(IslamToday ID) – Pendiri Media Kernels Indonesia atau yang dikenal dengan Drone Emprit, Ismail Fahmi membuat analisa menarik terkait pembicaraan atau percakapan civitas akademika dari tiga perguruan tinggi ternama Indonesia dengan Amerika Serikat (AS) di media sosial.
Tiga perguruan tinggi Indonesia itu adalah Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM), dan Institut Teknologi Bandung (ITB). Sedangkan tiga universitas terkemuka AS adalah MIT, Harvard University, dan Stanford University.
Civitas akademika di sini yang dimaksud adalah mahasiswa, dosen, peneliti, dan alumni. Lalu apa perbedaan pembicaraan atau percakapan di jejaring media sosial mereka?
Menurut Fahmi, isu-isu yang didiskusikan oleh civitas akademika MIT, Harvard University dan Stanford University di AS adalah #AI, #ArtificialIntelliegence, #MachineLearning, #HealthTech
#Robot, #DataScience, #Medical, #BigData, #ClimateChange, #Cancer, #StartUp, dan lain-lain.
Sedangkan isu-isu yang dibicarakan oleh civitas akademika tiga universitas terkemuka di Indonesia, yakni UI, UGM dan ITB adalah #HTIormasTERLARANG, #TurunkanSoeharto, #PetisiAlumniITB, #AlumniITBAntiRadikalisme, #SahabatFardjroel, #JokowiMUNDUR, #UGMAntiPerbedaan, #DollarNaikJokowiTurun, #2019GantiPresiden, dan lain-lain.
Berdasarkan isu-isu yang dibicarakan itu, bisa dianalisa terkait kecenderungan. Fahmi mengatakan bahwa civitas akademika di tiga perguruan tinggi di AS lebih fokus pada sains, teknologi, humaniora, dan masalah besar yang sedang terjadi dan terkait dengan keilmuan mereka. Kontribusi ini sangat diharapkan dari perguruan tinggi dan civitas akademikanya.
Sementara itu, lanjut Fahmi, civitas akademika di tiga perguruan tinggi di Indonesia fokusnya terpecah. Sebagian besar dari mereka terbawa atau dibawa ke ranah politik dan kekuasaan. Sedangkan fokus pada keilmuannya menjadi berkurang.
“Indonesia akan maju jika perguruan tinggi dan civitas akademikanya bisa berkontribusi memecahkan berbagai masalah dalam masyarakat dengan ilmunya,” ujar Fahmi, Rabu (10/2/2021).
Sementara itu, Direktur Institut Perubahan Sosial (IPS), Yusdi Usman mengatakan bahwa dirinya tidak terkejut dengan kondisi yang dipaparkan Drone Emprit itu. Polarisasi politik yang terjadi sejak tahun 2014 membuat civitas akademika kita ikut terseret yang hingga kini belum berkesudahan.
“Saya ikuti diskusi di beberapa grup medsos UGM dan UI, dan memang demikian kecenderungannya,” katanya sambil berharap kondisi ini hanya fenomena sementara.
Apakah di AS baik-baik saja? Yusdi menjawab tidak juga. Negeri Paman Sam itu juga mengalami polarisasi politik berbasis ras. Namun, ia melihat bahwa cara civitas akademika AS dalam merespons polarisasi politik cenderung lebih dewasa. Fokus keilmuan civitas akademikanya tetap kuat saat mereka berinteraksi di media sosial. [wip]