(IslamToday ID) – Perwakilan Ombudsman RI di Aceh menggelar rapat tentang persoalan IPAL di Gampong Pande dan alternatif solusi dengan Pemkot Banda Aceh dan seluruh stakeholder pada hari Senin (19/4/2021).
Rapat dihadiri antara lain oleh unsur Ombudsman, Pemkot Banda Aceh dan berbagai pihak terkait, termasuk dihadiri oleh Darud Donya, Mapesa, dan lainnya.
Di dalam rapat tersebut Darud Donya menyampaikan beberapa materi pokok, antara lain bahwa sudah banyak diadakan penelitian di kawasan bersejarah Istana Darul Makmur Kuta Farusah Pindi Gampong Pande. Peta-peta zaman dulu juga menunjukkan pentingnya kawasan Gampong Pande sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Aceh Darussalam, bernama Bandar Aceh Darussalam.
Hal ini ditegaskan juga oleh hasil penelitian Tim Terpadu Penelitian Lokasi Pembangunan IPAL Kota Banda Aceh tahun 2017, yaitu tim yang dibentuk secara resmi oleh Walikota Banda Aceh dengan Keputusan Walikota Banda Aceh No 401 Tahun 2017. Hasil penelitian itu dipresentasikan di hadapan walikota dan pemangku kepentingan lainnya pada tanggal 22 November 2017 di Kantor Walikota Banda Aceh.
Hasil penelitian resmi tim bentukan walikota itu membuktikan bahwa di area IPAL terdapat singkapan struktur-struktur bangunan kuno, juga terdapat benda-benda arkeologis lainnya, dan ditemukan berbagai macam artefak juga makam-makam dengan nisan-nisan kuno dan lain-lain.
Hasil kajian tim tersebut menyatakan bahwa dari observasi dan identifikasi maka disimpulkan bahwa lokasi IPAL adalah situs arkeologi. Sebagai situs arkeologi maka lokasinya menjadi situs cagar budaya, dan benda-benda kuno yang berada di dalamnya menjadi benda cagar budaya yang dilindungi undang-undang dari pemusnahan.
Walaupun belum diusulkan sebagai situs dan benda cagar budaya lalu ditetapkan menjadi aset negara, benda-benda kuno beserta lokasinya ini merupakan warisan budaya dari masa lampau yang mempunya nilai dan arti yang penting.
Dengan demikian, bukan berarti dengan begitu saja dapat dimusnahkan dengan alasan apapun. Lokasi IPAL merupakan bagian integral dari “wilayah inti” Kesultanan Aceh Darussalam. Demikian hasil kajian resmi tim bentukan walikota Banda Aceh.
Darud Donya juga mengingatkan mengenai UU No 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Salah satunya pasal 31, ayat 5 serta penjelasannya, menjelaskan bahwa perlakuan terhadap situs/kawasan situs yang telah ditetapkan sebagai cagar budaya maupun yang diduga sebagai situs/kawasan situs cagar budaya adalah mendapat perlakuan yang sama.
Hal ini berlaku bagi benda, bangunan, struktur, atau lokasi kawasan yang dianggap telah memenuhi kriteria sebagai cagar budaya, yaitu dilindungi dan diperlakukan sebagai benda dan/atau kawasan cagar budaya sesuai UU No 11 Tahun 2010. Apalagi IPAL terletak di Zona Inti II. Pembangunan proyek IPAL di Zona Inti jelas bertentangan dengan UU Cagar Budaya.
Dalam rapat di Ombudsman, Ketua MPU Banda Aceh menyampaikan ada tiga kerajaan besar di dunia yang menghadap ke laut yakni Maroko, Turki, dan Aceh. Ini menandakan bahwa Aceh adalah negara besar pada zamannya. Sehingga jika membangun proyek IPAL di kawasan titik nol Kesultanan Aceh tentu akan memunculkan kemarahan para keturunan habib dan keturunan sultan, keturunan ulama, dan masyarakat lainnya.
Ketua MPU Banda Aceh juga mengingatkan bahwa makam tidak boleh dihancurkan, barang siapa merusak tulang manusia saat mati maka sama saja merusak dan menyakitinya semasa hidup. Bahkan beliau mengutip Hadist Rasulullah SAW.
