ISLAMTODAY ID –Undang-undang (UU) Omnibus Law Cipta Kerja resmi berlaku di Indonesia Senin (2/11/2020) kemarin. UU No.11/2020 tentang Cipta Kerja itu dinilai menjadi ancaman serius, termasuk bagi lingkungan hidup.
Kekhawatiran akan dampak serius UU Cipta Kerja bagi lingkungan telah disuarakan oleh banyak pihak. Mulai dari aktivis lingkungan hingga investor asing.
Dilansir dari mata-matapolitik.com (6/11/2020), pasca disahkannya RUU Omnibus Law Cipta Kerja melalui rapat paripurna DPR Senin (5/10) lalu, banyak investor asing yang khawatir akan materi di dalam UU Cipta Kerja. Sebanyak 35 investor global yang total asetnya mencapai US$ 4,1 triliun langsung menyurati Presiden Jokowi.
“Secara khusus, kami khawatir perubahan yang diusulkan pada kerangka perizinan, pemantauan kepatuhan lingkungan, konsultasi publik dan sistem sanksi akan berdampak buruk terhadap lingkungan, hak asasi manusia dan ketenagakerjaan yang menimbulkan ketidakpastian yang signifikan dan dapat memengaruhi daya tarik pasar Indonesia,” tulis mereka dalam suratnya kepada Presiden Jokowi.
Kekhawatiran juga dirasakan investor asal Jepang. Yoshio Hishida selaku Representative Director and President Sumitomo Mitsui Trust Asset Management, kekhawatir terhadap iklim investasi pasca diberlakukannya UU Cipta Kerja
Kekhawatiran itu di sampaikan Yoshio melalui surat tertanggal 15 Oktober 2020, yang ditujukan pada Wakil Menteri Luar Negeri Indonesia, Mahendra Siregar.
Namun demikian, pemerintah menepis kekhawatiran yang disampaikan oleh para investor tersebut. Pemerintah mengatakan, kekhawatiran para investor itu tidak beralasan.
“Dapat dipahami, tapi (kekhawatiran itu) tidak beralasan,” tutur Mahendra dalam surat balasannya seperti dikutip dari tirto.id (21/10/2020).
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar menepis kekhawatiran akan rusaknya lingkungan hidup pasca berlakunya UU Cipta Kerja. Melalui surat terbukanya pada 15 Oktober 2020 lalu, ia mengatakan jika pemerintah berkomitmen terhadap kelestarian lingkungan hidup.
Kata Siti, hal itu dibuktikan dengan terlibatnya Indonesia dalam Paris Agremeent untuk mengurangi emisi karbon sebesar 29 persen pada 2030, atau sebesar 41 persen dengan bantuan internasional.
“Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo secara konsisten menunjukkan tren positif dalam hal pengurangan deforestasi dan degradasi hutan (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation/REDD+),” dilansir dari idntimes.com (17/10/2020).
Omnibus Law Perparah Kerusakan
Klaim pemerintah itu dibantah oleh Indonesian Center for Environmental Law (ICEL). Menurut ICEL, semakin banyaknya insentif bagi perusahaan batubara serta perubahan dalam undang-undang pertambangan, semakin menunjukan bahwa Omnibus Law jauh dari kesan ramah lingkungan.
Salahsatunya, Perusahaan batu bara dibebaskan membayar royalty jika membangun fasilitas hilir, seperti pembangkit listrik tenaga batu bara.
Peneliti ICEL, Grita Anindarini terjadinya deforestasi atau hilangnya hutan yang lebih luas juga menjadi ancaman serius pasca berlakunya UU Cipta Kerja. Pasalnya ada penghapusan persyaratan bagi daerah untuk mempertahankan minimal 30 persen DAS dan/ atau wilayah pulau sebagai kawasan hutan. Menurut Grita hal ini memicu semakin buruknya emisi udara di Indonesia.
“Kita tahu bahwa penggunaan lahan, perubahan penggunaan lahan, dan kehutanan merupakan penyumbang emisi terbesar di Indonesia, sekitar 40 persen,” ungkap Grita.
Persulit Masyarakat dan LSM Lingkungan
UU Cipta Kerja juga dinilai mengancam masyarakat sipil dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang pelestarian lingkungan.
Menurut Pakar Hukum Lingkungan dari Universitas Indonesia, Muhamad Ramdan Andri Gunawan Wibisana Keberadaan Omnibus Law Cipta Kerja akan membuat masyarakat dan LSM tidak bisa lagi menuntut proyek-proyek yang mencemari lingkungan dan memperburuk perubahan iklim. Misalnya proyek pembangkit listrik tenaga batubara
Kata Ramdan, sebelum UU Cipta Kerja Disahkan, banyak gugatan tentang kerusakan lingkungan hidup yang macet penanganannya. Salah satunya kasus proyek pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara di Celukan Bawang, Buleleng, Bali.
Warga dihadapkan pada masalah polusi udara dan kebisingan mesin PLTU. Proyek yang dimulai sejak tahun 2004 dan mulai beroperasi di tahun 2015 ini sebenarnya telah masuk di tingkat kasasi Mahkamah Agung (MA). Namun, warga tak bisa berbuat banyak, sebab MA menolak kasasi diajukan oleh warga Celukan Bawang, Buleleng, Bali (mongabay.co.id, 15/9/2020).
Ramdan mengungkapkan jika kasus serupa terjadi pasca Omnibus Law berlaku bukan tidak mungkin peluang menangnya di pengadilan menjadi semakin sedikit.
“Dengan omnibus law ini, mungkin tidak ada lagi tuntutan hukum. Kekhawatiran kami, kegiatan ekstraktif tersebut, termasuk pembangkit listrik tenaga batu bara, dapat berjalan tanpa harus khawatir akan ada gugatan publik. Selama ada analisis dampak lingkungan, itu cukup,” jelas Ramdan.
Ancaman Bagi Aktivis
UU Cipta Kerja juga dinilai menjadi ancaman serius bagi aktivis lingkungan. Hal itu dikatakan dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Herlambang P Wiratraman.
“Saya melihat UU Cipta Kerja juga berpotensi membahayakan para pembela lingkungan. UU Cipta Kerja tidak hanya membungkam suara para aktivis pembela lingkungan tapi juga mengancam keselamatan mereka,” ujarmya, seperti dilansir dari islamtoday.id (5/11/2020).
Ia menambahkan keberadaan Omnibus Law justru lebih berpihak pada kepentingan korporasi. Sehingga perusahaan- perusahaan yang ada di Indonesia semakin memiliki impunitas yang tinggi. Sehingga berbagai pelanggaran yang dilakukan tidak akan diproses di pengadilan.
“UU Cipta Kerja dirancang agar korporasi atau perusahaan memiliki ‘impunitas’. Artinya, perusahaan yang terbukti merusak lingkungan atau bahkan terlibat dalam pengerahan preman, akan semakin jarang dimintakan pertanggungjawaban di hadapan hukum,” jelas Herlambang.
Perlindungan hukum bagi aktivis lingkungan juga semakin menipis. Sejumlah lembaga negara tempat mereka mendapatkan advokasi bahkan mengalami pengurangan anggaran. Semakin sedikitnya anggaran tentu pelayanan yang bisa diberikan akan semakin terbatas pula.
“Kondisi ini menyulitkan para pembela lingkungan yang memiliki kekuatan dan perlindungan hukum yang terbatas dalam melakukan advokasi dan menuntut penegakan hukum lingkungan,” ujar Herlambang.
Penulis: Kukuh Subekti