IslamToday ID — Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebutkan bahwa saat ini Indonesia dihadapkan pada kondisi yang sulit bahkan ia pun membandingkan kondisi terkini dengan awal masa kemerdekaan.
Menurut Sri Mulyani, Indonesia merdeka tidak dalam kondisi perekonomian yang baik. Pasalnya, Belanda sendiri baru mengakui kemerdekaan Indonesia pada tahun 1949-an.
“Jadi dari tahun 1945 sampai 1949 Indonesia masih terus berada dalam situasi intimidasi, konfrontasi, bahkan agresi Belanda. Itu kondisi politik, militer, keamanan, dan ekonomi tidak pasti,” jelas Sri Mulyani ketika memberikan paparan dalam Pembukaan Ekspo Profesi Keuangan, Senin (12/10/2020)., dikutip dari Kompascom.
“Ekonomi kita diberi warisan, tidak hanya ekonomi yang rusak, tapi juga utang pemerintah kolonial,” tuturnya.
Sri Mulyani mengatakan Indonesia memiliki warisan utang pemerintah kolonial sebesar US$1,13 miliar usai mendapat pengakuan kemerdekaan oleh Belanda melalui Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 1949.
Ia memaparkan, ketika merdeka, Indonesia tidak memiliki harta kekayaan. Sebab harta yang dimiliki telah rusak akibat perang. Investasi yang sebelumnya dibekukan oleh pemerintah Belanda, dianggap menjadi investasi Indonesia paska kemerdekaan.
“Utangnya menjadi utang pemerintah Indonesia. Warisannya itu 1,13 miliar dollar AS, pada saat mungkin waktu itu GDP Indonesia masih sangat kecil,” jelasnya.
Utang itu berasal dari kekayaan yang rusak akibat perang serta seluruh investasi sebelumnya yang dibekukan oleh pemerintah Belanda. Warisan utang tersebut tentu sangat berat bagi negara yang baru berdaulat. Apalagi, produk domestik bruto (PDB) Indonesia pada saat itu masih sangat kecil.
“Waktu kita memulai pemerintahan untuk menjadi negara Indonesia yang merdeka, secara keuangan tidak dengan balance sheet yang nol,” ujarnya.
Menurut Menkeu, seiring berjalannya waktu, perekonomian Indonesia juga dibiayai dengan defisit APBN. Namun, pembiayaan saat itu tidak melalui penjualan Surat Berharga Negara (SBN) seperti saat ini, melainkan meminta Bank Indonesia (BI) untuk mencetak uang.
“Sehingga meminta BI cetak uang, yang terjadi kemudian jumlah uang beredar lebih banyak dari suasana kondisi perekonomian, sehingga inflasi meningkat luar baisa besar,” jelasnya
Menurut Sri Mulyani di era orde baru, seluruh utang digunakan untuk belanja pembangunan. Sehingga ketika terjadi krisis keuangan Asia, defisit transaksi berjalan (CAD) meningkat dan terjadi tekanan pada nilai tukar rupiah.
“Maka pada saat terjadi adjustment nilai tukar rupiah, seluruh neraca perusahaan, perbankan, negara, semua alami tekanan karena dalam waktu sehari, berapa jam nilai tukar rupiah berubah tiba-tiba, volatility meningkat, aset tidak meningkat, perusahaan dengan cashflow rupiah dan utang denominasi asing, neraca akan ambyar,” tukasnya.
“Yang terjadi adalah jumlah uang beredar lebih banyak berisi ulasan atau kondisi perekonomiannya produksinya sehingga inflasi meningkat luar biasa besar,” tuturnya.
Selanjutnya pada era Orde Baru, pemerintah mulai memberlakukan mekanisme balance budget meskipun belum memiliki Undang-undang yang mengatur neraca belum dibentuk. Oleh karena itulah, belanja pembangunan dapat berjalan ketika pembiayaan dari multilateral atau bilateral.
“Secara flow, kita disiplin karena kita menyebut balance budget di mana seluruh utang untuk belanja pembangunan hanya bisa dilakukan pembiayaan dari multilateral dan bilateral. Sehingga muncul lah disiplin dari sisi berapa jumlah utang yang bisa dilakukan di setiap fiscal year-nya,” jelas Sri Mulyani, dikutip dari CNN Indonesia.
Akan tetapi, nilai tukar rupiah pada APBN selalu dipatok dengan nilai yang sama. Hal itu lah yang mengakibatkan dampak krisis keuangan Asia terhadap Indonesia sangat besar.
Ketika nilai tukar yang tidak bisa berubah tersebut tak bisa dipertahankan karena faktor fundamental pendukungnya tidak konsisten, ketika terjadi adjustment nilai tukar semua neraca baik perbankan, perusahaan hingga negara mengalami tekanan.
“Dalam berapa jam, nilai tukar rupiah berubah, itu tiba-tiba liability kita meningkat tapi aset kita tidak meningkat. Sehingga seluruh perusahaan yang cashflow-nya rupiah, sementara utangnya dalam bentuk mata uang asing, neracanya pasti akan ambyar,” jelasnya.
Perbankan yang mengalami masalah sistemik tersebut kemudian mengharuskan pemerintah melakukan bailout sangat besar. Kebijakan itu juga menyebabkan biaya utang naik lagi jadi 60 persen, terutama karena kurs rupiah.
“Pemerintah melakukan bailout untuk me-rescue seluruh sistem perbankan supaya sistem ekonomi kembali pulih ini mengakibatkan biaya utang meningkat lagi menjadi 60 persen,” jelasnya
“Selain utang pemerintah sendiri yang meningkatkan nilai tukar. Jadi waktu itu dari krisis keuangan Asia kita diwariskan apa yang disebut dengan kenaikan utang yang meningkat hingga 100 persen atau lewat 100 persen,” tandasnya melanjutkan.
Ekonomi Covid-19
Ia memaparkan, saat ini kondisi perekonomian Indonesia menjadi lebih kuat. Pemerintah pun melakukan reformasi keuangan akibat pandemi Covid-19. Oleh karena itu, meski di sisi lain harus menangani kondisi Covid-19 yang terjadi tahun ini, pemerintah juga telah menyiapkan anggaran untuk penanganan dan pemulihan Covid-9 tahun depan.
Sri Mulyani mengatakan, pemerintah telah mencadangkan anggaran untuk kesehatan untuk penyediaan vaksin, hingga anggaran perlindungan sosial yang bakal dilanjutkan tahun depan.
“Ketidakpastian akibat Covid-19 belum diketahui kapan berakhir, tapi ada ikthiar dapatkan vaksin, maka kita sediakan dan cadangkan anggaran untuk kesehatan. Masyarakat yang hadapi tekanan henat akibat Covid, PSBB orang tidak keluar, dan banyak usaha kecil struggle harus tetap didukung, bansos, bantuan UMKM dilakukan dan dilaksanakan,” tandasnya.
Perlu diketahui saat ini total utang pemerintah pusat hingga akhir Agustus 2020 sebesar Rp 5.594,93 triliun, naik 19,5 persen dari periode yang sama tahun lalu. Posisi rasio utang Indonesia itu mencapai 34,53 persen dari PDB.[IZ]