegaraan ini?” ungkap Edi Swasono.
Menurut Edi, kewaspadaan ialah salah satu bentuk nasionalisme seseorang. Sebab kewaspadaan ialah harga dari nasionalisme itu sendiri. Banyaknya warga negara asing (WNA), tenaga kerja asing (TKA) yang masuk di Indonesia bahkan mereka masuk tanpa menggunakan visa.
Untuk itu, ia pun menanyakan kepada pemerintah dalam hal ini Menteri Pertahanan (Menhan), apakah Indonesia tidak waspada dan pemerintah sengaja mendiamkan hal tersebut terjadi.
“Saya merasakan ini kayak invasi aja, sudah kayak invasi terhadap Indonesia. Indonesia nggak waspada? Menteri Pertahanan diam aja, bagaimana? Rakyat aja waspada kok pemerintah tidak” tegas Edi.
Ia juga menjelaskan beberapa contoh ketidakwaspadaan yang dilakukan oleh pemerintah, khususnya pada masa Jokowi saat ini. Hal ini terlihat dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) No.16/2015.
Dalam peraturan tersebut pemerintah menghapus salah satu syarat, kewajiban bagi para WNA untuk bisa berkomounikasi dengan bahasa Indonesia.
Yang kedua ialah penerapan visa on arrival, yakni orang-orang asing bebas berkunjung ke Indonesia tanpa menggunakan visa. Menurut Edi Swasono, Hal ini tentu sangat mengancam Indonesia sebab tak jarang mereka datang lalu menetap di Indonesia.
“Coba kita pergi ke China, wah ngurus visanya susah, kita pergi ke negara lain mengurus visanya susah. Kita (Indonesia) menggunakan bebas visa on arrival, dan banyak masuk Indonesia kemudian tidak pulang. Jadi kewaspadaan nasional saya kira perlu ditingkatkan. Kewaspadaan adalah harga dari kemerdekaan yang kita harus sanggup membayanya,” tukasnya.
Lebih lanjut ia mengatakan bahwa karena kewaspadaan adalah harga dari kemerdekaan maka kita semua harus waspada. Tentu dipertanyakan kembali apa motif dibalik UU Dwi Kewarganegaraan jika kesetiaan kepada negara sudah jelas-jelas menjadi spirit penting bagi bangsa Indonesia.
Sebab, menurutnya hal semacam ini sangat tidak dibenarkan ketika seseorang memiliki kewarganegaraan ganda maka implikasinya seseorang akan diminta memiliki kesetiaan pada dua negara.
“Jadi kalau UU Dwi Kewarganegaraan sampai diterima, berjalan itu Lemhannas harus dihapuskan dong? Atau harus ganti itu diktumnya,” terangnya.
Jejak UU Dwi Kewarganegaraan
Berbicara tentang UU Dwi Kewarganegaraan, ternyata pembahasan sudah dimulai sejak tahun 2012, yakni tuntutan atas kepemilikan status kewarganegaraan ganda bagi seorang warganegara.
Salah satu organisasi yang cukup getol dalam menuntut pemberlakuan kewargenaraan ganda ialah Indonesian Diaspora Network [IDN] Global. Bahkan mereka tidak tanggung-tanggung mencari modal guna membuat aturan tersebut.
“Kalau kita mempunyai biaya sebesar sekitar $100 ribu atau sekitar Rp 1 miliar, itu naskah akademis akan bisa selesai paling sedikit 6 bulan. Paling lama kemungkinan 1 tahun,” ungkap Ketua Tim Advokasi IDN Global, Renny Damayanti Mallon, dikutip dari Tirto ID (26/10/2016).
Sejak tahun 2012 hingga tahun 2016 upaya mereka mewujudkan UU Dwi Kewarganegaraan mengalami jalan terjal. Namun mereka tidak menyerah begitu saja, akhirnya mereka memasukan pembuatan UU Dwi Kewarganegaraan dalam revisi RUU No.12/2006 tentang Kewarganegaraan RI. Terbukti pada tahun 2016, revisi RUU No.12/2006 masuk dalam urutan 59 dari 170 RUU yang mengantri dibahas.
Terakhir pada November 2019 silam RUU ini dipertimbangkan oleh DPR untuk dimasukan dalam program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas 2020. Hal ini diungkapkan oleh Wakil Ketua DPR Aziz Syamsuddin, setelah ia menerima audiensi dari IDN Indonesia atau Aliansi Pelangi Antar Bangsa.
“Kita menerima Aliansi Pelangi Antar Bangsa dan masyarakat yang menamakan dirinya diaspora ini mengusulkan agar RUU Kewarganergaan untuk bisa menjadi suatu Prolegnas Prioritas. Khususnya, dalam rangka dwi kewarganegaraan pada mereka, baik itu untuk suaminya, untuk istrinya dan anak-anaknya,” jelas Aziz (27/11/2019).
Jika kita runut kembali ke belakang, Presiden Jokowi pernah menjanjikan untuk membuat UU Dwi Kewarganegaraan. Hal ini disampaikan oleh Presiden Jokowi saat kunjungannya di Washington, Amerika Serikat, pada OKtober 2015.
Selang beberapa bulan kemudian pada Agustus 2016 dan Oktober 2016. Presiden Jokowi menempatkan Gloria Natapradja Hamel sebagai tim pengibar bendera pusaka (Paskibraka). Ia juga mengangkat Archandra Tahar sebagai Wakil Menteri ESDM.
Rentan Untuk Tindak Kejahatan
Pada tahun 2016, mengenai UU Kewarganegaraan Guru Besar Hukum Internasional dari Universitas Indonesia (UI) Prof. Hikmahanto Juwana mengingatkan agar pemerintah memiliki pertimbangan yang matang.
Sebab sebenarnya masalah dwi kewarganegaraan sudah terakomodir dalam UU No.12/2006, namun ia mengingatkan kembali bahwa Indonesia belum saatnya menerapkan hal tersebut. Sebab status tersebut sangat rentan digunakan untuk tindak kejahatan.
“Bahkan dwikewarganegaraan juga kerap dimanfaatkan untuk menghindari pajak dari negara yang memasang tarif lebih tinggi,” terang Hikmahanto (22/9/2016).
Penulis: Kukuh Subekti