IslamToday ID – Wali Kota Banjarbaru Nadjmi Adhani meninggal akibat covid-19, Sebelum mengehembuskan nafas terakhir, ia menyampaikan pasan agar masyarakat tidak menganggap enteng covid-19. Menurutnya Bahaya Covid-19 benar-benar nyata.
Nadjmi meninggal dunia setelah 15 hari dirawat intensif di rumah sakit. Ia meninggal pada Senin (10/08/2020) pukul 02.30 WITA dini hari di RSUD Ulin, Banjarmasin.Sebelumnya ia sempat menyampaikan pesan kepada masyarakat, bahwa ia dan istrinyaRirin Nadjmi Adhani, terjangkit virus COVID-19.
“Assalamualaikum warga Banjarbaru yang ulun (saya) sayangi. Hari ini ulun bersama ini, berdasarkan hasil swab, terkonfirmasi COVID-19. Untuk itu, ulun minta doa untuk kesembuhan kami, agar diberi kekuatan dan kemudahan dalam berobat bisa melewati ini dengan baik,” kata Nadjmi Adhani, yang berbicara menggunakan alat bantu pernapasan, Senin (27/7/2020).
Ia meminta masyarakat, khususnya di Banjarbaru, tidak menganggap enteng masalah penularan COVID-19. Karena itulah, ia berharap masyarakat tetap menjalankan protokol kesehatan secara disiplin agar terhindar dari COVID-19.
“Ini benar-benar nyata dan kita harus melawannya dengan harus disiplin menerapkan protokol COVID-19. Masyarakat jangan sakit, kita semua harus sama-sama melawan ini dan melakukan protokol COVID-19,” ujarnya
Jungkir Balik Kebijakan Covid
Jika Nadjmi menyadari akan bahaya penyebaran covid-19, sebaliknya pemerintah pusat justru terus membuka ruang pelonggaran saat pandemic covid-19. Pertama, pemerintah menggulirkan kebijakan new normal, untuk membuat ekonomi berdenyut kembali. Namun akibatnya justru fatal. Pada era new normal lonjakan kasus justru melonjak drastic. Belakangan pemerintah berdalih istilah new normal salah difahami, sehingga masyrakat menganggap kondisi telah normal.
“Karena kan selalu dikatakan ‘new’ nya dihilangkan, sehingga tinggal normalnya aja. Masyarakat tahunya oh sudah normal,” kata juru bicara pemerintah khusus untuk penanganan COVID-19, dr. Achmad Yurianto Jumat, 10 Juli 2020 lalu seperti dikutip dari IDN Times.
Istilah “new normal” juga sempat dipopulerkan Presiden Joko “Jokowi” Widodo. Katanya New normal digunakan oleh sejumlah negara sebagai exit strategy dalam menghadapi pandemik COVID-19. Namun, Jokowi juga menggunakan diksi “berdamai dengan corona” sebagai bagian dari kehidupan normal baru. Hal itu terlihat dari cuitannya pada 7 Mei 2020 lalu.
“Sampai ditemukannya vaksin yang efektif, kita harus hidup berdamai dengan Covid-19 untuk beberapa waktu ke depan. Sejak awal pemerintah memilih kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar, bukan lockdown. Dengan PSBB, masyarakat masih bisa beraktivitas, tetapi dibatasi,” seperti dikutip dari akun twitter Presiden Jokowi
Selain itu, saat kasus covid-19 di Indonesia menembus 100 ribu lebih, pemerintah justru merevisi Surat Keputusan Bersama (SKB) 4 Menteri, yakni Menteri pendidikan dan kebudayaan, Menteri Agama, Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri. Dengan revisi tersebut pemerintah memberlakukan kurikulum darurat dan mengijinkan wilayah di zona kuning penularan covid-19 untuk membuka sekolah.
Kebijakan ini membuat khawatir para guru. Para guru takut sekolah akan menjadi klaster baru penyebaran covid-19. Kekhawatiran itu bukan tanpa alasan, sebab di zona kuning, masih ditemukan penularan kasus
Bagi kami anak itu berhak mendapatkan kesehatan, kemudian ketika sekolah itu dibuka di zona kuning, maka bagi kami sekolah itu berpotensi menjadi klaster terbaru,” kata Wakil Sekretaris Jenderal FSGI Satriwan Salim, Minggu (9/8).
Di sisi lain, Presiden Jokowi menakan jajarannya untuk menggencarkan pelaksanaan protokol kesehatan. BAhkan secara khusus presiden meminta sejumlah artis untuk menjadi juru kampanye protokol kesehatan.
Dalam sambutan di Kongres Luar Biasa Partai Gerindra di Bogor 8 Agustus 2020 kemarin, Presiden Jokowi juga mengingatkan potensi bahaya gelombang ke- 2 corona.
“Jangan sampai kita masuk gelombang kedua. Second wave yang memperlambat kita untuk pulih kembali. Kuncinya adalah disiplin menjalankan protokol kesehatan,” kata Jokowi.
Namun Politisi PKS, Mardani Ali Sera menilai kebijakan pemerintah Jungkir balik. Menurutnya, jangankan gelombang kedua corona, puncak gelombang pandemic pertama belum terdeteksi.
“Pola pikir presiden jungkir balik. Bicara gelombang kedua, padahal peak (puncak) gelombang satu saja blm terdeteksi. Dulu bicara New Normal kemudian mau dilonggarkan new normalnya padahal masyarakat sdg berhati–hati menjaga penyebaran,” ujarnya Senin (10/8/2020)
Menurutnya, ada sejumlah persolan yang menyebabkan pandemic covid-19 di Indonesia sulit diatasi. Diantaranya soal buruknya. Selain itu metodologi pemetaan masalah sumber informasi yang digunakan Presiden tidak terverifikasi dengan baik.
“Di atas semuanya, syarat kemampuan berpikir sistematis dan kritis wajib dimiliki Presiden. Hingga langkahnya jelas, terukur dan teratur,” pungkas Mardani (AS)