IslamToday ID — Presiden Jokowi baru-baru ini menerbitkan Peraturan Pemerintah nomor 41 tahun 2020.
Berdasarkan PP 41/2020 ini, status kepegawaian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi diubah sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN)
Mengacu pada pasal 1 ayat (7) maka pegawai KPK yang berstatus ASN akan berpedoman perundang-undangan mengenai ASN.
PP nomor 41 tahun 2020 tersebut akan membagi kategori pegawai sebagai pegawai tetap dan tidak tetap, sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 2.
Yang mengharuskan, “Setia dan taat pada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan pemerintah yang sah,” sebagaimana tertuang dalam Pasal 3 Ayat (2).
Sementara itu sesuai dengan Pasal 4 Ayat (1) maka KPK perlu melakukan penyesuaian jabatan, melakukan identifikasi jenis dan jumlah pegawai KPK, memetakan kesesuaian kualifikasi dan kompetensi serta pengalaman dengan jabatan ASN yang akan ditempati, dilansir dari Tirto.
Sistem penggajian KPK pun akan mengikuti sistem yang diadopsi ASN, “diberikan gaji dan tunjangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Tidak lagi menggunakan sistem single salary.
Pasal 9 Ayat (2) juga mengindikasikan pegawai KPK akan mendapatkan “tunjangan khusus yang ditetapkan dalam Peraturan Presiden.”
Penghasilan yang diterima pegawai KPK saat ini, menurut Pasal 11, tetap diberikan sampai seluruh proses pengalihan menjadi ASN selesai dilaksanakan.
ASN Dibawah Kendali Penuh Presiden
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 11 tahun 2017 tentang Manajemen PNS, kini Presiden Jokowi memiliki wewenang untuk ‘mengurus’ promosi, mutasi, bahkan pemberhentian jabatan di lingkungan kementerian/lembaga pemerintah apabila terdapat pelanggaran prinsip sistem ‘merit’ yang dilakukan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK).
Aturan ini semakin menguatkan wewenang presiden Jokowi dalam manajemen PNS. Presiden Jokowi bisa dengan mudah mencabut kewenangan kementerian/lembaga dalam mengangkat, mutasi, bahkan memberhentikan PNS.
Dalihnya, wewenang ini dipakai jika ada pelanggaran pelanggaran prinsip sistem merit oleh Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK). Sistem merit yang dimaksud ialah manajemen PNS berdasarkan kualifikasi, kompetensi, dan kinerja dan mengesampingkan faktor politik, ras, agama, asal usul, jenis kelamin, dan kondisi kecacatan.
“Apapun isinya karena itu sudah disetujui dan ditandatangani presiden ya kita harus konsisten dengan apa yang diatur. Apapun isinya kan ini sudah melalui proses pembahasan,” ujar Wakil Ketua Komisioner Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), Tasdik Kinanto, seperti dilansir CNN Indonesia, Jumat (15/5/2020).
Kekuatan presiden itu jelas tertuang dalam Pasal 3 dalam Peraturan Pemerintah Nomor 17 tahun 2020 tersebut. Selaku pemegang kekuasaan tertinggi, presiden berwenang menetapkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian PNS.
Selain itu, Presiden juga dapat mendelegasikan kewenangan itu kepada menteri di kementerian, pimpinan lembaga, sekretaris jenderal, gubernur, dan bupati, wali kota. Begitu pula untuk Jaksa Agung, Kapolri, Kepala Badan Intelijen Negara, dan pejabat lain.
Pendelegasian kewenangan tersebut juga dapat ditarik kembali oleh presiden, sebagai mana termaktub dalam pasal 3 ayat 7. Yakni, jika terjadi pelanggaran prinsip sistem merit yang dilakukan PPK. Selain itu dengan dalih peningkatan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan.
Aturan ini, tentu menjadi ‘warning’ bagi para pejabat lembaga negara tanpa terkecuali. Mulai dari pejabat di lingkaran kementerian, pemerintah daerah, hingga Kejaksaan Agung, kepolisian hingga Bada Intelijen Negara. Di sisi lain, bukan tidak mungkin aturan ini menjadi alat untuk merapikan ‘biji catur’ kekuasaan Presiden Jokowi bahkan setelahnya.[IZ]