(IslamToday ID) – Kasus mengeruk batubara dari dalam perut bumi tanpa izin di Kalimantan masih merajalela. Tanpa memperhatikan aspek kerusakan lingkungan dan dampak sosial, kegiatan merugikan negara ini terus berulang.
Baik di wilayah umum maupun di dalam konsesi perusahaan pertambangan. Baru-baru ini kegiatan pertambangan diduga ilegal kembali menyeruak. Namun, beberapa temuan itu seakan menguap begitu saja.
Tidak terlihat tindakan serius terhadap dugaan pelanggaran-pelanggaran yang terjadi. Termasuk temuan dugaan pertambangan ilegal di belakang Sekretariat Bawaslu Kalimantan Timur (Kaltim) pada September 2019 lalu.
Walhasil dalang di balik dugaan tambang ilegal itu masih melenggang bebas. Melihat beberapa temuan tersebut, Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim Pradarma Rupang angkat bicara.
Menurutnya, pemerintah dan aparat penegak hukum tidak serius mengungkap kasus kejahatan lingkungan. Bahkan terkesan seakan menutup diri. Sebab, dari beberapa kasus yang menyeruak, tidak ada kejelasan dan sanksi hukum yang menjerat para penjahat lingkungan.
“Ini merupakan rapor merah bagi pemerintah daerah dan aparat penegak hukum. Mereka ini terkesan masa bodoh. Jadi mafia-mafia tambang masih bebas,” kata Rupang seperti dikutip dari Bontang Post, Senin (15/2/2021).
Modus yang kerap digunakan pun tidak berubah. Berpura-pura melakukan pematangan lahan, namun ikut mengeruk batubara dari perut bumi Borneo. Modus yang kerap serupa, namun tetap kecolongan inilah yang membuat Rupang semakin dibuat geleng kepala.
Pengawasan belum juga maksimal dan tidak dapat menjerat para pelaku penambang ilegal. Padahal, menurutnya, telah jelas melanggar UU No 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba.
“Pemindahan batubara itu sudah masuk dalam pidana pertambangan. Deliknya ada di pasal 158. Tidak memiliki izin penjualan maupun angkut. Atas dasar itu seharusnya bisa disanksi,” terangnya.
Rupang juga mempertanyakan kinerja Polresta Samarinda selama ini. Selain mengusut pengungkapan tambang ilegal, Korps Bhayangkara juga seharusnya menyelesaikan kasus-kasus lainnya yang masih mengambang.
“Ini yang jadi pertanyaan. Kita sayangkan kinerjanya soal lingkungan masih minimalis. Pertanyaannya adalah seserius apa kepolisian kita menindak tuntas?” kata Rupang.
Menurutnya, polisi seharusnya dapat menjadi ujung tombak di tengah lemahnya pengawasan tambang. Ia juga menilai pemerintah daerah tidak memiliki kemampuan dalam menindak kasus pertambangan.
“Problemnya para pemimpin yang bisa memberikan diskresi ini malah masa bodoh. Di lain pihak, kita juga menuntut kinerja kepolisian,” tukasnya. [wip]