(IslamToday ID) – Wakil Menteri Agama (Wamenag) Zainut Tauhid Sa’adi menyatakan penyiapan naskah khutbah salat Jumat oleh Kementerian Agama (Kemenag) hanya sebagai alternatif bagi para khatib.
Ia pun meminta agar penyiapan naskah tersebut tidak artikan sebagai bentuk intervensi atau pembatasan terhadap hak penceramah, ustaz, atau mubalig.
“Penyiapan naskah khutbah Jumat merupakan bentuk pelayanan keagamaan Kementerian Agama kepada masyarakat,” kata Zainut seperti dikutip dari Kompas, Sabtu (28/11/2020).
“Jangan diartikan sebagai bentuk intervensi, apalagi pembatasan hak asasi para dai, ustaz, mubalig, dan penceramah agama,” tambahnya.
Zainut mengatakan, dalam penyusunan naskah khutbah Jumat Kemenag akan melibatkan para ulama, praktisi dakwah, dan akademisi, serta para pakar di bidangnya. Menurutnya, Kemenag hanya berperan sebagai fasilitator.
“Pelibatan ulama, praktisi dakwah, dan akademisi penting untuk menghasilkan naskah khutbah Jumat yang sesuai dengan ketentuan agama, berkualitas, dan relevan dengan dinamika sosial,” kata Zainut.
Staf Khusus Menteri Agama, Kevin Haikal menambahkan naskah yang disiapkan tersebut diharapkan bisa jadi alternatif dalam menyampaikan khutbah. “Penyusunan naskah khutbah Jumat semata-mata dengan tujuan memperkaya khazanah bagi para khatib,” katanya.
“Bukan menunjukkan ketakutan berlebihan atau paranoid, apalagi dianggap sebagai bentuk ketidakpercayaan kepada para ulama, kiai, atau habaib,” tambahnya.
Menurut Kevin, penyusunan naskah khutbah tersebut juga akan melibatkan para kiai, ulama, dan habib. Ia menegaskan naskah ini dibuat hanya sebagai alternatif, sehingga tidak ada keharusan untuk menggunakannya.
Kevin pun mencontohkan negara yang mengatur khutbah salat Jumat antara lain Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA). Indonesia tidak akan melakukan seperti halnya dua negara itu. “Naskah-naskah yang disiapkan Kemenag bukan sesuatu yang mengikat atau wajib dibaca khatib saat khutbah seperti di negara-negara tadi,” ujarnya.
Materi yang disiapkan, menurut Kevin, juga diproses melalui tahapan kajian yang panjang dengan melibatkan ulama, pakar, praktisi, dan akademisi.
Usulan seperti ini, katanya, pernah digulirkan oleh Bawaslu RI saat Pilkada serentak 2018 lalu. “Jadi penilaian bahwa pemerintah paranoid apalagi tidak percaya kepada para ulama jelas tidak berdasar dan mengada-ada. Ini perlu diluruskan agar tidak menimbulkan kesalahpahaman dan kegaduhan di masyarakat, jangan sampai disalahtafsirkan,” tuturnya. [wip]