IslamToday ID — Rancangan Undang-undang (RUU) Omnibus Law/ Cipta Kerja yang disahkan pada Senin pekan lalu (5/10/2020) akhirnya digugat ke Mahkamah Kosntitusi (MK). Gugatan dilayangkan berbagai kalangan, mulai dari Serikat buruh, mahasiswa hingga siswa SMK.
Dilansir dari laman resmi MK Jum’at (16/10/2020) gugatan pertama diajukan oleh Dewa Putu Reza seorang karyawan kontrak dan Ayu Putri seorang pekerja paruh waktu. Keduanya mengirimkan berkas gugatan pada Senin (12/10/2020) dengan nomor berkas 2034/PAN.MK/X/2020. Mereka menyampaikan tiga alasan pengajuan permohonan uji materi. Salah satu diantaranya ialah penghapusan batas waktu dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Menurut mereka penghapusan patas waktu bisa menyebabkan hilangnya perlindungan hukum dan kepastian hukum bagi pekerja.
Di hari yang sama, gugatan kedua dilayangkan oleh Dewan Pimpinan Pusat Federasi Serikat Pekerja Singaperbangsa. Gugatan dengan nomor berkas 2035/PAN.MK/X/2020 itu didaftarkan atas nama Deni Sunarya, Ketua Umum DPP Federasi Serikat Pekerja Singaperbangsa bersama dengan Sekretaris Umum DPP Federasi Serikat Pekerja Singaperbangsa , Muhammad Hafidz.
Dalam berkas gugatan setebal 22 halaman itu, Federasi Serikat Pekerja Singaperbangsa mempermasalahkan beberapa pasal dalam RUU Omnibus Law/ Cipta Kerja. Di antara pasal yang dipermasalahkan yakni pasal 81 angka 15 RUU Cipta Kerja yang dinilai telah mengubah muatan materi dalam ketentuan pasal 59 UU Ketenagakerjaan. Berikut ini bunyi dari pasal 59 UU Ketenagakerjaan ayat 1 b:
“pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun,”
Dalam pasal 81 angka 15 RUU Cipta Kerja berubah menjadi:
“pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama.”
Menurut mereka penghapusan klausul waktu 3 (tiga) tahun menghilangkan jaminan pelindungan dan kepastian hukum bagi pekerja waktu tertentu.
“Ada penghapusan waktu tiga tahun. Pembatasan waktu bagi pekerjaaan tertentu yang bersifat sementara, untuk menjamin perlindungan kepada pekerja, buruh yang diikat dengan sebuah perjanjian kerja waktu tertentu,” tulis mereka dalam keterangan berikutnya.
Gugatan ketiga dilayangkan oleh Gerakan Masyarakat Pejuang Hak Konstitusi (GMPHK) pada Kamis (15/10/2020). Di dalam kelompok ini ada Novita Widyana seorang pelajar SMK Negeri 1 Ngawi yang turut mengajukan judicial review RUU Cipta Kerja. Dalam kelompok ini juga ada sejumlah mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi. Antara lain; Elin Dian Sulistiyowati mahasiswa Universitas Brawijaya, Alin Septiana dari Universitas Negeri Malang, berikutnya Mahasiswa STKIP Modern Ngawi atas nama Ali Sujito. Selain itu juga mantan buruh PKWT, Hakiimi Irawan Bangkid Pamungkas.
Berkas gugatan setebal 35 halaman itu didaftarkan dengan nomor 2039/PAN.MK/X/2020. Dalam gugatannya mereka menilai RUU Cipta Kerja melanggar berbagai asas pembentukan Undang Undang.
“UU Cipta Kerja melanggar asas kejelasan tujuan, asas kesesuaian antara jenis hirerarki dan materi muatan, asas kejelasan rumusan, dan asas keterbukaan,” ujar GMPHK
Sementara itu, seperti dilansir dari bbcindonesia (16/10/2020) empat dari tujuh organisasi buruh yang terlibat dalam pembahasan RUU Cipta Kerja siap melakukan gugatan judicial review ke MK, Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI), Elly Rosita Silaban mengaku akan langsung mengajukan gugatan begitu RUU Omnibus Law/ Cipta Kerja resmi ditandatangani oleh Presiden Jokowi. Dalam catatannya ada 12 pasal RUU Omnibus Law yang dinilai merugikan kaum buruh. Pasal-pasal itu berkaitan dengan pesangon, sistem kontrak, pekerja alih daya, dan pengupahan.
“Kami sudah dapat dokumen yang 812 halaman dan kami optimis menang. Sudah kita pelajari dan tinggal menunggu nomor di-undangkan,
Penulis: Kukuh Subekti