“Memecahkan tulang mayat sama saja dengan memecahkan tulang manusia saat dia hidup.” (HR Abu Dawud dan Ahmad).
Maka terkait IPAL, Ketua MPU Banda Aceh menyatakan bahwa MPU Banda Aceh dapat menerbitkan tausiyah.
Sebelumnya, MPU Banda Aceh telah mengeluarkan fatwa, yaitu Fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh No 5 Tahun 2020 tentang Pemeliharaan Situs Sejarah dan Cagar Budaya Dalam Perspektif Syari’at Islam. “Hukum menghilangkan, merusak, mengotori, dan melecehkan nilai-nilai cagar budaya Islami adalah haram.”
Maka MPU Banda Aceh meminta kepada Pemkot Banda Aceh untuk melestarikan dan tidak menggusur situs sejarah dan cagar budaya dalam rangka pembangunan di Aceh.
Nisan Orang Berpengaruh
Arkeolog Husaini Ibrahim yang hadir di rapat Ombudsman mengatakan bahwa nisan di kompleks IPAL adalah nisan orang berpengaruh pada zamannya.
“Bisa jadi nisan ulama, sultan, raja, atau tokoh petinggi Kerajaan Aceh. Menurut Husaini, yang sekarang jadi persoalan adalah image pada masyarakat Aceh, sebab makam dikotori dengan tinja manusia, karena makam sangat dihargai oleh bangsa Aceh. Apalagi itu adalah makam indatu kita semua, maka perlu adanya solusi penyelesaian,” ungkapnya.
Dalam rapat Ombudsman, Darud Donya menyatakan bahwa solusi permasalahan IPAL adalah relokasi IPAL, menghentikan pembangunan proyek IPAL di Gampong Pande, Banda Aceh, dan memindahkannya ke lokasi yang lain.
Darud Donya juga meminta diadakan penelitian ilmiah yang komprehensif dan profesional, dan bukan atas dasar kepentingan proyek di kawasan makam para raja dan ulama. Penelitian ilmiah sudah banyak dilakukan para ahli tentang titik nol Kesultanan Aceh Darussalam yang berada di Gampong Pande, maka sudah selayaknya proyek IPAL dipindahkan.
Dalam rapat di Ombudsman ternyata terungkap adanya indikasi beberapa pelanggaran terkait proyek IPAL, di antaranya adalah bahwa sampai saat ini Pemkot Banda Aceh tidak dapat menunjukkan dokumen Amdal proyek IPAL yang mulai dibangun beberapa tahun lalu di Gampong Pande itu.
Terindikasi pula di dalam rapat bahwa saat pembebasan tanah kawasan IPAL adalah untuk tujuan penghijauan RTH (Ruang Terbuka Hijau) berupa Kawasan Lindung Gampong Pande. Namun di kemudian hari ternyata digunakan untuk dibangun proyek IPAL.
Hal ini semakin menguatkan temuan pelanggaran fatal yang ditemukan oleh Tim Terpadu Penelitian Lokasi Pembangunan IPAL Kota Banda Aceh, yaitu tim yang dibentuk secara resmi oleh Walikota Banda Aceh, dengan Keputusan Walikota Banda Aceh No 401 Tahun 2017, yang menyatakan bahwa terkait pembelian lokasi IPAL, ditemukan informasi dalam administrasi pembelian lahan IPAL dilakukan atas nama Gampong Pande.
Pembelian lahan IPAL dilakukan sejak tahun 2005, sebelum tahun 2005 terdapat sebaran makam-makam kuno cagar budaya, dan pemilik lahan mengetahui akan keberadaan makam-makam kuno cagar budaya tersebut. Untuk mencegah komplain di kemudian hari, pihak terkait secara sepihak menempatkan lokasi IPAL yang sebelumnya Gampong Pande ke Gampong Jawa.
Lokasi IPAL terletak dalam wilayah administratif Gampong Pande, dimana proses pelepasan tanah serta transaksi jual beli tanah dari warga dilaksanakan oleh pemerintah Gampong Pande.
