IslamToday ID –Wakil Sekertaris Jenderal Partai Demokrat, Irwan, ‘menyentil’ Presiden Jokowi agar jangan hanya bicara alias omong doang. Irwan meminta Jokowi benar-benar menyejahterakan rakyat.
Sebelumnya, saat memberikan pidato pada Sidang Tahunan MPR/DPR , Presiden Jokowi mengatakan pandemi Covid-19 harus dijadikan momentum melakukan lompatan besar untuk menjadi negara maju pada 2045 mendatang. Jokowi juga mengatakan, krisis ini menjadi saat yang tepat untuk membenahi diri secara fundamental, melakukan transformasi besar, dan menjalankan strategi besar.
“Harapan saya di hari kemerdekaan ini pemerintah jangan hanya bicara, harus benar-benar berjuang selamatkan dan sejahterakan rakyat,” kata Irwan, Jumat (14/8/2020) dikutip Dari CNN Indonesia
Irwan mengapresiasi semangat yang disampaikan Jokowi. Namun, menurutnya pidato Jokowi cenderung normative. Menurutnya, kinerja pemerintah dalam penanganan pandemi Covid-19 tidak berjalan baik. Indikasinya bisa dilihat dari kemarahan Jokowi yang terus berulang. Jokowi marah lantaran menteri-menterinya lamban dalam menangani pandemi covid-19
“Kesiapsiagaan dan kecepatan kerja kabinet Jokowi seperti kalau tidak ada peristiwa Covid-19 biasa-biasa saja, malah cenderung lamban,” ujarnya.
Kebijakan Kontroversial
Di tengah Pandemi Covid-19 Presiden Jokowi sempat mengeluarkan sejumlah kebijakan yang kontroversial. Diantaranya, Presiden Jokowi menaikan iuran Iuran BPJS di tengah Pandemi Covid-19. Presiden Jokowi menaikkan iuran BPJS dengan menerbitkan Perpres 64 Tahun 2020.
MElalui Perpres tersebut Per 1 Juli 2020 iuran BPJS ditetapkan menjadi Rp 150 ribu untuk kelas I, Rp 100 ribu untuk kelas II, dan Rp 25.500 untuk kelas III. Iuran kelas III akan naik menjadi Rp 35 ribu pada 2021.
Masyarakat menilai Pemerintah telah kehilangan empati dengan menaikkan iuran BPJS ditengah kondisi pandemi. Hingga 24 Mei, lebih dari 12 ribu orang menandatangani petisi menolak kenaikan iuran BPJS melalui laman Change.org.
“Jika Bapak Presiden masih merasakan penderitaan yang kami rasakan, maka tolong cabut kembali kebijakan kenaikan iuran BPJS Kesehatan ini sekarang juga,” tulis Hendrik Rosdinar, inisiator petisi tersebut, seperti dikutip dari tempo.co 25 Mei 2020
Kedua, pada 31 Maret 2020, Presiden Jokowi mengeluarkan (Perpu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan/atau dalam rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan yang ditandatangani. Perpu ini resmi menjadi undang-undang pada 18 Mei 2020.
Undang undang ini itu banyak dikritik dan digugat ke Mahkamah Konstitusi karena dianggap memberikan hak impunitas kepada para pejabat keuangan dalam mengambil kebijakan.
Pada Akhir Maret 2020, Presiden Jokowi juga sempat memicu kegaduhan dengan melontarkan pernyataan hendak memberlakukan darurat sipil untuk menyokong kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) .Beragam protes mengalir dari berbagai elemen masyarakat. Kebijakan tersebut dinilai tidak relevan dan berpotensi melanggar hak sipil dan politik masyarakat.
Namun Akhirnya, Jokowi mengurungkan rencana memberlakukan kebijakan darurat sipil. Sebagai gantinya, dia menetapkan status darurat kesehatan masyarakat.
Keempat, pemerintah mengeluarkan kebijakan new normal dan pelaonggaran pembatasan sosial ditengah pandemic covid-19 yang berkecamuk. Akibatnya, kasus positif covid-19 semakin meningkat. Belakangan pemerintah mengakui jika istilah new normal salah. Istilah tersebut membuat masyrakat menganggap bahwa sistuasi telah normal.
Kelima, pemerintah memutuskan membuka kembali sekolah di Zona hijau dan kuning. Kebijakan ini dinilai membahayakan para siswa, guru dan tenaga kependidikan. Akibat kebijakan ini muncul kaster baru penularan covid-19.
Berdasarkan laporan dari Laporcovid19 pembukaan sekolah kembali dengan pembelajaran tatap muka telah menimbulkan kluster baru. Inisiator laporcovid19, Irma Hidayana mengkritik kebijakan Nadiem yang tetap membuka sekolah di tengah pandemi. Menurutnya pembukaan sekolah yang berlandaskan zonasi kasus Covid-19 dianggapnya tidak tepat, sebab belum tentu daerah tersebut aman dari Covid-19. Sebab ia menilai pemerintah belum bisa memberikan deteksi yang tepat untuk setiap wilayah di Indonesia.
“Pemerintah belum mampu mendeteksi semua kasus di seluruh kota/kabupaten. Sehingga zonasi tersebut rentan kesalahan” jelas Irma 12 Agustus 2020. (AS)