IslamToday ID –Direktur Pencegahan BNPT Brigjen Ahmad Nurwahid mengatakan gerakan aktivitas agama yang bertentangan dengan empat konsensus nasional—yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI— maka itu sudah bisa disebut gerakan radikalisme. Jika sudah beraksi bisa disebut terorisme.
Namun demikian menurutnya, radikalisme dan terorisme bukan monopoli satu agama. Potensi radikalisme dan terorisme ada di seluruh agama dan kempok dan individu.
“Di negara lain, seperti New Zealand, pelaku radikalnya malah membunuh (orang Islam) yang sedang salat Jumatan,” ujar Direktur Pencegahan BNPT Brigjen Ahmad Nurwahid dalam diskusi online yang digelar Ashor pada Minggu (27/9/2020).
Ia menilai radikalisme dan terorisme atas nama agama adalah fitnah bagi agama. Contohnya, jika radikalisme dan terorisme mengatasnamakan Islam maka itu hakikatnya itu adalah fitnah bagi Islam.
“Mereka memecah belah Islam dan menyebarkan ketakutan. Radikalisme yang mengatasnamakan Islam malah menyimpang dari tujuan Islam yang rahmatan lil alamin,” kata Nurwahid.
Menurutnya, UU No. 5/2018 yang merupakan perubahan atas UU No. 5/2012 tentang Pemberantasan terorisme belum mampu menjangkau paham radikal, Kecuali, mereka yang dianggap radikal telah masuk jaringan teroris dan sudah siap melancarkan aksinya, Misalnya sudah memiliki senjata api, bom, atau iddad, yang mengindikasikan akan melakukan aksi teror.
“Misalnya berdasarkan hasil analisis surveillance dan intelejen mereka sudah punya senjata api, bom, atau iddad (latihan paramiliter) yang mengindikasikan kuat akan melakukan aksi teror maka itu baru bisa dilakukan tindakan (penangkapan) atau preventif strike,” imbuhnya.
Lanjut Nurwahid, jika mereka baru terpapar paham radikal seperti HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) tidak bida ditindak dengan UU Pemberantasan terorisme. Mereka baru bisa dijangkau ketika terilibat atau masuk dalam jaringan teroris.
yang telah terpapar paham radikal semisal HTI. Mereka ini belum bisa terjangkau sepanjang belum masuk kelompok teror. Berbedahalnya dengan di Malaysia dan Singapura yang memiliki Internal Security Act (ISA). Dengen perangkat itu Malaysia dapat menjangkau paham radikal.
“Dulu di masa Orde Baru kita punya UU Anti Subversif tapi paska Orde Baru ini dihilangka. Inilah yang jadi problem bangsa ini. Berbicara radikal terorisme tidak bisa secara parsial tapi harus holistik dari hulu dan hilir. Hilirnya ya jaringan terorisme, hulunya yang perlu pencegahan,” lanjutnya. (AS)