IslamToday ID — Pasukan Rajawali bentukan Badan Intelijen Negara (BIN) dinilai tidak memiliki payung hukum yang jelas. Pasalnya, konstitusi Indonesia hanya mengenal dua kekuatan bersenjata, yakni TNI dan Polri.
“TNI adalah komponen utama pertahanan negara untuk menegakkan kedaulatan bangsa yang terdiri atas tiga matra yakni AD, AL, dan AU. Sementara POLRI adalah lembaga penegak keamanan dan ketertiban negara. Hanya dua lembaga itu yang memiliki mandat konstitusional untuk mengadakan pasukan bersenjata,” kata Wakil Ketua MPR RI, Syarief Hasan (14/9/2020).
Syarief menambahkan, tidak ada ketentuan dalam aturan perundang-undangan Indonesia yang mengizinkan BIN untuk memiliki pasukan bersenjata. Hal ini turut diatur dalam Undang-undang (UU) No.17/2011 tentang Intelijen Negara.
Dalam aturn tersebut, fungsi pengamanan yang dijalankan oleh BIN adalah pengamanan yang bersifat intelijen. Maka dari itu BIN tidak memerlukan pasukan khusus yang bersenjata laras panjang, sebagaimana ditunjukan oleh pasukan
“BIN ini merupakan badan intelijen, bukan pasukan bersenjata. Anggota BIN pun tidak hanya berasal dari kalangan militer, tetapi juga berasal dari kalangan sipil. Membuat pasukan bersenjata dalam lembaga yang juga dihuni oleh kalangan sipil adalah sesuatu yang bermasalah,” tutur Syarief.
Syarief berharap kemunculan pasukan khusus ini bukan sebagai penanda hadirnya angkatan bersenjata kelima. BIN diharapkan tetap menjalankan tugas dan fungsinya sebagai lembaga intelijen negara. Sebab jika tidak BIN tidak akan mampu membangun sebuah organisasi intelijen yang berkelas internasional.
“BIN harus tetap menjadikan intelijen sebagai semangat dalam menjalankan tugas dan fungsinya, bukan membangun kekuatan bersenjata baru yang tidak berada dalam naungan TNI dan POLRI. Sebab, hanya TNI dan POLRI yang diatur secara jelas memiliki pasukan bersenjata khusus,” terangnya.
Insiatif Presiden Jokowi ?
Sejak terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) No. 73/2020, BIN berada langsung di bawah komando Presiden RI. Oleh karena itu, Wakil Ketua MPR RI, Syarief Hasan berpendapat bahwa Presiden Jokowi lah yang harus memberikan penjelasan terkait keberadaan ‘pasukan khusus’ di tubuh BIN.
“Presiden harus menjelaskan maksud BIN melakukan demonstrasi bersenjata tersebut mendorong BIN melakukan reformasi internal, menghindari persepsi masyarakat munculnya angkatan bersenjata kelima, dan menghindari kegiatan yang kontraproduktif dengan tugas keintelijenan,” ujar Syarief Hasan
Parade pasukan khusus Rajawali yang dipamerkan oleh BIN di Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN) pada Rabu (9/9). Parade militer pasukan khusus tersebut pertama kali diketahui publik lewat akun instagram pribadi Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo. Bambang memposting sebuah video berdurasi 38 detik. Video tersebut memuat aksi parade militer dalam acara Peningkatan Statuta STIN di Sentul, Bogor.
“Pasukan khusus intelijen Rajawali BIN memang beda. Selamat! Penampilan yang luar biasa. Jaga Indonesia. Jaga NKRI,” tulis Bambang dalam keterangan videonya tersebut (09/09/2020).
Penyimpangan
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menilai, berdasarkan aturan UU Intelijen Negara No.17/2011 sebagaimana dijelaskan dalam pasal 30 dan pasal 31 tidak ditemukan aturan yang berkaitan dengan pasukan khusus bersenjata. Begitu pula dalam Perpres No. 90/2012 tentang Badan Intelijen Negara (PP Badan Intelijen Negara). Merujuk pada sejumlah aturan tersebut, keberadaan pasuskan khusus bersejata di tubuh BIN dinilai sebagai bentuk penyimpangan.
“Maka, jika video yang disebarkan oleh Ketua MPR tersebut benar adanya pasukan khusus bersenjata yang dibentuk oleh BIN, maka BIN telah melampaui kewenangannya berdasarkan undang-undang,” tulis mereka dalam keterangan persnya yang dikutip dari laman resmi Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) pada (15/9/2020).
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan berpendapat, seharusnya BIN menjalankan fungsi intelijen sesuai dengan pasal 28 UU Intelijen Negara. Selain itu juga melaksanakan amanat pasal 29 UU Intelijen Negara yang mengatur tugas BIN.
Diantaranya, untuk melakukan pengkajian dan penyusunan kebijakan nasional di bidang intelijen, menyampaikan produk intelijen sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan kebijakan pemerintah, melakukan perencanaan dan pelaksanaan aktivitas Intelijen, membuat rekomendasi yang berkaitan dengan orang dan/atau lembaga asing, dan memberikan pertimbangan, saran, dan rekomendasi tentang pengamanan penyelenggaraan pemerintahan.
“Sehingga tidak tepat jika BIN justru membentuk pasukan khusus bersenjata layaknya TNI maupun Polri. erlebih BIN adalah institusi sipil (dengan pengecualian intelijen militer) yang tentunya jika terjadi konflik bersenjata tidak akan dianggap sebagai kombatan,” jelas koalisi.
Selain itu, terkait penggunaan kekuatan bersenjata, BIN hanya bertindak selaku coordinator penyelenggara intelijen. BIN tidak bisa langsung mengerahkan kekuatan bersenjata. BIN berdasarkan hasil analisisnya melaporkan terlebih dahulu kepada presiden, lantas presiden memerintahkan kepada Panglima TNI, Kepala Polri atau Kepala BNPT untuk mengambil tindakan berdasarkan hasil kajian BIN.
Oleh karena itu, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mempertanyakan terbentuknya pasukan Rajawali ditubuh BIN. Keberadaan pasukan bersenjata khusus tersebut hanya akan menambah daftar panjang aksi pelanggaran HAM oleh negara.
“Pasukan khusus bersenjata ini akan bertindak sewenang-wenang dan bukan tidak mungkin menambah daftar panjang pelanggaran HAM negara melalui pembunuhan di luar proses hukum (extrajudicial killing),” ungkap mereka.
Koalisi Rakyat Sipil mendesak agar pemerintah, presiden, Komisi I DPR untuk membubarkan pasukan Rajawali. Sebab jika tidak keberadan Rajawali hanya akan menjadi BIN semakin tidak jelas fungsinya.
Penulis: Kukuh Subekti