(IslamToday ID) – Pemerintah akan segera menyusun pedoman interpretasi resmi terhadap Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Rencana itu disampaikan oleh Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G Plate, Selasa (16/2/2021).
Menanggapi itu, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu mengatakan pemerintah seharusnya mencabut pasal-pasal karet, bukan membuat pedoman interpretasi.
“Pemerintah seharusnya mencabut seluruh pasal-pasal yang dinilai bermasalah dan rentan disalahgunakan akibat penafsiran yang terlalu luas,” kata Erasmus dalam keterangan tertulis seperti dikutip dari Kompas, Jumat (19/2/2021).
Ia menjelaskan dalam UU ITE pengaturan tentang tindak pidana pada ekspresi seperti penghinaan, perbuatan menyerang kehormatan seseorang, dan ujaran kebencian, samar pemenuhan unsur pidananya dan subjektif penilaiannya.
“Kualifikasi sebuah perbuatan dianggap sebagai tindak pidana pada ekspresi sangat sulit memiliki standar interpretasi yang tegas dan memiliki kepastian hukum,” kata Erasmus.
Ia menilai penetapan pedoman interpretasi itu justru membuka ruang-ruang baru praktik kriminalisasi.
“Oleh karena itu pembuatan pedoman interpretasi resmi terhadap UU ITE merupakan langkah yang tidak menyelesaikan akar permasalahan, justru berpotensi membuka ruang interpretasi lain yang tidak mustahil lebih karet dibandingkan pasal-pasal UU ITE sendiri,” tuturnya.
Selain itu, Erasmus menjelaskan bahwa tidakan pidana terkait ekspresi tidak hanya diatur dalam UU ITE, tapi juga dalam undang-undang lain.
Ia mencontohkan seperti pidana kasus defamasi yang diatur dalam Pasal 310 dan 31 KUHP, penodaan agama dalam Pasal 156a KUHP, penyebaran berita bohong pada Pasal 14 dan 15 UU No 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
“Ketentuan pemidanaan berbagai peraturan tersebut juga punya permasalahan yang sama dengan UU ITE, yaitu tidak adanya standar yang jelas dan penilaian subjektif pada terpenuhinya perbuatan pidana itu,” katanya.
“Rencana pembuatan pedoman interpretasi pada UU ITE menjadi langkah keliru, karena dengan logika yang sama seharusnya semua ketentuan pemidanaan kepada ekspresi dibuatkan pedoman yang serupa,” tambah Erasmus.
Ia menduga penyusunan pedoman interpretasi UU ITE nantinya tidak akan berdampak pada ruang kebebasan sipil, tapi justru mengancam budaya demokrasi.
“Ketentuan tindak pidana pada ekspresi ini telah membungkam dan memakan banyak korban, juga menciptakan budaya saling lapor melapor di masyarakat. Hal ini bukan situasi ideal dalam kehidupan demokrasi di sebuah negara,” pungkasnya. [wip]