(IslamToday ID) – Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) akan mulai membantu membuatkan KTP elektronik (e-KTP) untuk transgender. Hal ini karena di lapangan masih banyak transgender tanpa dokumen kependudukan.
Sebagaimana keterangan pers Pusat Penerangan Kemendagri, Sabtu (24/4/2021), langkah Kemendagri membantu pembuatan e-KTP untuk transgender disampaikan lewat rapat virtual Direktorat Jenderal Pencatatan Sipil (Ditjen Dukcapil) Kemendagri dengan Perkumpulan Suara Kita.
“Dukcapil seluruh Indonesia akan membantu teman-teman transgender untuk mendapatkan dokumen kependudukan. Bagi yang sudah merekam data, caranya harus diverifikasi dengan nama asli dulu,” kata Dirjen Dukcapil Kemendagri Zudan Arif Fakhrulloh seperti dikutip dari Detik.
“Pendataannya tidak harus semua ke Jakarta. Di daerah masing-masing juga bisa, dibantu oleh Dinas Dukcapil setempat. Termasuk untuk dibuatkan e-KTP sesuai dengan alamat asalnya,” tambahnya.
Zudan mengaku juga sudah menunjuk pejabat pelaksana yang akan membantu sepenuhnya mengkoordinasikan para transgender mengurus dokumen kependudukannya dengan mudah.
Kemendagri telah mengumpulkan data 112 transgender di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Jabodetabek) yang sama sekali belum memiliki dokumen kependudukan.
Kemendagri akan membantu membuatkan dokumen kependudukan untuk mereka. Ini adalah langkah awal Kemendagri membantu transgender.
Bagi transgender yang pernah terdata dan punya KTP lama, Dukcapil akan melakukan verifikasi data tersebut di database. Bila datanya cocok, Dukcapil akan mencetakkan e-KTP terbaru untuk mereka.
Terkait surat pindah dan akta kelahiran, Zudan menyarankan dapat diurus secara online atau via WhatsApp (WA) di Dinas Dukcapil setempat.
“Yang penting kita koordinasi agar diberikan kemudahan, data 112 orang sudah terkumpul bisa di-WA ke saya,” katanya.
Kolom Jenis Kelamin
Kemendagri menegaskan tak ada kolom jenis kelamin transgender di e-KTP. Jenis kelamin hanya diisi laki-laki atau perempuan, kecuali telah ada putusan pengadilan dapat diubah.
“Kalau dia laki-laki, ya dicatat sebagai laki-laki, kalau dia perempuan juga dicatat sebagai perempuan. Dicatat sesuai jenis kelamin yang aslinya. Kecuali buat mereka yang sudah ditetapkan oleh pengadilan untuk adanya perubahan jenis kelamin,” kata Zudan.
Sementara itu, kolom identitas nama di e-KTP diisi nama asli, kecuali jika sudah keluar putusan pengadilan dapat ditulis dengan nama yang telah diganti.
Misalnya dalam kasus yang berbeda, perubahan jenis kelamin seperti yang terjadi dengan Serda TNI AD Aprilio Perkasa Manganang. Zudan menyebut, bila transgender sudah merekam datanya, pasti tercatat menggunakan nama asli.
“Tidak dikenal nama alias. Misalnya, nama Sujono, ya ditulis Sujono, bukan Sujono alias Jenny. Mau diubah pakai nama panggilan perempuan di e-KTP? Tidak bisa, sebab urusan mengganti nama dan ganti kelamin harus ada putusan dari pengadilan negeri terlebih dulu,” kata Zudan.
Ia menambahkan Dukcapil secara proaktif membantu memudahkan pembuatan e-KTP bagi kaum transgender. Dasar hukumnya dalam UU No 24 Tahun 2013 juncto UU No 23 Tahun 2006 tentang Adminduk bahwa semua penduduk WNI harus didata dan harus punya KTP dan Kartu Keluarga (KK) agar bisa mendapatkan pelayanan publik dengan baik, misalnya pelayanan BPJS dan bantuan sosial.
“Kita melayani kaum transgender sesuai aturan UU Adminduk dengan jenis kelaminnya laki laki dan perempuan. Tidak ada jenis kelamin yang lain. Sesuai apa aslinya kecuali yang sudah ada penetapan pengadilan tentang perubahan jenis kelamin. Dukcapil wajib melayani mereka sebagai bagian dari WNI penduduk di Indonesia. Mereka juga makhluk Tuhan yang wajib kami layani dengan nondiskriminasi dan penuh empati,” ungkapnya.
Akses Layanan Publik
Ketua Dewan Pengurus Perkumpulan Suara Kita, Hartoyo menyatakan banyak transgender yang tidak memiliki dokumen kependudukan, seperti e-KTP, KK, dan akta kelahiran.
Kondisi ini mempersulit mereka mengakses layanan publik lain, seperti bidang kesehatan untuk mengurus BPJS Kesehatan, mendapat bantuan sosial, dan lainnya.
“Kawan-kawan transgender ini masih kerap menemui hambatan ketika mengurus layanan publik, terutama terkait administrasi kependudukan. Mungkin karena miskin dan minder, malu, atau hambatan lainnya. Akibatnya, mereka kesulitan mengurus pelayanan publik lain seperti BPJS Kesehatan, atau sulit mendapat akses bansos. Padahal banyak di antaranya yang hidup miskin sebagai pengamen dan profesi lainnya,” ungkap Hartoyo. [wip]