(IslamToday ID) – Kisah kelam Tan Hok Liang alias Anton Medan sebagai preman kelas kakap di Indonesia memang patut untuk diambil pelajaran. Anton Medan diketahui sudah bergelut dengan dunia hitam sejak usia 12 tahun.
Ia sudah bolak-balik keluar masuk penjara karena kasus perampokan, judi, dan aksi premanisme lainnya. Kini, dunia hitam itu tinggal kenangan. Anton Medan memutuskan insaf dari segala macam jenis kejahatan. Pria kelahiran Sumatera Utara itu kini lebih dikenal bukan sebagai preman, tapi penceramah dari masjid ke masjid.
Anton Medan memutuskan berhenti dari dunia hitam ketika mendekam di dalam penjara. Perjalanannya sebagai preman berhenti setelah mendapatkan hidayah dan masukan dari sesama narapidana di Lapas.
Setelah hijrah, Anton Medan pun akhirnya resmi memeluk agama Islam. Pengucapan dua kalimat Syahadat itu pun disampaikan di hadapan (alm) KH Zainudin MZ pada tahun 1992 silam.
Anton Medan sejak usia 12 tahun memang sudah merantau ke Tebing Tinggi. Ketika itu, ia sudah menjadi tulang punggung keluarga dan putus sekolah.
Anton Medan menjadi anak jalanan dengan bekerja sebagai calo di Terminal Tebing Tinggi. Tugasnya membantu sopir bus untuk mencari penumpang. Singkat cerita, suatu hari Anton Medan cek-cok dengan salah satu sopir bus.
Ia telah mencarikan penumpang namun tak diberikan upah atas kerjanya itu. Karena terpancing emosi, Anton Medan memukul sopir itu dengan balok.
Kejadian itu untuk pertama kalinya menyeret Anton Medan berurusan dengan pihak kepolisian. Setelah kejadian itu, ia kembali ke Kota Medan. Peristiwa serupa pun terjadi, setelah dipukuli oleh beberapa sopir bus, Anton Medan akhirnya membalas dengan sabetan parang yang membuat salah satu sopir tewas.
Anton Medan pun harus mendekam di penjara selama empat tahun. Jeruji besi memberikan kenyataan yang pahit untuk dirinya. Selama bertahun-tahun, Anton Medan hanya dijenguk satu kali oleh keluarganya.
Setelah melewati masa hukuman, Anton Medan pun kembali ke rumahnya. Tetapi, ia merasa keluarganya tidak menerimanya lagi yang notabene sebagai narapidana.
Akhirnya, Anton Medan mengambil keputusan besar untuk merantau ke Jakarta beradu nasib. Awalnya, ia ke Ibukota dengan tujuan mencari alamat pamannya di daerah Mangga Besar, Jakarta Barat. Tapi bukannya disambut, pamannya itu malah mengusirnya.
Kekecewaan mendalam dan merasa sebatang kara membuat Anton Medan marah. Masa depannya dianggap telah usai. Perjalanannya menjadi penjahat kelas teri pun dimulai dari rangkaian itu.
Awal mula kriminalitas yang dilakukan Anton Medan adalah menjadi seorang penjambret. Merasa tak cukup, ia lambat laun berubah menjadi seorang perampok.
Semua itu dilakukan Anton Medan lantaran keadaan dan situasi yang mendorongnya menjalani aktivitas sebagai seorang kriminal.
Anton Medan pun mulai mengepakkan sayapnya ke dunia perdagangan obat-obatan terlarang. Dari modal itu, ia akhirnya menjadi bandar judi.
Dengan segala kejahatan yang dirintisnya, akhirnya orang di sekitarnya menjulukinya dengan panggilan Anton Medan, sang penjahat kelas kakap yang keluar masuk penjara.
Tapi semua itu tinggal cerita dan kenangan. Kini, Anton Medan adalah sosok yang ikut membantu menegakkan hukum dan menumpas kejahatan.
Kejamnya hidup membuat ia tersadar. Proses pencarian Tuhan pun menjadikannya pribadi yang agamis dewasa ini. Anton Medan pun mendirikan Majelis Taklim Atta’ibin untuk menampung para mantan narapidana dan pengangguran agar tidak terjebak ke dunia kejahatan.
Menurut Sosiolog Universitas Nasional (Unas) Sigit Rochadi, insafnya para preman kelas kakap dapat dikategorikan dalam beberapa faktor.
“Preman insyaf disebabkan oleh beberapa faktor. Telah terpenuhinya kebutuhan ekonomi, minimal telah menemukan jalan memenuhinya,” kata Sigit seperti dikutip dari Okezone, Selasa (16/3/2021).
Selain itu, kata Sigit, faktor keluarga juga bisa menjadikan seorang penjahat memutuskan untuk bertaubat dan kembali ke jalan yang benar.
“Telah berkeluarga dan tidak menginginkan keluarganya rusak baik karena reputasi yang bersangkutan atau takut masa depan anaknya. Tidak tumbuhnya regenerasi kepemimpinan, sehingga para anggota menarik diri ke kehidupan normal,” tutup Sigit. [wip]