ISLAMTODAY ID — Ketidakadilan hukum bagi rakyat kalangan menengah kebawah seolah tak ada habisnya. Terutama mengenai konflik agraria yang terjadi di beberapa kawasan hutan.
Seperti dilansir dari BBC News Indonesia, Dari tahun 2016 sudah ada 57 petani dan warga adat yang berurusan dengan hukum lantaran memiliki konflik agraria. Tak hanya itu pasal-pasal dalam UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H) juga turut menjerat mereka.
Undang-Undang No.18/2013 atau UU P3H dinilai menjadi senjata yang terus menyerang petani di kawasan hutan. Seperti contohnya kasus yang dialami oleh tiga petani di Desa Ale Sewo, Soppeng pada Januari 2020 lalu. Mereka divonis bersalah karena telah menebang pohon jati yang ditanam keluarga mereka.
Mereka pun tak menduga pohon jati yang ditebangnya membawanya ke ranah hukum, lantaran aparat hukum mengeklaim kawasan tempat mereka menebang pohon masuk dalam kawasan hutan lindung sehingga terlarang untuk ditebang pada tahun 2016 silam. Padahal, menurut kesaksian para petani, orang tua mereka menanam bibit pohon jati itu bertahun-tahun sebelum negara menjadikan tanah leluhur mereka sebagai hutan lindung.
“Kenapa baru saat itu disampaikan bahwa kebun itu masuk hutan lindung. Dari dulu itu bukan hutan lindung,” ujar Ario, Selasa (23/02).
Tak Disosialisasikan Pemerintah
Kasus hukum yang menimpa warga di desa Ale Sewo, tentu membuat was-was warga di desa tersebut. Sebab sebagian dari mereka tak mengetahui terkait batasan kawasan hutan lindung. Mereka juga mengakui bahwa pemerintah tidak pernah mensosialisasikan batas hutan lindung pada warga yang tinggal di kawasan hutan tersebut.
Salah satu warga bernama Sidu, warga Ale Sewo mengatakan tak pernah melihat dinas kehutanan berada di kawasan mereka.
“Saya tidak pernah melihat orang dinas kehutanan di daerah ini, tapi sekarang mereka klaim semuanya sebagai hutan lindung. Saya tidak tahu karena pemerintah tidak pernah kasih tahu apa pun. Tidak pernah. Sekarang tiba-tiba ada masalah,” jelas Sidu.
Pada Juli 2016, Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar telah menerbitkan surat keputusan tentang penunjukan kawasan hutan di Sulawesi Selatan seluas 2,7 juta hektare. Penunjukan itu lalu diikuti surat penetapan yang juga diteken tahun 2019.
Merujuk surat keputusan tersebut, hutan lindung di wilayah Soppeng terbentang seluas 45,9 ribu hektare dan dikelola oleh KPH Walanae.
Perkampungan dan ladang warga ada yang dimasukkan ke kawasan hutan itu, tanpa proses negoisasi dan sosialisasi, jelas Roni Septian Maulana, Kepala Divisi Advokasi Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).
“Proses penunjukan dan penetapan kawasan hutan itu tidak dilakukan secara partisipatif. Masyarakat tidak pernah dilibatkan, di mana sih sebenarnya batas-batas hutan. Jadi proses itu berpotensi memunculkan penggusuran, perampasan tanah, dan kriminalisasi,” pungkas Roni.
UU P3H Harusnya Jerat Korporasi
Meninjau kembali kasus yang sama di tahun 2017, tiga petani Sahidin, Jamadi, dan Sukardi di Soppeng juga terjerat kasus yang sama. Ketiganya ditahan 150 hari dan dibebaskan tahun 2018.
Dalam putusann majelis hakim Pengadilan Negeri Watansoppeng ketika itu menyatakan jaksa tidak semestinya menjerat petani dengan UU P3H. Alasannya, aturan itu ditujukan untuk perusakan hutan yang dilakukan secara terorganisir.
KPA bersama tiga guru besar ilmu hukum, yaitu Profesor Maria Sumardjono, Profesor Achmad Sodiki, dan Profesor Hariadi Kartodihardjo, mengingatkan hakim agar merujuk putusan bebas itu saat mengadili Ario, Natu, dan Sabang.
“Sebenarnya dalam pasal 1 dan 11 UU P3H mengecualikan, bahwa pemidanaan tidak berlaku untuk masyarakat adat atau petani yang telah bermukim di kawasan hutan dan tidak menebang kayu untuk bisnis seperti korporasi yang menebang ribuan hektare lahan,” jelas Roni, Kepala Advokasi KPA.
Hukum Jangan Represif
Pakar Hukum Pidana, Dr. Muhammad Taufiq turut mengomentari kasus tersebut, ia menilai bahwa hukuman yang menimpa para petani di kawasan hutan merupakan tindakan yang tidak masuk akal.
“Lalu bagaimana mungkin petani memiliki tanah secuil dan itu sudah turun-temurun tiba-tiba dimasukkan hutan lindung . Saya melihat hakimnya tidak belajar ilmu hukum modern. Masa tanah leluhurnya yang sudah bertahun-tahun bahkan untuk orang tuanya sudah berusia 76 tahun tiba-tiba muncul peraturan 2017 bisa menghabisi tanah mereka , itu tidak masuk akal” ujar Taufiq, saat dihubungi IslamToday, Jumat (26/2).
Taufiq juga menerangkan bahwa aliran hukum yang digunakan untuk menjerat para petani tersebut adalah aliran hukum Represif atau hukum yang bersumber pada kekuasaan. Ia meminta kepada penegak hukum agar melihat hukum sesuai dengan keadilan masyarakat bukan hukum yang bersumber pada penguasa.
“kalau yang dipraktekan ini adalah hukum Represif, hukum yang bersumber pada penguasa, tetapi itupun dilakukan dengan cara-cara yang salah” tandasnya.
Penulis: Kanzun Dinan