ISLAMTODAY ID — Kemunculan pasangan independen dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Kota Solo pada tahun 2020 mengukir sejarah baru. Kehadiran pasangan Calon Walikota Solo dari unsur independen ini melahirkan pasangan Bagyo dan FX Supardjo (Bajo). Pengalaman hidup sebagai wong cilik atau rakyat kecil yang merasa kecewa dengan janji-janji politisi menjadi alasan kuat mengapa keduanya berani maju.
Pasangan Bajo mengaku memiliki alasan khusus untuk maju dalam kontestasi Pilkada Solo. Menjadi representasi dan mewakili kepentingan masyarakat kecil yang sejak masa reformasi hingga kini kerap dikecewakan oleh kehadiran para elit politik nasional menjadi alasan kuat mengapa maju Bajo. Banyaknya kasus korupsi yang melibatkan para elit partai membuat masyarakat kelas bawah merasa dikecewakan.
Calon Walikota, Bagyo dalam wawancara khususnya dengan Islamtoday.id (2/12/2020) mengaku bahwa sejak masih belia ia terbiasa melihat kesulitan-kesulitan hidup rakyat kecil. Bahkan hingga kini kondisi masyarakat kecil Kota Solo tidak banyak berubah. Salah satu problem klasik yang masih ada sampai kini ialah banyak dari kalangan rakyat miskin yang tidak bisa bersekolah atau lanjut sekolah.
“Sudah saya rasakan sejak dulu, sejak waktu lulus SMA jadi lulus SMP jadi SMP saya lulus, kan sering ada yang sekolah ra iso mbayar (tidak bisa membayar). Akhirnya tersingkir dari situ (sekolah),” kata Bagyo.
“Banyak sekali hak-hak masyarakat yang terbelokkan. Sehingga saya maju itu karena itu,” tegasnya.
Bagyo pun merasa prihatin, ia pun mengaku melihat ada keanehan, hampir 75 tahun Indonesia merdeka tapi dalam hal akses pendidikan masih belum belum banyak berubah. Ia tidak ingin jika nasib generasi penerus itu sama seperti dirinya yang juga memiliki hambatan biaya. Mereka dipaksa untuk putus sekolah dan memilih tidak melanjutkan sekolah hanya karena kendala biaya.
“Sekarang saya maju karena itu. Jadi karena penderitaan teman-teman, kudune iso kuliah dadi raisoh kuliah, kudune SMP mau SMA karena (tidak ada) biaya juga itu salah satu (alasan putus sekolah)nya,” tuturnya.
Bagyo menyadari jika banyak pihak merasa ragu akan kapasitas dirinya. Tidak sedikit yang menilainya hanya sebagai calon boneka. Namun ia tidak menepis jika dirinya adalah calon boneka yang lahir dari penderitaan rakyat kecil. Oleh karena itu, ia akan berusaha untuk menampung dan menjadikan aspirasi rakyat sebagai dasar melaksanakan tanggungjawab walikota jika terpilih.
“Saya boneka, tapi bonekanya rakyat nggih. Jangan salah loh bonekanya rakyat karena yang berkuasa itu rakyat,” ujar Bagyo.
“Saya patuh karena saya pelayan, abdi masyarakat. Saya berjuang untuk masyarakat, saya dobrak semuanya” terangnya.
‘Rembug Bareng Kota Solo’
Bagyo mengungkapkan ke depan jika dirinya terpilih sebagai Walikota Solo maka ia akan bekerjasama dengan semua pihak. Seluruh aspirasi warga masyarakat nantinya akan ditampungnya dan dibahas bersama dengan tim ahli yang ada di forum ‘Rembug Bareng Kota Solo’. Sebuah forum yang di dalamnya terdapat beberapa tim ahli dengan latar belakang keilmuan dan keahlian berbeda-beda.
“Rembuk Kota Solo, itu nanti akan mengurai, itu nanti (masalah dan usulan) akan dibahas oleh para tim ahli kita, tokoh-tokoh kita, itu nanti akan mengurai saya itu hanya menjembatani semua ini,” jelas Bagyo.
Ia menuturkan Forum Rembuk Kota Solo rencananya juga akan melibatkan peran aktif para pengusaha-pengusaha lokal di Solo. Mereka diminta untuk turut serta terlibat dalam melakukan pengentasan pengangguran di Solo.
Bagyo menjelaskan berdasarkan pemetaan masalah perkotaan yang ia miliki salah satu permasalahan serius yang dihadapi oleh masyarakat Kota Solo adalah tentang pengangguran.
Ia menyebut berbagai jenis pengangguran mulai dari faktor pendidikan bagi mereka yang tidak bisa lanjut sekolah hingga pengangguran akibat minimnya modal usaha.
Ia menuturkan pula mengenai jumlah pengangguran yang bertambah akibat terdampak Covid-19. Contohnya para pekerja pabrik yang mengalami PHK serta pedagang wedangan yang tidak lagi berjualan.
“Juga ada tentang yatim piatu. Yang pertama adalah yatim piatu yaitu memelihara, itu juga ada pemetaan juga, yang kuliah, atau yang sudah, telah lulus SMA/SMK nanti juga ada bimbingan dan juga pelatihan-pelatihan wiraswasta,” terangnya.
Bagyo juga memberikan kritiknya terhadap penanganan Covid-19 di tingkat bawah. Salah satunya tercermin dari adanya sikap ‘pembiaran’ yang terjadi di pasar-pasar tradisional, dan sering kali berujung pada penutupan pasar-pasar tradisional ketika ada penemuan kasus Covid-19. Bagaimana orang dengan begitu bebasnya bisa memasuki pasar tanpa mengikuti aturan prokes seperti mengukur suhu tubuh para pengunjung pasar.
“Jangan-jangan nanti semua pasar di lockdown semua? Hancur (ekonomi rakyat) dan itu kesalahan dari pemerintah juga,” ungkap Bagyo.
Misi “Sandhang” Bajo
Sementara itu terkait visi-misi Bajo, Bagyo memfokuskan dalam aspek ‘sandhang’. Namun sandhang bagi pasangan Bajo tidak hanya sekedar pakaian, baju yang melekat pada tubuh seseorang melainkan melain sesuatu yang menjadi identitas. Sikap gotong royong, tata krama, sopan santun dalam kehidupan bermasyarakat menurutnya juga termasuk ‘pakaian’ seseorang.
“Terkikisnya budi pekerti yang harus kita kembalikan itu tentang sandhangane wong (pakaiannya orang) Solo,” ujar Bagyo.
Sementara secara fisik, berbagai identitas lokal Kota Solo seperti adanya keraton, taman sriwedari juga merupakan bagian dari yang disebut sandhang. Berikutnya yang tidak kalah penting ialah bagaimana warga masyarakat Solo mencintai dan bangga dengan produk-produk pakaian lokalnya.
Sementara dalam hal pangan, Bajo melakukan beberapa tindakan seperti upaya mengembangkan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Sementara itu di sektor lain terkait industri boga di Kota Solo ialah meminta agar mereka bisa memanfaatkan sumber daya yang ada di Solo. Khususnya kepada restoran dan hotel agar melibatkan anak muda lulusan tata boga.
Penulis: Kukuh Subekti