ISLAMTODAY ID – Presiden Jokowi menyampaikan pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal III 2020 minus 3 persen. Meski resmi masuk jurang resesi, menurut Jokowi angka minus 3 persen tersebut masih lebih baik disbanding negara lain.
“Pada kuartal III ini, kita juga mungkin sehari, dua hari, tiga hari akan diumumkan oleh BPS, juga masih berada di angka minus. Perkiraan kami minus 3 persen, naik sedikit,” ujar Jokowi dalam konferensi pers, Senin (2/11).
Presiden Jokowi juga mengabarkan buruknya potensi investasi pada kuartal III. Ia memperkirakan investasi berpotensi minus lebih dari 5 persen. Ia mengaku telah meminta Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi agar investasi di kuartal III 2020 bisa naik. Faktanya,Presiden mengakui hal itu sulit direalisasikan.
“Belum bisa dikejar. Oleh sebab itu harus dikejar pada kuartal IV 2020, dan kuartal I 2021,” kata Jokowi.
Namun demikian, Presiden Jokowi menilai pertumbuhan ekonomi di kuartal III masih lebih baik dari pertumbuhan ekonomi di kuartal II yang merosot hingga minus 5,32 persen. Presiden Jokowi juga mengklaim bahwa kondisi ekonomi Indonesia masih lebih baik dibandingkan negara lain.
“Ini kalau dibandingkan dengan negara lain masih jauh lebih baik,” kata Presiden Jokowi.
Presiden Jokowi meminta seluruh kementerian untuk menggenjot belanja pada kuartal IV 2020. Hal ini dimaksudkan untuk mendorong permintaan, sehingga konsumsi rumah tangga membaik pada akhir tahun.
“Kuartal akhir, saya harapan realisasi belanja betul-betul harus berada pada titik maksimal,” tegas Jokowi.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, pada kuartal III, perekonomian Indonesia kemungkinan akan mengalami kontraksi minus 2,9 persen hingga minus 1,1 persen. Sebelumnya, pada kuartal II pertumbuhan ekonomi Indonesia sudah mengalami minus 5,32 persen. Menurutnya, dengan kondisi seperti itu tidak menutup untuk terjadinya resesi ekonomi di Indonesia.
Dampak Resesi
Resesi ekonomi membawa sederet dampak. Seperti dilansir Kompas.com, 4 September 2020, Fahmy Radhi pengamat ekonomi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) mengatakan, resesi akan berpengaruh penurunan suplay barang secara drastis, padahal tingkat permintaan tetap. Akibatnya, harga-harga akan naik dan bisa memicu inflasi. Jika inflasi tidak terkendali hal ini akan membuat daya beli masyarakat, menurun. Lanjutnya,
“Ujung-ujungnya, pertumbuhan ekonomi akan semakin terpuruk,” ujar Fahmy.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad mengungkapkan, resesi turut menyebabkan maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK).
“Tentu saja perusahaan-perusahaan yang punya kontrak jangka pendek atau kontraknya terbatas misalnya, dia tidak akan dilanjutkan untuk perpanjangan kontrak. Kemungkinan itu terutama bagi industri-industri yang terpengaruh sampai akhir tahun bahkan sampai tahun depan seperti industri penerbangan dan sebagainya itu yang saya kira masih relatif terkendala,” seperti dilansir detik.com, Selasa (1/9/2020). [AS]
Hal yang sama juga diungkapkan Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal. Menurut Fisal, dengan banyaknya PHK yang terjadi, secara otomatis pengangguran di Indonesia akan semakin meningkat dan menyebabkan bertambahnya kemiskinan.
“Kalau banyak karyawan di PHK berarti pengangguran meningkat, kalau meningkat daya beli masyarakat turun dan kemiskinan bisa meningkat dan itu yang dirasakan,” terangnya. [AS]