(IslamToday ID) – Autopsi terhadap enam jenazah laskar FPI yang dilakukan oleh tim dokter forensik di RS Polri Kramat Jati, Jakarta Timur, dianggap tidak netral.
Alasannya, selain karena tak ada izin dari pihak-pihak keluarga, pemeriksaan jasad-jasad korban penembakan polisi di Tol Japek KM 50 tersebut berpotensi menghasilkan kesimpulan yang bias dan melanggar prinsip-prinsip etika forensik.
Ketua Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia (PDFI) Jawa Barat, dr Chevi Sayusman menerangkan autopsi atau pemeriksaan jasad mati, adalah sarana ilmiah dalam sistem investigasi kematian. Menurutnya, autopsi dalam investigasi kematian tidak sama dengan proses penegakan hukum.
Bahkan, katanya, autopsi dalam investigasi kematian diharuskan terpisah dengan proses penegakan hukum. Meskipun dalam proses penegakan hukum suatu kematian membutuhkan kesimpulan dari hasil autopsi, yang menguak ilmiah penyebab pasti tubuh hilang nyawa.
“Dalam text book atau kitab suci forensik, itu dikatakan bahwa tujuan adanya sistem investigasi kematian untuk memisahkan investigasi kematian dari penegak hukum. Dalam hal ini polisi,” kata Chevi dalam diskusi daring “Kupas Tuntas Autopsi Forensik” seperti dikutip dari Republika, Rabu (23/12/2020).
Chevi merupakan dokter forensik dari Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran (Unpad). Dalam diskusi tersebut, ia menilai autopsi yang dilakukan terhadap enam jenazah laskar FPI korban penembakan polisi di Tol Japek KM 50, berpotensi tak netral.
Bukan karena tak adanya izin dari pihak keluarga korban, autopsi tersebut juga dilakukan oleh tim forensik rumah sakit yang berada di bawah institusi Polri, sebagai pihak yang terlibat penembakan.
“Dalam kasus ini, kan ada kaitannya dengan institusi kepolisian. Konflik kepentingannya, tentu ada di kepolisian,” katanya.
Menurut Chevi, semestinya kepolisian dapat meminta izin dari keluarga untuk tetap dapat dilakukan autopsi. Akan tetapi dengan menawarkan autopsi dilakukan oleh tim forensik yang disetujui oleh pihak keluarga.
“Seharusnya investigator untuk melakukan autopsi ini dari pihak yang netral. Dalam hal ini, mungkin otoritas yang disetujui oleh keluarga. Seharusnya seperti itu. Dari sisi prinsip, sisi etika, dari sisi aturan seharusnya itu yang dikedepankan,” kata Chevi.
Karena, menurutnya, selain melanggar prinsip profesionalitas forensik, autopsi yang dilakukan otoritas terlibat kematian tersebut, akan menghasilkan kesimpulan yang berpotensi bias.
“Karena yang paling dirugikan dalam kasus ini, tentu saja polisi sendiri. Artinya, akan ada kecurigaan dan ada dugaan,” ujarnya.
Chevi mencontohkan penegakan hukum atas kematian dari malpraktik rumah sakit. Menurutnya, etika dan prinsip forensik memastikan autopsi dilakukan oleh tim di luar otoritas rumah sakit yang diduga melakukan malpraktik tersebut.
“Kalau yang memeriksanya (autopsi) adalah pihak rumah sakit itu sendiri, bagaimana bisa dipercaya oleh pihak lainnya,” katanya.
Sebab itu, ia menyarankan agar dalam penegakan hukum atas satu kematian yang membutuhkan kesimpulan ahli autopsi, seharusnya dengan mengandalkan investigator penyebab kematian, yang tak ada kaitannya dengan otoritas penegakan hukum.
Semua Mengarah ke Jantung
Enam anggota laskar FPI ditembak mati oleh anggota kepolisian di Tol Japek KM 50 saat menghalau upaya pengintaian Habib Rizieq Shihab (HRS) pada hari Senin (7/12/2020) dini hari. Sekretaris Umum DPP FPI Munarman pernah mengatakan, dari hasil observasi jenazah langsung saat dimandikan, terdapat 19 luka lubang yang diduga bekas peluru tajam pada semua jenazah.