Namun pada saat pelaksanaan proyek IPAL, nyaris tidak lagi melibatkan pemerintah Gampong Pande, tetapi melibatkan pemerintah Gampong Jawa, padahal wilayah tersebut terletak di dalam wilayah administratif Gampong Pande, bahkan proyeknya pun bernama “Proyek Pembangunan IPAL Gampong Jawa”.
Dalam konferensi pers warga Gampong Pande di depan puluhan awak media, yang dilakukan di kantor Keuchik Gampong Pande pada tanggal 29 Agustus 2017, terungkap fakta bahwa pada saat pembelian tanah, kepada masyarakat Gampong Pande disampaikan bahwa tanah ditujukan untuk kepentingan penghijauan dan perlindungan situs, sehingga warga mau melepas tanahnya. Setelah dibeli maka lahan ditimbun termasuk menimbun situs-situs makam kuno tersebut.
Ternyata, di kemudian hari beralih menjadi proyek IPAL untuk pengolahan air limbah tinja manusia. Warga Gampong Pande sangat keberatan dengan adanya proyek IPAL tersebut, karena dibangun di Gampong Pande yaitu Kawasan Lindung Desa Wisata yang berisi ribuan situs sejarah makam para ulama dan raja-raja.
Hal ini dikuatkan dengan permintaan Keuchik Gampong Pande melalui suratnya kepada Walikota Banda Aceh No 400/29/2017 tanggal 6 September 2017 yang menyampaikan antara lain, bahwa TPA Sampah dan IPAL adalah masuk ke dalam wilayah administratif Gampong Pande dan pemerintah diminta untuk melindungi, menjaga dan melestarikan situs sejarah yang ada di seluruh Gampong Pande. Pemerintah juga diminta untuk membangun Gapura Batas Gampong Pande dengan Gampong Jawa.
Penamaan proyek “Pembangunan IPAL Gampong Jawa” dan pengurusan administrasi pembangunan IPAL yang juga dilaksanakan ke pemerintah Gampong Jawa, padahal lokasi proyek IPAL berada dalam wilayah administratif Gampong Pande, adalah termasuk administrasi pemerintahan yang tidak tepat, bahkan merupakan kebijakan yang menyimpang.
Ahmad Nawawi, Ketua Forum Masyarakat Penyelamat Situs Sejarah Gampong Pande (FORMASIGAPA) yang juga anggota Tuha Peut Gampong Pande menyatakan, bahwa masyarakat Gampong Pande bukan menolak pembangunan pemerintah. Tapi, menolak pembangunan yang dilakukan di atas kawasan makam bersejarah.
Sejak 2015 Pemkot Banda Aceh tak pernah melibatkan atau bermusyawarah dengan masyarakat Gampong Pande terkait pembangunan IPAL.
Safaruddin Tuha Peut Gampong Pande yang juga pengurus FORMASIGAPA menyatakan bahwa pasca Tsunami 2004, ada pembebasan lahan di Gampong Pande untuk dijadikan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah.
Saat itu aparatur desa dan masyarakat Gampong Pande tidak setuju. Akhirnya, pihak Pemkot Banda Aceh saat itu meminta dukungan dan persetujuan melalui otoritas di Gampong Jawa. “Dari dulu kami tidak pernah setuju dibangun TPA dan IPAL di lokasi makam raja-raja itu,” kata Safaruddin.
Ia menjelaskan bahwa sebelum pembangunan proyek IPAL dimulai, lokasi yang akan digunakan terlebih dulu ditimbun dengan tanah. Sebelum proyek itu dikerjakan, para tokoh Gampong Pande sudah mengingatkan Walikota Banda Aceh bahwa di lokasi tersebut banyak makam-makam ulama dan raja-raja. “Semua makam waktu itu ditimbun, di lokasi pembangunan IPAL sekarang,” ujar Safaruddin.
“Sebaiknya walikota dan jajarannya berhentilah mencari segala cara untuk membuang tinja di makam ulama, patuhi peraturan perundang-undangan dan hormatilah kearifan lokal Aceh. Pakailah akal sehat dan hati nurani. Jagalah marwah, harkat dan martabat bangsa Aceh!” tegas Cut Putri, Pemimpin Darud Donya. [wip]