IslamToday ID – Kasus penusukan terhadap Syekh Ali Jaber Ahad (13/9/2020) di Bandar Lampung, mengejutkan masyarakat. Penyerangan tersebut langsung mengingatkan publik pada rentetan kasus penyerangan terhadap ulama sepanjang tahun 2018. Sebagian besar kasus dilakukan oleh orang dengan gangguan jiwa (ODGJ).
Polres Kota Bandar Lampung telah menetapkan AA sebagai tersangka kasus penusukan terhadap Syekh Ali Jaber. Kepada polisi tersangka mengaku sempat berhalusinasi didatangi oleh Syekh Ali Jaber setahun yang lalu.
Kasat Reskrim Polres Kota Bandar Lampung Kompol Rezky Maulana mengatakan, dalam pemeriksaan tersangka mengatakan sejak halusinasi itu, ia kerap mengikuti ceramah-ceramah Syek Ali melalui media sosial Youtube. Lalu, begitu mendengar kabar adanya Syekh Ali Jaber, tersangka mengambil pisau dan memburu Syekh Ali Jaber.
“Begitu mendengar dari Masjid ada yang mendengar Syekh Ali Jaber, nah tidak lama dari situ dia ke dapur untuk mengambil pisau menuju ke tempat itu. Jadi secara spontan pada saat itu,” katanyaSenin (14/9/2020).
Bagian Operasi Intelijen
Sejumlah pihak pun memberikan komentar terkait peristiwa tersebut, salah satunya disampaikan oleh pengamat politik Muslim Arbi. Menurutnya fenomena penyerangan terhadap ulama yang dilakukan oleh orang gila menunjukan adanya operasi intelijen hitam dengan sandi ‘orang gila’.
“Saya perhatikan rentetan teror terhadap ulama dan yang terbaru penusukan terhadap Syekh Ali Jaber dan pelakuknya disebut alami gangguan jiwa. Ada indikasi operasi intelijen hitam dengan kata sandi ‘orang gila’,” tutur Muslim (14/09/2020).
Ia menilai operasi intelijen hitam dengan kata sandi ‘orang gila’ ini adalah bagian dari operasi pancing jaring yang bertujuan agar umat Islam menjadi marah. Akibatnya timbullah aksi kekerasan, dan muncullah stigma umat Islam sebagai sosok yang buruk.
“Operasi yang terbangun, Islam melakukan kekerasan dan dipandang buruk,” ujarnya.
Menurutnya, ada kemiripan kasus antara penyerangan terhadap ulama dengan kasus pembunuhan terhadap dukun santet di Banyuwangi pada tahun 1998. Bahkan dari pola-pola yang terjadi tersebut pada akhirnya tidak mampu mengungkap siapa ‘dalang’ serta ‘operatornya’.
“Kalaupun pelaku ditangkap bahkan terbunuh, tidak bisa terbongkar operasi ini,” terangnya.
Pada tahun 2018 silam, mantan Wakil Ketua Badan Intelijen Negara (BIN), As’ad Said Ali pernah mengungkapkan pola penggunaan orang gila dalam peristiwa berdarah di Banyuwangi tahun 1998. Ketika itu, As’ad mengemukakan pandangannya terkait beberapa kasus penyerangan terhadap beberapa ulama yang dilakukan oleh orang gila. Seperti KH Umar Basri, pimpinan Pondok Pesantren (Ponpes) Al Hidayah di Cicalengka, Kabupaten Bandung dan aksi teror terhadap Ketua Majelis Ulama Indonesia (MU) kota Madiun, pada 21 Februari 2018. Menurutnya, menggunakan pelaku orang gila akan berujung pada hilangnya kasus dari pemeriksaan.
“Itu pernah terjadi dulu, seperti kasus dukun santet di Banyuwangi, yang pakai pola orang gila juga. Karena orang gila tidak bisa diusut, tiba-tiba kasus menjadi hilang,” ucap As’ad dikutip dari bbc.com (22/02/2018).
Kemiripan lainnya yang dikemukakan oleh As’ad ialah tahun politik. Pada tahun 1998 peristiwa Banyuwangi itu terjadi sebelum turunnya Presiden Suharto. Sementara di tahun 2018 silam ada prosesi Pilkada serentak, yang kemudian dilanjutkan dengan Pemilihan Presiden (Pilpres) tahun 2019. Jika dibiarkan berlarut-larut peristiwa tersebut pun rawan ditunggangi oleh oknum tertentu yang berpotensi memecah belah umat.
“Kalau lama, semua orang akan menunggangi, akhirnya akan terjadi perpecahan. Apalagi sekarang sudah ada media sosial yang mempercepat beredarnya itu,” jelasnya.
Pengendali Orang Gila
Hal senada juga diungkapkan oleh mantan Ketua BIN periode 2015/2016, Sutiyoso saat ramainya kasus penyerangan terhadap ulama di tahun 2018 silam. Ia bahkan meragukan kasus penyerangan terhadap ulama yang dilakukan oleh orang gila. Ketika itu ia berpendapat ‘pura-pura’ telah menjadi modus operandi yang sering digunakan untuk melakukan kekerasan.
“Atau pura-pura sakit menghindari pemeriksaan KPK, berpura-pura kecelakaan. Jadi itu lagi jadi modus, dan orang kita tidak malu untuk berpura-pura. Termasuk berpura-pura gila sekarang,” kata Sutiyoso (22/2/2018).
Sutiyoso menduga ada pihak yang sengaja menjadi operator untuk kasus penyerangan yang dilakukan oleh orang gila. Sebab peristiwa terjadi secara berulang dan dalam rentan waktu yang berdekatan. Untuk itu penting kiranya pihak kepolisian melibatkan pihak medis.
“Berulang kali terjadi, kan? Masak kita tetap percaya saja. Kalau orang gila itu kan bisa diperiksa secara medis. Dan itu jadi bagian penting itu, memastikan dia gila betulan atau tidak,” terangnya.
Sebagai bagian dari ‘program’ menurutnya hal itu sepertinya dianggap lazim di tahun-tahun politik. Tujuannya pun beragam sebab peristiwa tersebut terjadi di tahun-tahun politik. Misalnya hilangnya kepercayaan terhadap pemerintah dan apparat.
“Ya, bisa macam-macam (tujuannya). Namanya juga tahun politik. Pilkada itu kan masih di tingkat-tingkatnya. Tapi bisa saja nasional,” ujarnya.
Penggunaan orang gila ini juga dijelaskan oleh Pengamat Intelejen, Soeripto. Menurutnya fenomena tersebut pasti ada yang mengendalikan. Ada rekayasa yang baik yang terjalin antar daerah.
“Jadi sebelum mereka diprogram dan dioperasikan, mereka sudah dipelajari lebih dulu. Dan ketika dioperasikan, ternyata bisa berjalan beriringan di berbagai daerah. Ini berarti jaringannya berjalan baik,” tuturnya (21/2/2018).
Ia menduga penggunaan orang gila dilakukan oleh oleh mereka yang telah memahami pola kerja intelijen tertutup. Mereka bukanlah seorang intelijen yang biasa saja, mereka memiliki kemampuan dalam melakukan operasi intelijen yang baik.
“Jadi dari analisa deduktif spekulatif saya pasti ada yang ‘ngerjain’ artinya ada rekayasa,” ungkap dia.
“Bukan berarti saya menuduh lembaga intelejen terlibat disini,” jelas Soeripto.
Penulis: Kukuh Subekti