“Luka tembaknya ini, semua mengarah ke bagian jantung korban. Dan lebih dari satu tembakan. Satu orang minimal dua tembakan. Ada yang tiga, ada yang empat tembakan. Dan semua tembakan itu, setelah kita lihat secara fisiknya, kita melihat di bagian dada, di jantung,” kata Munarman.
Tak cuma bekas lubang peluru, Munarman juga mengatakan kondisi enam jenazah tampak mengalami lebam-lebam yang diduga bekas penyiksaan. Seperti terkelupasnya lapisan kulit dan pembengkakan di bagian kemaluan dan wajah beberapa jenazah.
Keenam jenazah korban penembakan tersebut, setelah insiden sempat dibawa ke RS Polri, Kramat Jati. Pihak keluarga tak diizinkan mengambil langsung enam jenazah itu lantaran kepolisian menghendaki autopsi. Akan tetapi, keluarga tak memberikan izin.
Namun kepolisian, tetap meminta tim forensik RS Polri melakukan autopsi. Setelah tim dokter forensik kepolisian melakukan autopsi pada hari Selasa (8/12/2020) malam, pihak keluarga baru dibolehkan membawa pulang jenazah untuk dimakamkan pada hari Rabu (9/12/2020).
Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri, Brigjen Andi Rian pernah menjelaskan autopsi enam jenazah laskar FPI di RS Polri tetap dilakukan meskipun tanpa izin keluarga. Karena, menurutnya, autopsi tersebut dilakukan untuk proses penyelidikan dan penyidikan insiden penembakan tersebut.
Andi Rian meyakinkan penyidikan diperlukan karena penembakan yang dilakukan anggota kepolisian atas respons serangan yang dilakukan laskar FPI. Menurutnya, para laskar pengawal HRS sebelum aksi mematikan itu, melakukan penyerangan dengan menggunakan senjata tajam dan senjata api terhadap anggota kepolisian.
“Proses visum dan autopsi dilaksanakan sesuai ketentuan dan SOP oleh dokter forensik RS Polri Kramat Jati. Itu dilakukan jelas untuk kepentingan penyelidikan dan penyidikan,” katanya, Rabu (9/12/2020).
Dugaan serangan terhadap anggota kepolisian tersebut, yang menurut Kabareskrim Komjen Listyo Sigit Prabowo, dikuatkan dengan hasil autopsi RS Polri atas temuan jelaga bubuk mesiu yang berserak di tangan beberapa jenazah.
“Ditemukan penggunaan senjata api dengan didapat jelaga di tangan pelaku (jenazah laskar FPI),” kata Listyo Sigit, Kamis (10/12/2020).
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pekan lalu menyatakan akan meminta keterangan dari Kabareskrim terkait autopsi enam jenazah laskar FPI. Dokter yang melakukan autopsi juga dipanggil.
“Tim penyelidikan Komnas HAM hari ini telah melayangkan surat panggilan kepada Kabareskrim untuk meminta keterangan tambahan terkait proses autopsi,” ujar Ketua Tim Penyelidikan Komnas HAM, Choirul Anam, Rabu (16/12/2020).
Sehari kemudian, Anam mengungkap ada perbedaan keterangan anggota keluarga dengan pihak dokter yang melakukan autopsi terhadap enam jenazah anggota laskar FPI. Ia menyebut perbedaan itu berkaitan dengan kondisi jenazah yang diterima keluarga dengan kondisi saat diautopsi dokter.
“Salah satunya jamnya, tubuhnya. Jadi kalau misalnya jamnya antara mayat, atau jenazah yang umurnya satu jam dengan yang umurnya satu hari pasti jenazahnya berbeda, posisinya berbeda, apakah sudah keluar lebam mayat ataukah tidak pasti berbeda,” terang Anam.
Kedua, terkait kondisi tubuh. Bila di dalam tubuh terdapat banyak kandungan makanan tertentu yang mempengaruhi nutrisi, gizi, situasi, alam, dan sebagainya itu akan mempengaruhi model dan perubahan-perubahan di jenazah.
“Oleh karenanya memang kalau ditanya apakah ada perbedaan antara satu dengan yang lain, harusnya berbeda, kalau tidak berbeda malah aneh,” pungkas Anam. [wip]