ISLAMTODAY ID — Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Supratman Andi Agtas mengatakan Kementerian Sekretariat Negara memang mengajukan perbaikan dalam naskah Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja.
Menurut Ketua Baleg DPR RI ini, salah satunya adalah pasal 46 UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang seharusnya dihapus dari undang-undang sapu jagat itu.
“Itu benar, kebetulan Setneg yang temukan. Jadi itu seharusnya memang dihapus, karena itu terkait dengan tugas BPH (Badan Pengatur Hilir) Migas,” ujar Supratman kepada para wartawan saat dikonfirmasi, Kamis (22/10).
Supratman menjelaskan, awalnya pemerintah berkeinginan mengusulkan pengalihan kewenangan penetapan toll fee dari BPH Migas ke Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Akan tetapi, keinginan tersebut tak disetujui oleh Panitia Kerja (Panja) RUU Cipta Kerja.
Namun dalam naskah yang tertulis, pasal tersebut masih ada dalam draf UU Cipta Kerja berjumlah 812 halaman yang dikirim oleh Sekretaris Jenderal DPR Indra Iskandar. Menurutnya, Baleg juga telah memastikan pasal tersebut seharusnya dihapus.
“Itu benar seharusnya tidak ada, karena seharusnya dihapus. Karena kembali ke undang-undang eksisting, jadi tidak ada di UU Cipta Kerja,” ujar Supratman.
“Atas dasar itu, kami bahas di Panja, tapi diputuskan tidak diterima di Panja,” tandasnya.
“Saya pastikan setelah berkonsultasi semua ke kawan-kawan itu benar, seharusnya tidak ada, karena seharusnya dihapus, karena kembali ke UU existing. Jadi tidak ada di UU Ciptaker,” demikian menurut politikus Partai Gerindra itu.
Idealnya, pasal tersebut sudah harus dihapus oleh DPR sebelum naskah diberikan kepada pemerintah. Namun, kekeliruan itu justru baru ditemukan oleh pihak pemerintah, dalam hal ini Kemensetneg, sehingga pasal tersebut baru dihapus.
Politikus Partai Gerindra Dapil Sulawesi Tengah itu menegaskan perubahan sama sekali tak mengubah substansi yang telah disetujui di tingkat Panja. Termasuk dihapusnya Pasal 46 UU 22/2001, sebab di tingkat Panja hal itu memang seharusnya dihapus.
Terkait keberadaan Bab tentang Kebijakan Fiskal Nasional terkait Pajak dan Restribusi yang mengalami perubahan posisi di draf terbaru UU Ciptaker, Supratman mengatakan ketentuan tersebut seharusnya berada di Bab VIIA.
Dalam naskah draf UU Ciptaker 812 halaman, ketentuan terkait kebijakan fiskal nasional diatur dalam Bab VIA. Posisinya disisipkan antara Bab VI dan Bab VII.
Namun, dalam naskah versi terbaru dari pemerintah yang berjumlah 1.187 halaman, bab tersebut menjadi Bab VIIA. Disisipkan antara Bab VII dan Bab VIII.
“Ternyata setelah kami cek seharusnya Bab VIIA. Itu kan hanya soal penempatan saja, tidak mengubah isi sama sekali,” ujarnya.
Berdasarkan laporan Republika, sebelumnya, anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR Mulyanto mengungkapkan, Kementerian Sekretariat Negara mengajukan revisi Undang-Undang Cipta Kerja sebanyak 88 halaman dan 158 item. Hal tersebut dilakukan pada dua hari usai Sekretaris Jenderal DPR Indra Iskandar menyerahkan naskah UU yang berjumlah 812 halaman, ke pihak Istana.
Namun, Mulyanto mengaku tak mengetahui apa yang direvisi oleh Setneg. Sebab, panitia kerja (panja) Baleg UU Cipta Kerja telah dibubarkan usai pengesahan yang dilakukan dalam rapat paripurna pada 5 Oktober 2020.
“Perbaikan draf RUU Cipta Kerja sebanyak 158 item dalam 88 halaman berdasarkan recall tanggal 16 Oktober 2020,” ujar Mulyanto.
Diketahui, draf final RUU Cipta Kerja yang diserahkan kepada pemerintah berjumlah 812 halaman. Sebelum draf final tersebut diserahkan kepada Presiden, beredar banyak naskah yang bervariasi jumlah halamannuya.
Mulai dari 1.028 halaman, 905 halaman, 1.052 halaman, dan 1.035 halaman. Terbaru, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Muhammadiyah mengaku menerima naskah Undang-Undang (UU) Cipta Kerja yang berjumlah 1.187 halaman.
Penjelasan Mensesneg
Sebelumnya, Mensesneg Pratikno menjelaskan bahwa isi naskah UU Ciptaker yang disiapkan Kemensetneg sebanyak 1.187 halaman sama dengan yang disampaikan DPR kepada Presiden Joko Widodo.
“Substansi RUU Cipta Kerja dalam format yang disiapkan Kemensetneg (1.187 halaman) sama dengan naskah RUU Cipta Kerja yang disampaikan DPR kepada presiden,” ujar Pratikno melalui keterangannya kepada wartawan, Kamis (22/10).
Pratikno menjelaskan, setiap naskah RUU dilakukan penyesuaian format dan pengecekan teknis terlebih dulu oleh Kemensetneg sebelum disampaikan kepada presiden.
“Sebelum disampaikan kepada Presiden, setiap naskah RUU dilakukan formating dan pengecekan teknis terlebih dahulu oleh Kementerian Sekretariat Negara agar siap untuk diundangkan. Setiap item perbaikan teknis yang dilakukan, seperti typo dan lain lain, semuanya dilakukan atas persetujuan pihak DPR, yang dibuktikan dengan paraf ketua Baleg,” papar Pratikno.
Mensesneg menekankan bahwa mempersoalkan naskah undang-undang berdasarkan halaman saja sebenarnya tidak tepat. Karena nantinya formating akan berubah, sehingga juga berpengaruh pada jumlah halamannya.
“Tentang perbedaan jumlah halaman, kami sampaikan bahwa mengukur kesamaan dokumen dengan menggunakan indikator jumlah halaman, itu bisa misleading. Sebab, naskah yang sama, yang diformat pada ukuran kertas yang berbeda, dengan margin yang berbeda dan font yang berbeda, akan menghasilkan jumlah halaman yang berbeda,” jelasnya.
Ia menjelaskan sebab format naskah yang akan ditandatangani oleh Presiden RI, tentu memiliki standar baku yang itu sudah diatur.
“Setiap naskah UU yang akan ditandatangani Presiden dilakukan dalam format kertas Presiden dengan ukuran yang baku,” tandasnya.[IZ]