(IslamToday ID) – Disahkannya UU Cipta Kerja beberapa waktu lalu dinilai Guru Besar Hukum Agraria Universitas Gadjah Mada (UGM) Maria Sumardjono berpotensi bagi masyarakat kehilangan tanah bahkan lapangan pekerjaan, karena adanya Bank Tanah seperti yang tertera pada Pasal 125 UU Cipta Kerja.
Menurut Maria, Bank Tanah ini dapat menjadi alasan untuk mengambil tanah masyarakat dan masyarakat hukum adat.
Sebab UU Cipta Kerja tidak menjelaskan asal-usul ketersediaan tanah yang dijamin pengadaannya melalui Bank Tanah. UU Cipta Kerja hanya menyebut bank tanah dapat melakukan pengadaan. “Nah pertanyaannya, itu tanahnya dari mana? Tanahnya itu pasti dari masyarakat dan masyarakat hukum adat,” kata Maria seperti dikutip dari Kompas, Senin (16/11/2020).
“Ini nanti menghilangkan lapangan kerja yang sudah ada, untuk menyediakan bagi investor membuka lapangan kerja untuk, kita tidak tahu, untuk pihak lain pasti, bukan dari pihak yang tanahnya sudah tergusur,” lanjutnya.
Maria juga mempertanyakan tujuan dari berdirinya Bank Tanah. Sebagaimana diatur dalam UU Cipta Kerja, Bank Tanah didirikan untuk menjamin ketersediaan tanah untuk kepentingan umum, kepentingan sosial, kepentingan pembangunan nasional, hingga reforma agraria. Hal ini menjadi persoalan karena paradigma Bank Tanah untuk pembangunan nasional tidak kompatibel dengan tujuan reforma agraria.
“Itu kan sangat tidak kompatibel karena Bank Tanah itu memang latar belakangnya adalah untuk mempermudah investor untuk memperoleh tanah. Lah kok tiba-tiba disandingkan dengan reforma agraria,” ujar dia.
Sehingga tak mengherankan jika guru besar satu ini menilai ada skenario besar yang menguntungkan investor melalui pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja terkait perubahan sejumlah ketentuan sektor pertanahan atau agraria. “Saya menemukan ini memang ada suatu big scenario, ada skenario besar. Untuk apa, untuk red carpet bagi kelompok tertentu, bagi investor,” kata Maria dalam pemaparan Anotasi Hukum UU Cipta Kerja secara virtual, Senin (9/11/2020).
Selain soal Bank Tanah, Maria juga mempersoalkan ketentuan yang menyatakan orang asing berhak memiliki rumah susun atau apartemen. Ketentuan tersebut tertera pada Pasal 144 ayat (1) UU Cipta Kerja yang mengatur, hak milik atas satuan rusun antara lain dapat diberikan kepada warga asing yang mempunyai izin sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan dan dianggap menabrak aturan yang ada di Undang-Undang Pokok Agraria dan Undang-Undang Rumah Susun.
“Anahnya lagi, untuk rumah tapak WNA tetap harus hak pakai, tapi untuk rumah susun, WNA boleh tanah bersamanya HGU. Jadi saya sendiri bertanya, ini kok konsistensinya sama sekali tidak ada,” tutur Maria. [wip]